"Egois diperlukan, untuk menunjukan pada dunia, bahwa kita baik-baik saja" ~ Radza
***
Aku mengerjab pelan, saat sinar matahari menyeruak masuk menusuk
indra penglihatan, kupejamkan mataku kembali karena silau."Club-minum-mabuk-berkenalan dengan lelaki asing-bercumbu-lalu..." Kubuka kelopak mataku secara cepat dan dugaanku benar. Seorang lelaki memelukku erat, dengan wajah yang disembunyikan di ceruk leherku."Sial, apa aku kembali tidur dengan para lelaki hidung belang?" Kusibak kasar selimut yang membalut tubuhku, dan benar saja aku polos tanpa sehelai kain.
"Bodoh kamu, Radza!"
Makian itu kutujukan untuk diriku sendiri. Tidak biasanya aku tidur dengan lelaki dalam keadaan mabuk. Biasanya, aku sepenuhnya sadar dan akan bermain dengan lelaki seumuranku, dengan syarat belum pernah menikah. Aku memang bukan wanita baik, tapi aku juga tidak seburuk itu untuk menjadi seorang pelakor.
"Bibirmu berdarah, kenapa masih saja kamu gigit?" Suara familiar itu sontak membuatku menengok. "Ada apa, Radza?" Aku melotot tidak percaya, kenapa lelaki itu bisa di sini?
"Kamu kenapa di sini?" Heranku membuat lelaki itu terkekeh.
"Kamu mabuk dan berpangutan dengan lelaki berumur. Aku tidak menyangka seleramu turun drastis dari biasanya," ujarnya dengan nada menghina. "Sebenarnya, aku tidak peduli kamu mau tidur dengan siapa saja. Tapi semalam aku sedang butuh milikmu, jadi maaf aku mengganggu waktumu dengan client tuamu itu,"
lanjut Shaka, dan berlalu masuk ke kamar mandi meninggalkanku yang hanya berdiam seperti orang linglung.*
Kami berjalan beriringan menuju cafetaria hotel, entah kenapa semalam lelaki itu membawaku ke sini, bukan ke apartemen miliknya. Tapi aku tidak mau ambil pusing dengan hal itu, diam lebih baik dari pada harus berurusan dengan lelaki yang menjabat sebagai suamiku itu.
"Aku tidak membunuh nya," ujarnya tiba-tiba saat kami sudah memasuki area cafetaria. "Ingat, bahwa aku hanya menyingkirkannya dan itu pun untuk kebaikan kita berdua," lanjut Shaka penuh penekanan. "Radza, jika aku sedang bicara..."
"Terserah kamu!" Kusingkirkan tangan kekar Shaka dari bahuku.
"Radza, tunggu!" Lelaki itu segera mengejarku, tetapi tentu saja kuabaikan. Aku memilih duduk dan segera membuka menu breakfast yang tersedia dan diikuti olehnya.
Kami makan dalam diam, tidak ada pembicaraan sama sekali. Terkadang aku berpikir, kehidupan apa yang sedang kujalani? Kenapa begitu menyedihkan? Kenapa begitu hambar? Dan bodohnya, kenapa aku masih juga bertahan?
Tanpa sengaja mataku melirik ke arah meja sebelah, terlihat sebuah keluarga besar sedang melakukan ritual sarapan sama sepertiku. Bedanya, keluarga itu terlihat sangat bahagia, sesekali candaan terlontar dari mulut mereka, dan dibalas gelak tawa oleh anggota keluarga lainnya, membuatku hanya bisa tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELFISH (TERBIT)
Romance[ Follow terlebih dahulu jika mau membaca! ] Menikah tidak selalu dijadikan simbol saling mencintai, karena tidak semua pernikahan diawali dengan jatuh cinta. Kalimat itu sangat cocok untuk menggambarkan kisah cinta Shaka dan Radza. Dua kepribadian...