Snorkeling

11 1 0
                                    

Sunrise yang baru saja Lea nikmati perlahan menghilang dan berganti menjadi pagi yang lembut. Lea suka begini, ia menghirup napas dalam-dalam. Kedua tangannya mencengkeram jembatan kayu yang menjorok ke tengah laut ini. Beberapa temannya berada di ujung jembatan, sibuk berfoto-foto mengabadikan momen pagi di pantai yang indah.

Tidak hanya rombongan mereka yang ada di sana, beberapa orang lain juga terlihat berbaur di antara mereka. Di antaranya adalah pasangan muda yang saling bergenggaman tangan menjejakkan kaki-kaki telanjang mereka di pasir dan mulai naik ke jembatan. Ketika keduanya melewatinya, tak sadar Lea mendesah.

“Kenapa, lo iri sama mereka?” Tiba-tiba saja suara menjengkelkan itu terdengar di dekat Lea.

Lea mendengus, karena jengkel sekaligus malu terciduk sedang mengamati kemesraan orang lain. “Kayak hantu aja lo Bang, muncul nggak diminta, pergi nggak disuruh.”

Ken mengabaikan ejekan Lea. Ia mendekat lalu memperlihatkan smartphone-nya, “Bagus nggak?”

Lea mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang dimaksud Ken.

Ternyata itu adalah foto candid-nya yang diambil diam-diam oleh Ken. “Modelnya bagus, sayang hasil fotonya jelek,” Lea masih belum puas mengejek Ken.

“Nggak kebalik nih, gara-gara fotografernya ahli, modelnya jadi kelihatan bagus?” Ken tak mau kalah.

Mereka tergelak dan terus saling lempar ejekan sebelum handphone Ken berdering. Ia mengangkatnya, berbicara sebentar. “Mas lo nelpon, waktunya sarapan katanya.”

Lea tahu siapa yang dimaksud Ken. Sejak obrolan tadi malam, ia belum bertemu Dirga lagi pagi ini. Lea lalu mengikuti langkah kaki Ken yang berjalan ke arah penginapan.

Selesai sarapan, agenda mereka hari ini adalah snorkeling. Mereka sudah siap naik ke perahu kecil yang akan mengantar mereka ke spot snorkeling. Setelah mendengarkan briefing singkat dari pemandu, mereka lalu bertolak ke tengah laut. Lea mengarahkan kameranya ke segala arah untuk mendapatkan video terbaiknya. Tangan dan matanya terhenti di satu titik ketika kameranya menyorot Dirga yang ternyata sedang memandanginya.

Dari tiga perahu yang mereka sewa, Lea tak sadar jika ia seperahu dengan Dirga. Tatapan Dirga yang tak bisa ia artikan mengunci Lea dalam sepersekian detik yang lama. Hingga goyangan ombak membuat Hilda di sebelahnya menyenggol tangannya, Lea terasa bebas dari sihir saat itu. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke Hilda yang memang sedang mengajaknya ngobrol.

Ternyata perjalanan menuju spot snorkeling ini memakan waktu cukup lama. Beberapa rekan perempuan sudah sempat mengeluh pusing, mabuk laut. Lea masih cukup tahan, ia hanya perlu mensugesti dirinya bahwa dirinya kuat dan perjalanan ini jauh lebih indah dinikmati tanpa drama mual dan muntah.

Ketika mereka sudah sampai, perahu dihentikan di tengah-tengah laut. Setidaknya itulah yang Lea kira, karena di sekitar mereka tidak terdapat pantai atau pulau yang dapat dicapai oleh sekali pandang. Namun ajaibnya, dasar laut terlihat dengan jelas di sini. Dari tepi perahu, Lea dapat dengan jelas melihat koral dan ikan-ikan kecil berenang di bawah permukaan air yang jernih. Ia tak sabar ingin terjun!

Namun, Lea harus bersabar untuk memperhatikan pendamping mereka memperagakan bagaimana menggunakan tabung napas saat snorkeling dan beberapa hal penting lainnya. Satu persatu kemudian mereka turun ke air. Lea tidak bisa berenang, tapi ia cukup percaya diri dengan live vest di badannya.

Awalnya ia berpegangan dengan Hilda yang memang bisa berenang, tapi lama kelamaan ia berani melepas pegangan dari Hilda dan mulai menikmati bawah laut dari permukaan dengan mencelupkan wajah dan bergerak-gerak sendiri.
Ketika mendongak, ia melihat Ken yang baru turun dari perahu lainnya. Ia melambaikan tangan ke arah Ken, otomatis pria itu berenang ke arahnya.

“Kamu kenapa dengan Ken, seperti ketergantungan gitu.” Suara di dekat kupingnya, membuat Lea menoleh.
Lea melepas kacamatanya, menggantungkannya di leher. “Wah, ini pertama kalinya aku dibilang bergantung. Biasanya selalu dikatain terlalu mandiri,” Lea menanggapi sambil tertawa.

Dirga ikut-ikutan melepas kacamatanya, “Sorry, tapi saya memang sering melihat kalian bersama,” katanya.

Lea lagi-lagi tertawa, “Namanya teman, wajarlah.”

Dirga sudah ingin menanggapi perkataan Lea, tapi Ken sudah mendekati mereka. “Hei, Le. Wah ada pak bos juga di sini,” sapanya dengan nada menggoda.

Lea menonjok bahu Ken. Ken pura-pura kesakitan, Lea terbahak.
“Terumbu karang di sana bagus lho, ke sana yuk!” Ken mengajak Lea dan Dirga berenang ke arah yang ia tunjuk.

“Gue takut jauh-jauh dari perahu, kalian berdua aja,” kata Lea sambil membuat gerakan mengusir.

“Ya elah, nanti gue jagain. Ada Dirga juga. Yuk!” Ken tak terima penolakan, ia meraih tangan Lea dan mulai membawanya berenang menjauh dari perahu. Dirga berenang mengikuti mereka.

Ternyata keindahan bawah laut di sini memang juara. Ada lebih banyak jenis terumbu karang yang Lea lihat. Gerombolan ikan kecil yang berenang tanpa merasa terganggu dengan para manusia di sekitarnya juga membuat pemandangan tambah indah. Dirga beberapa kali memotret dengan kamera underwater-nya. 

Cukup lama mereka berputar-putar di sana, memanjakan mata mereka dengan keindahan langka yang tiada tara. Tidak salah kalau orang bilang, Indonesia tanah surga. Lautnya pun luar biasa. Lea mengajak Ken balik karena sudah merasa cukup puas.

“Perahu gue di sana, lo balik sama Dirga aja,” kata Ken ke Lea sambil menunjuk perahunya yang memang berseberangan arahnya dari titik mereka berada.

Lea memutar bola matanya, “Ingkar janji lo, Bang.” Ia pura-pura kesal.

“Manja emang anak satu ini. Ya udah yuk, nanti gue ditinggalin perahu gue lagi,” Ken sudah akan membawa Lea ke arah perahu Lea ketika tangan Lea ditarik Dirga.

“Sama saya saja, kasian Ken harus bolak-balik berenang,” katanya tanpa menunggu persetujuan dari Lea.

Ken mengangguk, Lea salah tingkah. Tapi ia tetap berenang mengikuti Dirga dan sesekali berpegangan menuju perahu mereka.

Lea langsung naik ketika mereka tiba di dekat perahu, Dirga mengikutinya. Dengan baju yang masih basah, ia duduk. Lea merasa pusing, perahu yang sedang tertambat ternyata lebih membuat mual daripada perahu yang bergerak. Tak sadar, Lea mencengkeram tangan Dirga yang berada di sebelahnya.

“Kamu kenapa?” tanya Dirga, terlihat jelas wajahnya khawatir.

“Pusing, mual. Aku mau turun ke laut lagi aja.”

“Jangan, sebentar lagi perahunya jalan kok.”

Namun Lea tetap keras kepala. Ia tetap turun, diikuti Dirga yang tak ingin membiarkan Lea sendirian.
“Lebih enakan?” tanya Dirga.

Lea menangguk. Ternyata berada di laut membuat pusingnya hilang dan tubuhnya lebih nyaman.

Sekitar sepuluh menit kemudian ketika semua orang sudah naik ke kapal, Lea dan Dirga menjadi orang terakhir yang naik. Perahu mulai melaju ke arah pantai.

Lea mendesah lega. Entah karena mualnya teratasi atau Dirga yang kini duduk di sampingnya.[]

DenialeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang