Khawatir

21 1 0
                                    

Lea mendesah lega. Entah karena mualnya teratasi atau Dirga yang kini duduk di sampingnya. Tapi ternyata itu hanya awalnya. Setelah lima menit berlalu, Lea merasakan keluhan baru. Tubuhnya yang terbungkus pakaian basah kedinginan, ditambah terpaan angin laut yang deras selama di perjalanan.
Ia memeluk dirinya sendiri untuk meredakan rasa dingin yang masuk hingga ke pori-pori terdalam tubuhnya. Lea tak membawa handuk atau pakaian ganti, karena tak curiga dengan jarak dan efek buruk begini. Teman-temannya yang lain pun sepertinya sama saja, tak ada yang membawa kain kering ke perahu itu.
“Dingin?” tanya Dirga ke Lea yang hanya dibalas dengan anggukan.
Dirga menggenggam tangan Lea, mencoba menyelurkan rasa hangat yang ia punya. Meski padahal ia pun sama kedinginannya.
Jika tidak sedang dalam kondisi badan yang kacau begini, Lea pasti akan senang sekali. Lelaki yang ia suka menggenggam tangannya. Namun, otaknya sedang tidak dalam kondisi baik untuk memikirkan hal-hal romantis.
“Aku boleh pinjam pundaknya?” Lea bertanya pada Dirga dan mendapati ekspresi wajah Dirga yang kaget kemudian mengangguk.
Lea hanya perlu memejamkan mata saat ini dan terbangun jika sudah sampai ke pantai nanti. Ia ingin cepat-cepat berganti baju dan minum air hangat. Direbahkan kepalanya ke bahu Dirga. Terasa nyaman saat ia sadar begini, jika ia membandingkan dengan saat pertama kali ia ketiduran di pundak Dirga saat pelatihan dulu. Namun, kegelapan menginterupsi rasa nyaman tersebut. Sepertinya ia ngantuk, dan kesadarannya pun hilang.
**
“Lea, Le!”
Guncangan pada tubuh Lea terasa lebih keras ketika ia membuka mata. Orang yang pertama kali dilihatnya adalah Ken, wajah pria itu tepat berada di depan wajahnya. Ketika matanya mulai membuka wajah Ken menjauh, menampakkan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Mengerumuninya.
“Kenapa ramai-ramai?” tanya Lea bingung. Ia mencoba bangun, tapi mendadak kepalanya pusing. Tubuh Ken otomatis menyangganya agar ia bisa duduk.
“Lo pingsan, Le,” kata pria itu.
Hah? Lea terkejut. Perasaan, ia tadi tidur. Tepatnya tertidur di bahu Dirga deh. Ngomong-ngomong Dirga, kemana lelaki itu?
“Dirga lagi ngambilin lo air hangat,” kata Hilda seperti dapat membaca pertanyaan di otak Lea.
Orang-orang yang tadinya berkerumun akhirnya bubar karena melihat Lea sudah sadar.
“Tadi Dirga yang menggendong lo ke sini,” tambah Hilda lagi sambil mengangsurkan handuk kering kepadanya.
Sekali lagi Lea terkejut, ia digendong Dirga?
Sambil mencoba mengeringkan badannya yang masih separo bersandar pada Ken, Lea mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia kedinginan,pingsan, digendong Dirga. Daebak, memalukan sekali.
“Lo mikir apa?” tanya Ken di telinganya. “Ganti baju gih!” lelaki itu menegakkan tubuh Lea agar bisa duduk sempurna.
Lea mengangguk lalu melihat tubuhnya, pelampungnya sudah dilepas tapi bajunya masih basah. Ia lalu berdiri menuju kamarnya untuk membilas diri dan berganti baju.
Ketika sudah rapi dan keluar kamar, Lea melihat Dirga di bangku panjang yang menghadap ke laut. Pria itu juga sudah rapi, dan di tangannya ada sebuah gelas. Ketika melihat Lea, gelas itu diangsurkannya ke gadis itu.
“Nih, biar badan kamu hangat,” katanya.
“Makasih,” kata Lea sambil menyambut gelas tersebut dan ikut duduk di sebelah Dirga. Ia menyesapnya sebelum kemudian berkata, “Makasih juga yang tadi.”
Dirga mengangguk. “Kamu membuat saya khawatir.”
Lea diam, bingung harus berkata apa. Ia merasa bersalah sekaligus senang. Merasa bersalah karena sudah merepotkan dan senang karena Dirga mengkhawatirkannya.
“Maaf, tapi sepertinya aku memang alergi dingin sejak dulu.”
Dirga memandangnya sebentar lalu menggeleng, “Yang penting kamu nggak kenapa-napa. Sekarang sudah baikan?”
Lea mengangguk.
“Nanti sore kamu mau balik ikut mobil atau bus?”
“Bus saja, biar bareng sama teman-teman yang lain.”
“Ken katanya mau ikut bus juga, berarti saya nyetir mobil sendirian sore ini,” kata Dirga.
“Wah kenapa sih Bang Ken itu, tega bener ninggalin temannya sendirian,” Lea pura-pura kesal dengan Ken tapi juga sekaligus kasihan dengan Dirga.
“Kamu mau nemenin saya naik mobil pulang ini?”
Entah ini rencana Ken atau bukan, tapi ia harus mengomelinya nanti kalau ketemu dibanding berterima kasih. Bukan apa-apa, ia hanya sering kehabisan bahan pembicaraan jika hanya berdua dengan Dirga. Mungkin karena hatinya sudah tidak keruan duluan, sehingga tak dapat berkonsentrasi pada selain kehadiran Dirga di dekatnya.[]

DenialeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang