Memiliki ambisi merupakkan hal yang bagus. Namun terlalu berambisi pula bukanlah hal yang baik.
Hinata selalu menceramahinya tentang itu dahulu. Sebelum ia menjadi sependiam sekarang. Jika bukan Naruto yang mengajaknya berbicara ia tidak akan berbicara. Dan kalau bukan Naruto yang menyuapinya makan ia pula tidak akan makan. Mengiris hati. Melihat sosok sahabat yang bahkan tidak memiliki gairah hidup lagi.
Hanya duduk di atas ranjang pavilion milik Naruto, menatap sudut ruangan.
"Hinata. Memerlukan sesuatu?" Mata Naruto selalu menyorot khawatir padanya. Wanti - wanti jika Hinata akan melakukan percobaan pembunuhan lagi. Hinata hanya menggeleng kecil.
"Hinata. Aku mengerti jika ini bukan kehamilan yang kau harapkan. Terlebih lagi pada pria yang sama sekali tidak kau inginkan." Naruto menggenggam lembut kedua tangan Hinata di atas selimut tebal hangatnya. "Ia tetaplah anakmu. Bayi yang tidak bersalah, yang tidak mengetahui apaun. Sosok anugrah yang akan bersamamu kelak. Jikalau ia lelaki pastilah ia akan menjagamu."
Perkataan Naruto menarik atensi Hinata. Butiran air mata sudah membasahi pipinya. "Bagaimana jika ia sama dengan pria itu Naruto. Apa yang harus aku lakukan."
Naruto menggeleng. Genggaman tangannya semakin mengerat. "Tidak akan. Kita pastikan tidak akan. Didik ia sebaik mungkin. Aku yang akan membantumu mendidiknya kelak." Sumpah Naruto. "Kau bisa bayangkan bayi kecil yang mungil dan lucu. Aku yakin ia pasti akan sangat mirip denganmu."
Senyuman terulas di wajah Hinata. Kepalanya mengangguk kecil. Bayangan membahagiakan ketika sikecil lahir yang mirip dengannya terbesit.
"Bersemangatlah. Kau harus kuat dan sehat demi dia. Dia yang akan melindungimu kelak."
Hinata mengangguk.
➳✩⡱➳✩⡱
Gelap menyapa mesir. Dinginnya malam tidak menghalangi sosok Naruto tuk keluar dari Pavilion menuju sebuah tempat.
Tiap langkahnya para pelayan maupun prajurit membungkuk hormat. Dalam hati mereka tak luput dari kata - kata memuja atas kecantikan yang di miliki wanita itu.
Pavilion Fugaku. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu besar di hadapannya. Para pengawal yang menjaga dengan penuh hormat membukanya untuk Naruto.
Di dalam sana. Sosok Fugaku dan Mikoto sudah duduk manis menunggunya.
Sebelum duduk Naruto menyempatkan diri untuk memberi hormat pada keduanya.
"Akhirnya datang juga. Aku pikir kau terlalu takut untuk menghadap padaku, Naruto." Mikoto memandang angkuh Naruto. Tidak ada niatan jahat. Ia hanya tengah menguji keseriusan keponakan kesayangannya ini.
"Maaf saja. Tidak ada kata takut di dalam kamus Uzumaki." Dengan lugas balas Naruto, membuat Mikoto tertawa di dalam hati.
Benar - benar puteri dari Kushina, batinya.
"Jadi apa yang ingin kau bahas anakku?" Fugaku sama sekali tidak angkat bicara kali ini. Kontrol 100% dipegang oleh Mikoto.
"Bibi. Aku ingin menagih perjanjian dari paman."
Mikoto menaikan sebelah alisnya. "Perjanjian?" Naruto mengangguk. "Perjanjian apa itu hm?"
"Bibi tidak perlu berpura - pura tidak tahu. Aku yakin paman sudah mengatakan semuanya pada bibi. Benar - benar tipikal paman yang akan menceritakan semuanya padamu."
Mikoto tertawa renyah. Naruto memang paling tahu tabiat pamannya ini. Itu tandanya Mikoto tidak perlu berpura - pura bodoh.
"Baiklah - baiklah. Jika dilihat moodmu sekarang sedang tidak baik anakku." Angguk Mikoto. "Aku bukannya tidak percaya padamu. Hanya saja menjadikanmu fir'aun bukanlah hal yang mudah terlebih lagi karena krisis yang tengah dialami mesir saat ini." Naruto tidak bodoh untuk tidak mengerti pesoalan yang tengah di maksud Mikoto. "Para dewan. Belum tentu bisa menerimamu walau mereka telah takluk karna pesonamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharaoh
FanfictionSasuFemNaru Penindasan terhadap wanita sudah biasa terjadi di negara Mesir. Kelahiran para wanita bukannya tidak diinginkan namun fungsinya begitu rendahnya dimata para pria. Di ramalkan oleh peramal ulung jika kelak akan terlahir bayi perempuan yan...