"Alaia," teriakku dari jauh membuat anak itu mendongak dan langsung tersenyum manis, kulirik Radza yang malah menunjukan wajah tegangnya."Aley." Sebuah suara dari belakang membuatku menengok, terlihat seorang lelaki dewasa bersama seorang perempuan berambut panjang yang sedang menggendong anak lelaki.
"Abi.... " Gadis itu segera bangkit, senyum sumringahnya langsung terpancar. Dengan langkah tertatih Alaia berlari dan menubruk tubuh tegap lelaki asing itu.
"Maafin Bunda, ya, Nak." Wanita itu sedikit menunduk guna mengecup sekilas pipi Alaia, aku mengkerut saling bertukar pandang dengan Radza.
"Aley, sakit?" Lelaki dewasa itu ikut berjongkok dan dibalas gelengan oleh sang gadis.
"Siapa mereka?" Tangaku teremas, aku diam mengabaikan pertanyaan Radza dan tetap menperhatikan objek di depanku.
"Bunda sama abi ikut berduka, ya, Nak, atas meninggalnya nenek Indah. Maaf, jarak bikin kami susah sekali ke sini," ujar wanita muda itu sambil mengusap rambut Alaia.
"Aley pucat sekali, kamu sakit, Nak?" tanya lelaki itu yang terus aku pantau.
Aku perlahan maju, menarik pelan tangan Radza untuk mendekati keluarga yang terlihat bahagia itu. "Alaia, ikut saya."
"Tuan," ujar gadis itu sambil menatapku parau.
"Ikut sama saya, ya?" Jemariku terulur untuk menggapainya tapi sebuah tangkisan langsung kudapat.
"Kalian siapa?" Lelaki itu menarik pelan tubuh Alaia agar menjauh dariku.
"Mas, Aley." Teriakan itu membuat kami serentak terperangah. Aku menutup mulut ketika melihat tubuh kecil itu sudah ambruk, cairan merah mulai mengalir dari kedua lubang hidungnya.
"Astaga." Aku segera berjongkok, tapi ketika tanganku ingin menyentuhnya, tangkisan itu kembali kudapat.
"Shaka, kenapa Alaia?"
Suara bergetar Radza bahkan kuabaikan, aku terdiam melihat lelaki itu yang langsung mengangkat tubuh putriku ke dalam dekapannya.
"Ayo cepat ke rumah sakit, Bun," ujar lelaki itu khawatir.
"Pakai mobil saya," ujar Radza bergetar.
"Maaf kalian siapa? Kenapa bisa kenal dengan putri kami?"
Lelaki itu berujar tanpa saringan, putri? Kurang ajar, tanganku terkepal kuat, ingin sekali menghajar habis wajah berkumisnya.
"Tidak, terima kasih, kami bisa naik taksi." Wanita itu menyaut lalu menarik lengan suaminya untuk menjauh. Aku terdiam, menekan dadaku yang berdenyut, kenapa rasanya semenyakitkan ini?
***
Suara gemercik air membuat mataku terbuka, aku perlahan bangkit sambil melirik jam yang menunjukan pukul satu dini hari. Sebelah ranjangku kosong, suara air itu meyakinkanku bahwa perempuan itu sedang berada di sana. Lalu ketika mataku kembali tertutup, gemercik itu menghilang dan berganti dengan isakan menyayat yang dengan refleks membuatku langsung bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELFISH (TERBIT)
Romance[ Follow terlebih dahulu jika mau membaca! ] Menikah tidak selalu dijadikan simbol saling mencintai, karena tidak semua pernikahan diawali dengan jatuh cinta. Kalimat itu sangat cocok untuk menggambarkan kisah cinta Shaka dan Radza. Dua kepribadian...