Chapter #18

37K 1.7K 192
                                    

Aku membuka mata, ruangan serba putih setia menyambutku, selalu seperti ini sampai aku sudah hafal jika sedang berada di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membuka mata, ruangan serba putih setia menyambutku, selalu seperti ini sampai aku sudah hafal jika sedang berada di rumah sakit.

"Jangan lepas infus nya!" Suara itu membuatku menengok,  sosok lelaki yang sangat aku hindari menjulang tinggi tepat di samping ranjang.

"Sok tau!" sautku ketus sambil berusaha bangkit.

"Aku memang tau, selalu seperti itu kenyataannya, bukan?" Kedua alis Shaka terangkat, wajahnya sudah mulai menunjukan perdebatan membuatku memilih diam, malas sekali beradu mulut dengan lelaki otak selangkangan ini.

"Alaia sepertinya putrimu."

Gerakan lincah pada jariku yang sedang memainkan ponsel seketika terhenti,  aku terdiam cukup lama dan setelahnya tertawa hambar. "Bercandamu tidak lucu!"

"Akan aku lakukan tes DNA untuk membuktikannya," ujarnya ketus tetapi penuh penekanan.

Aku mengangkat kepala, menelisik wajah Shaka yang tampak serius. "Karena dia tinggal di dekat jembatan itu, lalu kamu memutuskan hal ini?"

"Aku menemukan pakaian dan kain yang dikenakan Ayra saat aku membuangnya enam tahun lalu di lemari gadis itu."

Rentetan kalimat Shaka tercerna jelas di kepalaku, dadaku membucah hebat, buncahan yang membuatku malah tidak mengerti. Perasaan bahagia yang pernah terpikir pun rasanya sudah lenyap,  menyisahkan sisi pengucutku yang seperti merontai ingin menang. "Jika memang benar dia Ayra, kita harus apa, Shaka?

*

Saat selembar kertas putih dengan goresan tinta hitam pekat itu sudah berada di tanganku, hanya membisu yang bisa aku lakukan. "Lalu, kita harus apa?"

Entah sudah berapa kali empat kata itu aku lantunkan, yang jelas selama aku mengumandangkannya lelaki di depanku ini sama sekali tidak menggubris. Hanya ada umpatan yang terus terlontar dari mulut laknatnya.

"Kamu ibunya, Radza, kamu yang harus memutuskan?!"

Perkataan Shaka seperti menamparku telak, aku ibunya? Setelahnya tawa hambar itu kembali menggema, membuatku yang mendengarkannya malah ikut tertawa. "Aku tidak bisa."

Kekehan Shaka terhenti, tangannya terulur kasar untuk meraih daguku. "Tidak bisa, bagaimana?"

"Aku tidak mau anak itu!" Jiwa iblisku berkibar, ternyata benar aku dan Shaka tidak jauh berbeda. Kami berdua memang tidak pantas disebut manusia.

Kini kedua tangan lelaki itu berpindah ke pundak, memberikan remasan kasar hingga membuatku memekik. "Apa maksudnya kamu tidak bisa?"

"Aku tidak menginginkannya!" Hatiku tercubit setelah mengatakan hal itu, omong kosong apa yang barusan aku ucapkan?

"Gila kamu, Radza!" Dengan kasar lelaki itu melepaskan cengkramannya. "Aku kira kamu menginginkannya, astaga," lanjut Shaka sambil mengacak kasar rambutnya.

SELFISH (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang