CDS 8

144 13 0
                                    

Untung aja battup itu ditutupi oleh kaca es. Dari posisi gue saat ini siluet si Bos terlihat sedang berada di dalamnya.

Ya Allah maafkan hamba Mu ini

Gue pun mengambil kimono yang tergantung dan berjalan ke arah Bos. Saat sampai di depan pintu kaca itu.

"Bos... " ucap gue.

"Kamu boleh buka pintu tapi mata kamu harus tertutup. Dan kamu berjalan mundur." Ucap si Bos.

Tanpa banyak omong gue melakukan itu. Pintu terbuka. Aroma terapi bernuansa bunga pun mampir di hidung mancung gue. Seketika gue terdiam.

Gila wangi bener... Namun gue cepat sadar.

"Cepat." umpat Bos.

"Sabar napa Bos... jalan mundur itu susah." jawab gue seraya bergerak. Tangan gue mengulurkan kimono itu. Hingga menyentuh sesuatu yang lembut.

"... Kamu." teriak Bos.

"Maaf Bos.... " ucap gue.

Kimono yang gue pegang udah berpindah tempat. Terdengar dari arah belakang gue suara yang beradu.

"Masih lama Bos? Perlu bantuan ga?" ucap gue untuk menghilangkan keheningan ini.

"Jangan macam-macam kamu. Sebentar lagi." suara galak Bos mulai terdengar.

"Saya itu ada acara Bos. Bisa gagal kalau nunggu Bos." ucap gue.

"Kamu itu banyak omong ya." teriak Bos.

"Kalau mau pergi ya pergi aja. Ambil STIK kamu di dekat tas saya." ujar Bos.

Segera aja gue melangkah namun...

Akhhhh. Brukkk

Suara seperti orang terjatuh terdengar dari belakang gue. Sontak tanpa dikomando gue menoleh. Benar saja Si Bos terjatuh duduk di bak mandinya.

akwwww.... ihksssssss

Rintihan itu terdengar dari bibir Bos. Tanpa sengaja... gue melihat memar besar pada kedua lututnya. Secara spontan gue menyentuh untuk memeriksa keadaannya.

"Kamu... mau apa?" Tanya Bos dengan mata melotot.

"Wah... Memarnya parah Bos!" ucap gue saat menyentuhnya.

Melihat keadaaanya gue jadi ga tega. Dengan perlahan gue membantunya bangun. Suhu tubuhnya juga dingin. Mungkin karena lama terkunci di tempat ini.

"Awwwww... Kamu kenapa sentuh?" ujar Bos saat gue memegang lengannya untuk membantunya diri.

Ternyata kedua sikutnya pun memar.

"Bos... mau tetap di sini sampai sembuh? Atau mau istirahat di ranjang yang empuk?" saat gue memberikan dua pilihan.

"Saya pilih opsi kedua." jawabnya cepat.

"Ok. Tapi Bos ga boleh komen atau bersuara... Kalao ga batal." ancam gue.

Bos gue terlihat pasrah. Ditambah keadaannya yang sangat tidak baik.

"Ya. Tapi... suruh para sekuriti itu keluar kamar saya. Mereka tunggu di ruang tamu saja." ucap Bos.

Gue pun berjalan ke luar dan membisikan hal kepada mereka, hingga mereka menghilang di balik pintu. Dan gue berjalan kembali ke Bos.

"Udah aman Bos." ucap gue seraya mendekat.

"kamu jangan macam-macam." ucap Bos saat melihat gue merendahkan badan.

"Bos kan janji ga komen." tatap gue tajam.

Bos gue pun diam. Dengan mengulurkan kedua tangan gue. Tubuh Bos pun pindah. Untung aja tubuhnya mungil kayak anak SMA, jadi gue lebih mudah mengangkatnya.

Tapi... sial... Kimononya hanya mampu menutupi sejengkal ke atas lututnya. Untung aja pesan Bundanya selalu diingat. Gue berusaha untuk tidak melihat ke arah si Bos.

***

Sementara itu Prilly merasakan kegugupan yang amat sangat saat anak baru itu mengendong tubuh mungilnya. Baru kali ini Ia diperlakukan seperti ini. Namun keadaannya membuat Ia pasrah meski harus melambatkan degup jantungnya agar tidak di dengar anak baru itu.

Tubuh Prilly sudah mendarat di ranjangnya. Ia pun meminta tolong untuk mengambilkan tasnya. Setelah tas dihadapannya. Ia mengeluarkan STIK dan memberikannya ke anak baru itu.

Prilly pun mencari nomor kontak pada HPnya.

"Assalamualikum. Malam dokter. Bisa ke tempat saya sekarang?" ucapnya.

...

"Ok saya tunggu. Tks Dokt... "

Saat meletakkan HPnya, Prilly melihat anak baru itu yang sedang berbicara entah dengan siapa. Yang terdengar hanya

Gue malam ini ga bisa. Sori... besok pasti

Laki-laki di hadapan Prilly meletakkan HPnya kembali ke saku celana belelnya.

"Saya mau keluar dulu... lapor ma sekuriti. Biar mereka khawatir." ucap anak baru itu seraya keluar kamar.

Prilly memejamkan matanya. Ia menahan sakit juga lelahnya. Entah berapa lama Ia tertidur. Samar terdengar percakapan. Ia membuka matanya.

"Kamu sudah bangun Anindya?" Tanya pria yang berpakaian kemeja itu.

"Ehmmm... maaf membuat dokter menunggu." ucap Prilly.

"Tidak apa. Tadi teman kamu cerita... Sehingga saya tidak tega membangunkanmu." ucap dokter itu.

"Sekarang saya periksa ya?"

Dokter itu memeriksa dengan saksama. Dibalutnya memar itu dengan salep. Dan untuk sementara waktu tubuh Prilly belum dapat dipakai beraktivitas hingga pemeriksaan lanjut esok hari. Setelah memberikan resep. Dokter itu pun pamit.

Tertinggal Prilly dan anak baru itu. Ditengah keheningan suara manja keluar dari perut Prilly. sontak saja Ia menutup wajahnya yang merah.

"Bos belum makan? kebetulan saya juga. Tunggu ya Bos... Ga papa saya tinggal sendiri?" ujar anak baru itu dan berlari meningglkan Prilly.

Setelah menghilang dari pandangan, Prilly menarik napasnya. Entah mengapa hari ini Ia sangat sial sekali.

***

Bersambung

CINTA DI UJUNG SENJA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang