Bab 27

10 0 0
                                    

Dalam Panti Anak- Anak Cacat

Aku sedih ayah, ketika umurku mulai dewasa, ayah lelah, lalu menitipkan aku di panti anak cacat. Aku protes tapi, ayah tidak mendengar. Tahukah ayah, aku ingin selalu mendengarkan suaramu, selau kau gosok tubuhku dalam kelembutan, ayah memandikan aku dengan segenap kasih yang ada dalam gerak tubuhmu. Tapi aku kini tengah berjalan dalam tempat pengasingan dari suara-suara debur air di samping rumah, suara-suara hujan yang menetes, merembes sekitar kamar. Benar-benar aku hidup dalam alam lingkungan di mana orang-orang cacat seperti diriku berkumpul, mendapat perawatan khusus dari suster-suster yang sudah digembleng untuk melatih diri kami agar lebih berkembang, atau paling tidak ada kemajuan setelah menjalankan terapi.

Di usia dewasaku, aku masihlah seperti anak-anak umur 4 tahun, bahkan otakku tidak lebih pandai dari bayi berumur dua tahun. Ayah telah kenyang dengan penderitaan. Ia semakin sibuk dengan karier yang menanjak, ia tidak bisa lagi cukup waktu sepanjang hari memandikanku. Kadang ia harus pergi lama ke luar kota untuk urusan kerja, sedangkan ibuku tidak cukup terampil memandikanku. Bahkan ibuku harus teriak-teriak sebab perutnya mual harus merasakan bau menyengat dari kotoran yang menempel di bajuku. Aku betul-betul tidak berguna.

Aku hanya menjadi beban bagi keluarga, kenapa aku tidak segera mati, mengapa Tuhan masih mempertahankan aku hidup di dunia. Dari Jawa Tengah aku harus tinggal di ujung timur Jawa.Malang tepatnya. Tempat suster-suster berbagi kasih, mengelola panti dengan anak-anak cascat yang rata-rata senasib denganku. Lucu-lucu tingkah polah teman-temanku, tapi aku tetap tidak bisa tersenyum karena aku sebetulnya sebal mengapa aku harus pindah ke panti ini.

Secara berkala ayahku datang, menjenguk, memegang tanganku, mengelus rambutku dan menatapku dengan perasaan sayang. Ada cahaya kerinduan terpancar dalam sorot matanya. Dunia terus bergerak dan ayah semakin tua, aku tidak tega harus menjadi beban hidupnya. Meskipun kesal, aku tetap sayang Ayah, bagaimanapun puluhan tahun ayah telah memberiku kasih sayang, bukan waktu yang pendek. Tidak terasa sudah 21 tahun ayah dengan sabar memperlakukan aku seperti anak-anak, padahal aku sudah dewasa, tapi dengan fisikku serta psikisku ini aku hanya bisa bergerak pasif, hampir 70 persen aku bergantung pada orang lain. Aku tidak lumpuh, tapi kapasitas otakkulah yang membuat aku hanya mampu mondar- mandir, sedikit, tersenyum, tertawa, kadang teriak keras, menangis (seperti orang gila). Orang-orang kadang takut karena aku bisa saja memungut batu lalu aku lemparkan kuat-kuat ke depan. Syukur bila tidak kena jidat. Itu yang membuat teman adikku dulu terbirit-birit bila melihatku, takut kena timpuk, aku tersenyum hanya itu, padahal itu spontan saja, tiba-tiba ada yang menggerakkan otak untuk memungut batu dan melemparkannya.

Sewaktu umur 10 tahun aku pernah digandeng adikku, mencoba belajar membeli sesuatu di warung.

"Beli apa nak...?"

"oti..."

"Roti! Adikku menterjemahkan kata-kata yang keluar dari mulutku"

Uang itu lalu kulempar begitu saja ke muka penjualnya. Tentu saja penjualnya berang. Untung saja setelah dijelaskan oleh adikku penjual itu mengerti.Aku tidak bisa berpikir layaknya manusia normal.

Tapi semakin dewasa daya pikir otakku ternyata bukannya meningkat tetapi semakin mundur. Sebetulnya mimik mukaku tidak seperti orang debil. Hanya mukaku seperti anak-anak saja. Semakin dewasa aku tidak lagi bisa ingat peristiwa-peristiwa hidupku, memori itu seperti lenyap saja, abhkan aku lupa siapa adikku, siapa adikku, hanya aku tidak akan pernah lupa pada ayahku, sebab seperti ada ikatan bathin dengan ayah.

Aku pasrah. Jika aku harus sepanjang hidup di kamar layaknya rumah sakit, yang selalu tergantung pada perawat yang datang silih berganti, hanya satu pintaku pada Tuhan, semoga ayah selalu sehat, sebab dialah satu-satunya yang mengerti tentang aku.

Hidup di panti meskipun lebih layak dari kamarku saat masih di rumah keluargaku tetaplah lebih menyedihkan. Perawat itu bukan darah dagingku, cara mereka memperlakukan diriku tetaplah orang lain, bukan seperti ayah yang merasa sepaham, mengerti apa yang kurasakan. Bagaimanapun baunya kamarku, mata adik-adikku, mata ibu, mata ayah tetaplah mata saudara yang menyayangiku. Aku berdoa untuk kebahagiaan mereka, aku belajar hidup dan menikmati sunyi sampai ajalku tiba. Kepada angin, kepada pohon dan kepada pagi, siang, senja yang telah menemaniku terimakasih. Kalian sabar menemani hari-hariku. Kau mau menampung segala dialogku yang tidak dimengerti manusia.

(cerita ini adalah fiksi bukan kenyataan, tapi saya(penulis) mencoba merasakan penderitaan kakak saya yang sudah meninggal sekitar tahun 2009. Sejak kecil setelah terjatuh dari kamar ia mengalami cacat mental. Hanya ayah yang sabar membersihkan kotoran – kotoran serta pipisnya. Saya bersama adik saya tidak tega dan tidak setangguh ayah dalam memberi kasih sayang pada kakak saya. Selama 21 tahun ayah dengan sabar membersihkan badannya, memandikannya, mencuci pakaiannya yang kotor oleh tinja yang menempel serta pipisnya yang bau menyengat. Terkadang saya dan adik membantu ayah membersihkan kamarnya yang bau yang menempel pada dinding-dinding kamar. Cerita ini mungkin seperti kisah hidup seseorang, saya mencoba berimajinasi untuk mencoba merasakan penderitaan kakak saya. Sekarang kakak saya sudah tenang dalam dekapan keabadian. Yang saya ingat hanya ayahlah yang mengerti bahasa tubuhnya. Dan ketika kakak saya sakit ayahlah yang dengan sabar mendampinginya).

Cinta Tiga SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang