Lea baru saja masuk ruangan ketika suara ribut itu terdengar. Para juniornya terlihat kasak-kusuk gelisah. Setelah Lea mendekat, ternyata sumber keributan adalah seniornya, wakil kepala Laboratorium Semesta.
"Bu Ning, selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya Lea sopan.
"Kalian ini, divisi teknis, harusnya lebih teliti dong kalau membuat laporan. Masa ada yang tidak sesuai dan tidak valid begini." Berbeda 180 derajat dengan nada bicara Lea, Ibu Ning malah berbicara dengan urat leher yang hampir keluar.
"Bisa saya lihat laporan yang dimaksud Bu?" Lea mendekat untuk melihat berkas yang ada di tangan Bu Ning.
"Ini, silakan dilihat. Masa kalian gak becus begini mengolah datanya," sahut Bu Ning setengah berteriak.
Lea sebenarnya tidak suka berada di kondisi seperti ini, tapi ia bisa apa. Atasannya yang satu ini memang terkenal galak dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun.
"Oh iya benar Bu, memang ada kesalahan," kata Lea setelah menekuri berkas itu dengan cermat. Ada kesalahan, minor saja sebenarnya.
"Tuh benar kan, tolong perbaiki ya, saya tunggu sore nanti sudah kelar."
Tugas tambahan, desis Lea dalam hati. Lea hanya bisa menganngguk sambil melihat Ibu Ningsih yang berjalan ke luar dari divisi teknis. Dion yang berada di dekat Lea, langsung mengurut dada. Lea otomatis tersenyum kepada Dion dan kembali ke mejanya.
Terancam lembur lagi deh Lea hari ini. Laporan ini sebenarnya tanggung jawab Dirga, tapi beberapa bagian memang berasal dari subdivisi lapangan. Lagipula Dirga sedang ada tugas luar bersama Ken. Ia tidak ingin menganggu mereka berdua, dan Lea sendiri sebenarnya tidak masalah mengerjakannya sampai selesai.
**
Besok harinya, Lea merasa agak lesu. Ia baru pulang jam enam sore setelah menyelesaikan tugas dari Bu Ning. Ditambah pula, tadi malam di kost ia harus bergadang untuk mengerjakan tugas yang sebenarnya menjadi job desk-nya hari itu –tapi belum selesai karena waktunya ia pakai untuk mengerjakan revisi Bu Ning.
Namun, setelah ingat kalau hari ini ia bakal melihat wajah Dirga, Lea jadi sedikit lebih bersemangat. Oleh karena itu, Lea cukup senang ketika Dirga memanggilnya ke ruangan MT.
"Lea, kamu kok nggak bilang ke saya kemarin kalau Bu Ning ngamuk?"
"..."
Belum sempat Lea menjawab, Dirga sudah melanjutkan ceramahnya. "Lain kali jangan coba-coba seperti ini lagi ya. Itu tugas saya. Kesalahan saya juga kalau sampai ada data yang nggak valid di sana."
"Tapi kan, kemarin Mas Dirga gak ada, dan Bu Ning minta cepat."
"Ya paling nggak kamu bilang ke saya untuk mngurangi keteledoran kembali."
"Tapi saya sudah menyerahkan hasil revisi ke Bu Ning dan beliau sepertinya tidak mengajukan complain lagi."
"Gak ada tapi lagi, Malea."
Lea diam sambil menghela napas. Duh gini banget punya atasan perfeksionis. Setelah pamit dari ruangan Dirga, Lea kembali ke kursinya dengan wajah ditekuk.
"Kenapa lo?" Ken menyambutnya penasaran.
Lea menceritakan garis besar kejadian kemarin yang membuat Dirga marah kepadanya.
"Gue gak bisa bilang siapa yang salah di kasus ini, kalian berdua sama-sama benar sekaligus salah."
Lea mengerutkan kening. "Au ah," desahnya malas. Mood-nya jadi anjlok begini. Kalau yang ngomelinnya Pak Dirut atau Bu Ning kayak kemarin, sepertinya ia tidak sekacau ini. Tapi ini Dirga, orang yang disukainya.
"Fix, kamu gila," kata Hilda ketika makan di kantin kantor ketika Lea bercerita tentang hal itu kepada Hilda.
"Kamu sudah mengatakannya berkali-kali Neng," sahut Lea masih dalam mood swing karena Dirga.
"Dan kamu tidak pernah mendengarkan."
"Memang," Lea menyeruput es jeruknya asal-asalan.
"Lupain aja udah," Hila geleng-geleng kepala. "Kamu sendiri yang rugi kan kalau begini. Dibaikin baper, dimarahin juga baper."
"Nggak tahu," Lea menutup wajahnya. "Kayaknya aku sedang sial saja."
Hilda menggeleng-gelengkan wajahnya. Cinta memang buta, dan Lea fix gila!
___
Author's Note
Hola, semoga masih betah baca Lea yang sedang uring-uringan ya. Masih dibutuhkan commentnya buat keberlangsungan semangat penulis. Hehe. Tap bintangnya, jangan lupa!
Shady122.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denialea
RomantizmMemangnya cewek nggak boleh naksir duluan ya? Lea bisa apa ketika hatinya memilih Dirga untuk dicintai. Lea tidak punya pilihan, ia hanya harus merasakan dan mengikuti apa yang hatinya mau agar dia bahagia. Meski Dirga tak pernah sekali pun memandan...