Bab 34

15 0 0
                                    


Jangan Diam-Diaman Papa dan Mama

He Papa, he Mama, hari hari belakangan ini kalian kok seperti kucing dan anjing. Papa seperti tidak bergairah, Mama juga begitu. Ada persoalankah. Susah juga ya memahami polah orang dewasa, kalau berantem itu lama dan tidak selesai-selesai. Memangnya apa sih yang kalian pertengkarkan. Aku saja yang sering kali bertengkar tidak sampai beberapa menit sudah lupa. Sedangkan kalian bisa berlangsung berhari-hari. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa bila kalian tengah cekcok, tapi lihat saja dunia kami dunia anak-anak. Setiap kali muncul perbedaan kadang memang berujung air mata, sedikit cidera, berdarah-darah, tapi tidak ada yang harus disimpan, semuanya mengalir dan kembali tenang damai, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. padahal kami sebelumnya saling ledek, saling menyakiti dan menumbuhkan keisengan. Pertengkaran itu hal biasa, tapi kalian tampaknya mempunyai karakter keras yang membuat kalian seperti tidak menemukan ujung penyelesaian dari pertengkaran yang berulang-ulang setiap saat.

Aku bosan Papa, Aku bosan Mama setiap kali bertengkar kami seperti sedang menemukan ruang kosong dan entah ada yang hilang dari keriaan sehari-hari. Senyum saja dipaksakan, mata saja kalian tidak mau saling kontak apalagi saling bertegur sapa. Mau kalian sih. Saling menancapkan ego, saling menunjukkan taring bahwa kalian lebih kuat, lebih berdaya, lebih tidak mudah terpicu emosi. Bahasa emosi itu hanya meruntuhkan kehangatan, membangkitkan bara dendam dan ah, sok tahu juga aku. Tapi kalian harus menghentikan kemarahan supaya keluarga ini hidup kembali dalam derap kebersamaan.

Kami butuh teladanmu, sebab mimpi-mimpi kami masih panjang. Cita-cita kami masih jauh dari kenyataan. Tuntutan kami sederhana.Peluk cium dan pandang mata kalian masing-masing.Itu saja. Sederhana khan.

Membaca surat anakku aku seperti ingin menangis. Antara terharu dan sedih, antara ingin marah dan ingin memeluk istriku. Tapi seperti senjakala jiwaku belumlah bisa memaafkan kata-kata yang terlontar dari mulut istriku, terlalu tajam menukik dan merendahkan harga diri. Kata-kata memang seperti pedang yang menghunjam jauh ke bawah kalbu. Tidak mudah melupakannya bahkan sampai kapanpun. Lalu apakah aku yang lelah ini harus selalu memaafkan. Kesabaran itu ada batasnya. Sampai berapa tahun aku akan mendengarkan kata-kata yang menusuk kalbu.

"Kau itu seperti tidak punya istri say, kerja tidak pernah nilpun, kerja angin-anginan, Aye pikir kau sosok gagah yang punya semangat tinggi untuk mencari nafkah, ternyata kau tidak lebih hanya sosok lemah yang kebetulan Aye kenal, Aye seperti terjebak. Menyesal benar. Benar sedih hidup ini?!"

Aku hanya diam membisu, tidak berucap apa-apa. Terus terang aku tidak mau berucap, sebab kalau sudah berbicara kata-kata yang terlontar bahkan lebih keji dari kata-kata istriku, makanya ketika emosi tengah menggelegak diamlah pilihan terbaik.

"Iya, khan kau seperti kerbau tercocok hidungnya, plonga-plongo tidak punya jawaban, diam, membisu. Benar-benar menyebalkan."

Dalam hatiku, Cuma ada kata-kata maafkan Tuhan atas cawan pahit yang sedang kugenggam ini. Semoga cepat berlalu. Dalam hati berucap doa, meskipun dalam kalbu rasa sakit terasa mengiris.iris. Aku mencoba diam, tegar tidak membalas semua cecaran kata-kata dari istri. Aku jadi ingat anak-anak mereka tidak harus mendengar persoalan rumah tangga ini. Biarlah pertengkaran hebat ini hanya menjadi milik berdua. Meskipun sebetulnya mereka pasti tahu kami sedang dalam masalah, kami tidak ingin mendidik anak untuk saling membenci, atau saling melontarkan kata-kata sadis yang tidak layak didengar anak-anak yang masih di bawah umur.

Ketika melihat mata bening anak-anak rasanya bahagia bisa merasakan kepolosan jiwa mereka yang belum tertumpahi jelaga dendam dan benci layaknya orang dewasa. Senyuman mereka adalah senyuman malaikat yang memberi efek tawar bagi perbedaan-perbedaan karakter yang kami miliki. Mereka yang menyatukan benang-benang yang berlepasan dalam kain robek yang mulai termakan gesekan demi gesekan pertengkaran.

Epilog

Berkat keceriaan anak-anak kami lupa bahwa ada satu prinsip kami yang belum bisa menyatu. Dalam kehidupan laki-laki kebebasan itu mutlak sedangkan perempuan seringkali mengintervensi kebebasan itu dengan persoalan-persoalan yang muncul tiba-tiba dan serba misteri. Sampai sekarang ketika sudah menjalani kehidupan bersama perempuan aku belum bisa menebak misteri hidup yang menyertai perempuan. Ia makhluk bumi yang penuh kejutan.

                                                                       _         Selesai         _

Cinta Tiga SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang