"Aku ingin pulang."
Suara itu membuatku refleks menengok, Radza sudah siap menenteng tas dan parahnya lagi cairan pemberi makan yang harusnya menempel di tangannya sudah tidak nampak lagi.
"Astaga, Radza!" Tatapan nyalang itu kuberikan padanya, tapi dengan santainya perempuan itu mengabaikan.
"Kenapa kamu lepas infusnya?" Kucengkram kuat pundak perempuan di depanku. "Jika diajak bicara..."
"Apa pedulimu?" potongnya lancang.
"Radzana!"
"Aku ingin pulang," ujarnya sambil mengambil ponsel di nakas, berusaha tidak emosi karena keadaan Radza yang terbilang cukup buruk, kulirik jam di dinding yang menunjukan pukul sebelas, belum terlalu malam jika meminta pulang.
***
Keheningan menyelimuti perjalanan pulang kami, hujan deras yang masih setia mengguyur Ibu Kota membuat beberapa jalan tergenang dan berimbas pada kemacetan yang tidak berujung, seperti malam ini.
"Hey, kamu kenapa?" Aku menengok, ketika mendengar rintihan perempuan di sampingku."Kita balik ke rumah sakit, ya?" Kuusap pelan kening Radza yang berkeringat. "Harusnya aku tidak menurutinya untuk pulang malam ini," umpatku akhirnya.
"Ambilkan obatku saja."
Perempuan itu meremas pelan tanganku, dengan kilat aku mengangguk lalu menyambar kasar tas Radza dan kutumpahkan semua isinya hingga tercecer. Dan ketika kutemukan kotak kecil berwarna orange, segera kuserahkan obat itu kepadanya dan dengan kilat Radza meneguknya, bahkan tanpa air.
"Kita tetap ke rumah sakit!" Aku mengambil kasar air mineral di kursi belakang lalu kuserahkan padanya. "Kamu keras kepala, Radza!" Segera kulajukan mobilku saat akhirnya kemacetan itu mulai mereda. "Jika keras kepalamu itu tidak merepotkan maka aku tidak masalah, tapi kenyataannya? Kamu selalu merepotkanku, menjaga diri saja tidak bisa jangan sok mau mencari anak cacat itu!"
Mata itu perlahan terbuka. "Maka dari itu ceraikan aku."
"Belum ada wanita yang bisa menggantikan peranmu sebagai pemuasku," jawabku sarkasme.
"Ambil dari club, dompetmu tebal, tidak akan ada yang menolak." Suara parau itu membuat hatiku kembali tidak karuan.
"Perutmu masih sakit?" Aku memilih menepi, menatap Radza yang terus memejamkan mata, tangannya pun masih aktif mengusap permukaan perut datarnya.
Radza membuka matanya lalu melemparkan tatapan sinis. "Bukan urusanmu!"
Habis sudah kesabaranku, dengan cepat kutarik sabuk celana jins yang melekat pada pinggangku. Setelahnya, kupandang intens wajah perempuan ini. Entah kenapa setiap kali aku berusaha ingin berdamai, setiap itu juga dia selalu mencari masalah dan membuatku langsung membatalkan niat baikku!
Tanpa menunggu, kusingkap kasar dress selutut yang Radza kenakan dan secepat itu pula tangan kurus itu menghempaskannya. "Aku benar-benar sedang sakit, Shaka."
Suara lemah itu seperti menghantam telak hatiku, matanya terbuka dan tetesan bening mulai membasahi pipinya. Aku jelas saja terkejut, Radza adalah perempuan dengan gengsi selangit. Apa pun situasinya dia tidak pernah mau menunjukan air mata sebagai kelemahan, walau aku tau dirinya sering menangis tapi tidak seperti sekarang terang-terangan di depanku. "Jika sakitnya berkurang, aku akan melayanimu."
*
Kutepuk pelan pipi mulus Radza, kemacetan kembali terjadi dan entah kenapa itu membuat kepalaku semakin berdenyut. Memilih mampir di salah satu coffe shop, mungkin adalah pilihan yang tepat. "Hey, Radza, bangun!"
Perempuan itu menggeliat pelan, matanya mengerjab lucu dan akhirnya terbuka. Aku selalu tersenyum melihat wajah bangun tidur miliknya, terkesan lebih natural dan tentu saja sexy. "Aku pusing, mampir dulu, ya?"
Radza mengangguk patuh tapi matanya kembali terpejam, aku terkekeh geli lalu mengacak pelan rambut hitamnya. "Kenapa tidur lagi?"
"Aku ngantuk." Aku mendekat lalu mengecup kilat pipi Radza, delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk bersama-sama.
"Perlu digendong?" tanyaku menggoda, Kugigit pelan telinganya.
"Mesum!" Perempuan itu mendorong kasar wajahku lalu mengikat cepat rambutnya.
"Alaia," ujar Radza pelan saat turun dari mobil. Mata hazel-nya terus mengarah pada gadis bergaun biru yang sedang berada di halte bus.
"Sudahlah, biarkan," ujarku berusaha menarik tangan Radza masuk tetapi jelas saja perempuan itu menolak.
"Antarkan dia pulang, nanti orang tuanya mencari." Walau pelan aku masih bisa mendengarkan suaranya.
"Dia sudah bilang tidak bersama orang tuanya, anak itu tinggal sendiri," tukasku meyakinkan. "Ayolah, Radza, biarkan dia...."
"Aku pernah mengandung dan melahirkan, Shaka," potong Radza cepat. "Aku tau bagaimana...."
"Okelah,baiklah,iyalah, aku akan menghantar anak itu pulang tapi temani aku minum kopi dulu!" Radza menolak saat aku kembali menarik jemarinya.
"Kamu masuklah, aku akan menghampirinya."
Terkutuklah kamu, Radzana! Jika ini adalah kamar sudah pasti akan kudorong tubuh ringkih itu dan kumasuki tiada ampun. Dengan perasaan yang ingin meledak, kutarik cepat tangan Radza menuju halte depan, jika tidak begini kami akan berdebat sampai pagi, sangat bisa dipastikan!
"Woi, anak piyik!" ujarku sambil menciptratkan sedikit air hujan ke wajahnya.
"Tuan dan Nyonya." Gadis itu segera bangkit, lalu menatap kami berdua dengan ekspresi kaget.
"Kamu kenapa tidak menunggu kami makan?" Radza bertanya pelan dan anak itu malah menggigit kuat bibirnya sambil menggeleng pelan.
"Eh, jawabnya yang bener kalau ditanya!" Aku melotot galak, membuat wajah mungil itu semakin memucat.
"Maaf,Tuan, jika hujan reda Tuan menyuruh saya pulang, jadinya saya menurut," jawabnya gemetaran bahkan tidak menatapku sedikit pun. Aku terdiam mencoba merasakan perasaan sakit yang bercongkol di hatiku, kenapa rasanya seperih ini melihat anak itu takut padaku?
"Masuklah, Shaka, aku dan Alaia akan menunggumu di mobil," ucapan Radza membuyarkan lamunanku.
"Kamu yang temani aku masuk, biar anak ini yang di mobil," protesku tentu saja tidak terima.
Tatapan memohon Radza adalah senjata yang paling aku benci. "Sekali ini saja, Shaka, aku mohon."
"Kalian berdua, ikut saya masuk, tidak ada bantahan!"
Aku sedikit berteriak, segera berlalu menjauh, meninggalkan dua manusia yang seperti berkerja sama untuk membuatku merasa kesal.
Terimakasih sudah membaca❤
KAMU SEDANG MEMBACA
SELFISH (TERBIT)
Romance[ Follow terlebih dahulu jika mau membaca! ] Menikah tidak selalu dijadikan simbol saling mencintai, karena tidak semua pernikahan diawali dengan jatuh cinta. Kalimat itu sangat cocok untuk menggambarkan kisah cinta Shaka dan Radza. Dua kepribadian...