Lea merasakan kepalanya pusing dan perutnya bergejolak sejak masuk ke dalam mobil tadi. Obrolan rekan-rekan kerjanya sepanjang perjalanan hanya ia dengarkan sekilas. Ia terlalu fokus merasakan rasa nyeri di perut dan kepalanya. Gerry yang duduk di sampingnya menyadari ada yang tidak beres dengan Lea.
“Lo kenapa Mbak, sakit?”
“Agak kurang enak badan aja,” jawab Lea sambil tersenyum.
“Mau kita balik kekantor aja buat nganter lo?” Dion bertanya dari balik kemudi.
“Gak, gak perlu. Gue tahan kok,” jawab Lea sambil menggerakkan kelima jarinya bahwa ia tidak kenapa-napa.
Sebenarnya Lea bisa saja tidak ikut ke lapangan hari ini. Toh, ada Andre yang bisa diandalkan untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Lagipula, tim lapangan yang berisi keempat cowok di dalam mobil ini sudah terbiasa terjun langsung ke lapangan. Kecuali Gilang, juniornya yang satu itu masih dalam masa training.
Tapi Lea hari ini sudah menjadwalkan diri untuk ikut ke lapangan, karena sudah lama ia tidak ikut. Paling tidak, sebulan dua kali ia harus ikut tim lapangan buat memastikan sendiri proses sampling dan pemantauan baik-baik saja. Itu target minimal Lea pribadi sebagai Penyelia Lapangan.
Hanya tinggal dua titik sungai lagi yang perlu diambil sampelnya. Lea yakin dia bisa nge-handle rasa sakitnya selama itu. Saat mereka mampir makan siang, Lea ke toilet dan mendapati bahwa ia sedang datang bulan. Pantes, kata Lea dalam hati. Tubuh sedang tidak fit dan dismenorhae. Lengkap.
Akhirnya, jam 3 siang mereka sudah balik lagi ke kantor. Lea benar-benar sudah di ujung toleransi tubuhnya. Pengennya langsung balik pulang, tapi Lea malas harus menjelaskan kondisi tubuhnya ke orang-orang. Tinggal dua jam ini, pasti tidak masalah, pikirnya.
Sambil memasukkan data lapangan yang didapat hari ini, Lea menyalakan musik di komputernya. Sesekali ia meringis, ketika nyeri di perutnya terasa menusuk.
“Lea.” Suara Dirga membuat ia mendongakkan kepalanya. “Lagi sibuk?”
“Sedikit,” jawab Lea yang seakan terlupa dengan rasa sakitnya setelah melihat Dirga.
“Boleh minta bantuannya?”
Hanya perlu sedetik bagi Lea untuk mengiyakan permintaan Dirga.
“Saya minta tolong kamu lengkapi data-data di formulir ini. Ada beberapa data yang harus dikonfirmasi ke klien. Saya tunggu sore ini, ya.”
Cepat, padat, dan sarat perintah. Khas Dirga saat meminta sesuatu. Meski nadanya ramah, tapi Lea tahu Dirga tak mungkin dibantah. Padahal Lea sendiri ingin pulang cepat, tepat waktu setidaknya. Tapi tugas dadakan dari Dirga ini sepertinya akan membuatnya lembur.
Tapi lagi-lagi Lea hanya bisa mengangguk dan segera menyalin soft file formulir yang dimaksud Dirga.
Dirga tersenyum lalu mengucapkan terima kasih sambil berjalan menuju ruangannya.Lea mendesah, lalu segera mengerjakan permintaan Dirga. Ia menutup worksheet yang sedang ia kerjakan tadi, itu bisa menunggu. Sedang yang satu ini, lebih cepat selesai lebih baik. Lea sudah tidak sabar ingin bersantai di kasur nyamannya.
Dua jam kemudian, pekerjaan itu tak kunjung selesai. Bukan karena Lea tak mengerjakan, tapi karena proses menunggu konfirmasi ke beberapa klien agak lama. Lea sebenarnya tahu, ini jam pulang kerja. Tidak semua orang masih standby membuka email. Oleh karena itu, klien yang mencantumkan nomor telepon pada kontak mereka langsung Lea hubungi agar data yang dikonfirmasi bisa dapat cepat dimasukkan.
“Mbak, belum pulang?” Gerry yang sudah bersiap untuk pulang, menghampiri meja Lea.
“Masih nyelesein ini, duluan aja,” Lea menjawab sambil menunggu sambungan telepon dari salah satu klien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denialea
Любовные романыMemangnya cewek nggak boleh naksir duluan ya? Lea bisa apa ketika hatinya memilih Dirga untuk dicintai. Lea tidak punya pilihan, ia hanya harus merasakan dan mengikuti apa yang hatinya mau agar dia bahagia. Meski Dirga tak pernah sekali pun memandan...