"Aku, Sedihmu. Bahagiaku, kamu." ~ Shaka
***
"Endrometriosis." Dahiku mengkerut, ketika kata asing itu terlontar lancar dari mulut seorang wanita berjas putih di depanku. "Suatu gangguan pada jaringan yang biasanya melapisi rahim, kalau pada umumnya jaringan itu tumbuh di dalam rahim, kalau pada penyakit ini jaringannya tumbuh di luar rahim," lanjut dokter itu, seolah bisa membaca raut wajahku yang bertanya-tanya.
"Apa itu berbahaya?"
Mendadak aku merasa khawatir. Jujur, hidup selama tujuh tahun bersamanya belum pernah aku melihatnya mengkomsumsi obat-obatan, kecuali pil KB dan obat maag.
"Penyakit ini cukup serius tapi tidak mematikan, hanya saja jika kambuh akan sangat menganggu aktifitas. Biasanya perut akan mengalami sakit yang luar biasa, bahkan bisa sampai kejang dan pingsan," jelas dokter itu panjang lebar. Kuputar otakku, mengingat apakah hal itu pernah terjadi pada Radza? Dan jawabannya adalah iya.
Aku sering menemukan dirinya, berjongkok di kamar mandi sambil meringis menahan sakit atau dia yang selalu pingsang di butik setiap datang bulan. Apa itu berhubungan dengan penyakitnya? Atau memang wajar bagi seorang wanita yang sedang datang bulan dan memiliki riwayat penyakit maag? Radzana selalu mengatakan hal itu.
"Saat sedang datang bulan, rasa sakitnya akan berkali-kali lipat apalagi saat berhubungan intim pasti akan sangat terlihat, karena untuk menahan sakit kebanyakan dari mereka akan menggigit bibir."
Mataku membulat sempurna, menggigit bibir saat berhubungan? Bahkan itu selalu terjadi setiap harinya. Aku mengira Radza menahan desahan karena tidak mau membuatku semakin bernafsu, tapi faktanya apa benar dirinya menahan sakit? Pertanyaan itu terus berputar-putar dalam benakku, sampai pada akhirnya aku memilih pamit untuk pergi ke ruangan Radza.
***
Kubuka pintu ruang rawat bernomor dua puluh tiga itu dengan tergesa dan saat itu juga kutemukan sosok Radzana yang sudah terduduk manis di ranjang, sambil memainkan ponsel pintarnya.
"Sejak kapan?"
Aku mendekat, memberikan tatapan penuh intimindasi kepadanya. Radza hanya mendongak sebentar lalu kembali memainkan ponsel, hal itu jelas membuat emosiku semakin terbakar. "Sejak kapan, Radzana?"
Kesabaranku tak tersisa, kurenggut paksa ponsel silver di tangannya. "Kurang ajar, lancang sekali kamu!"
"Kenapa infusnya kamu lepas?" Kekhawatiran itu kembali menyapa, saat netra-ku tidak sengaja melirik tangan mulus Radza, yang sudah terbebas dari selang pemberi makan.
"Sejak kapan kamu peduli padaku?"
Bukannya menjawab, perempuan itu malah balik bertanya. Aku mencoba tidak terpancing, berdebat dengan Radza memang tidak ada ujungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELFISH (TERBIT)
Romance[ Follow terlebih dahulu jika mau membaca! ] Menikah tidak selalu dijadikan simbol saling mencintai, karena tidak semua pernikahan diawali dengan jatuh cinta. Kalimat itu sangat cocok untuk menggambarkan kisah cinta Shaka dan Radza. Dua kepribadian...