CDS 11

141 14 0
                                    

Prilly terbangun dari tertidur. Dengan perlahan kakinya mencoba digerakan. Ia berjalan menuju kamar mandi dan membasuh wajah. Dilihatnya tatanan rambut dan riasan yang terlihat berantakan.

Terdengar suara HP dari luar sana. Dengan sedikit cepat Ia menyeret kakinya dan mencari sumber suara.

"Halo Pah? Ia, Aku masih di kantor cabang. Ehmmm... Iya. Rencana malam ini mau inap di sini. Besok siang baru pulang."

"Iya Pah. Love u." Prilly menutup percakapan itu.

Seraya duduk Prilly merapihkan rambutnya dan juga sedikit memoles wajahnya. Biar bagaimana pun penampilan harus tetap terjaga dengan baik. Apalagi Ia adalah seorang perempuan pebisnis.

Barang-barang pribadinya segera dimasukan ke tas. Ia berjalan untuk mematikan lampu-lampu yang tak diperlukan. Setelah itu dibukanya pintu dan menguncinya kembali.

Dari kejauhan Pak Mono berjalan menghampirinya.

"Malam Bu. Biar saya bawakan tasnya..." seraya mengambil alih benda di tangan Prilly.

"Perlu saya bantu, Bu?"

Tanpa menjawab Prilly berjalan mendahului laki-laki itu. Pak Mono yang sudah kenal betul sifat anak Bosnya sangatlah maklum. Prilly bukanlah orang yang suka merendahkan namun memang Ia tak suka berbasa basi. Hanya bicara jika berkaitan masalah pekerjaan saja.

Prilly masih berjalan dengan memegang dinding. Pak Mono yang berada di belakang perempuan yang seusia dengan anaknya merasakan iba namun sifat agoran dan keras perempuan itu sulit ditaklukan. Padahal orang tuanya, Tuan Mahendra adalah Bos yang sangat baik kepadanya.

"Halo... Ya Ly... Apa? Iya... Saya segera ke sana. Tunggu ya... "

"Maaf Bu."

Prilly kaget saat Pak Mono melewatinya menuruni tangga dan berlari secepat kilat lalu menghilang di balik tangga.

Berada di anak tangga paling atas membuat Prilly mengumpulkan tekadnya. Ia sangat membenci tangga. Bahkan rumah Papanya menggunakan lift untuk menjangkau tiap lantai. Ada trauma saat sang Mama harus kehilangan calon adiknya karena terpleset di tangga.

Kaki Prilly sudah mendekat ke anak tangga kedua. Seketika itu keringat dingin mengalir dan membasahi blouse yang digunakannya. Bahkan kekuatan tubuhnya menguap. Namun jika Ia tak mencoba dia akan menginap di kantor.

Kekuatannya lenyap hingga Prilly terduduk di anak tangga paling atas. Wajah mungilnya tertutup. Sepertinya Ia tak sanggup meneruskan langkahnya. Ia juga masih menimbang-nimbang apakah menerima bantuan Pak Mono. Namun harga dirinya sebagai Bos harus tetap di pertahankan.

***

"Alhamdulillah... Terima kasih Pak?" ujar gue saat melihat Pak Mono membukakan pintu utama.

"Iya sama-sama Mas Aly. Kok kembali lagi ke kantor? Ada yang ketinggalan?" ujar laki-laki separuh abad itu.

"Yup... Tadi buru-buru Pak. Padahal besok data mau dipakai buat rapat." gue berkata seraya berjalan menuju dalam gedung yang sudah setengah gelap.

"Perlu saya antar?"

"Ga perlu Pak." gue meninggalkan Pak mono dan berjalan ke tangga.

Penerangan yang minim tak menyurutkan langkah gue menaiki setiap anak tangga. Bukan karena kantor ini tidak memiliki lift tapi sedang dalam perbaikan dan lusa baru dapat digunakan.

Saat berada di anak tangga terakhir menuju lantai dua, langkah gue terhenti. Maklum saja selama menaiki tangga pandangan gue terlalu fokus dengan ML.

Astagfirullah...

Jantung gue berasa lepas dari sarangnya. Sesosok tubuh terduduk dengan wajah dilipat pada lututnya. Dengan perlahan gue merendahkan posisi tubuh. Gue amati dengan saksama sosok itu.

Ya ampun si Bos??? ujar gue dalam hati.

Gue goyangin tubuh si Bos. Tapi tidak ada reaksi.

Masa sih Bos pingsan lagi?

Gue bermaksud mengecek nadinya. Namun suara halus terdengar dari bibir si Bos.

Ternyata si Bos tidur

Gue goncang tubuh mungil si Bos. Tidak ada reaksi. Hanya gumaman yang keluar.

Jangan ganggu

Saya ngantuk

Berkali kali gue coba bangunin Bos. Tapi nihil. Sebuah ide melintas di otak. Meskipun gue tau risikonya tapi memang ini jalan satu satunya. Ga mungkin juga gue meninggalkan Bos sendirian di kantor. Gue segera berjalan ke dalam ruang kerja tuk mengambil data-data yang tertinggal dan lekas kembali ke tempat gue meninggalkan si Bos.

Dengan hati-hati gue mengangkat tubuh si Bos dan menuruni setiap anak tangga.

***

Prilly membuka matanya. Ia terkejut melihat keadaan sekeliling. Nuansa hitam putih mendominasi ruangannya saat ini. Beberapa hiasan dinding hanya bergradasi dua warna. Sebuah sofa terlihat menemani jendela sudut. Ia sangat asing dengan tempat ini. Namun aroma ruangan ini seperti sudah mulai disadarinya.

What???

Dengan segera meninggalkan ranjang berukuran besar namun tak sebenar miliknya. Gerakannya terhenti di toilet bergaya simple dengan beberapa hiasan foto di dindingnya. Sepertinya pemiliknya adalah pencinta fotografi. Prilly merapihkan rambutnya juga memoles sedikit wajahnya.

Tak lama, Ia berjalan menuju pintu. Dengan perlahan dibukanya pintu... Prilly tak melihat seseorang pun. Suasana rumah agak sepi. Prilly berjalan mengelilingi rumah untuk mencari jawaban pertanyaannya.

"Sudah bangun?" perempuan itu berkata.

Prilly membalikan tubuhnya dan mengalihkan pandangannya dari barisan foto yang terpampang di satu dinding ruang tengah.

"Em.. Maaf kalau saya tidak sopan." ujar Prilly.

"Tidak apa-apa. Oya... Maaf Bunda tidak sempat mengganti baju Nak prilly. Habis kata Aly... nanti menganggu." Perempuan itu mendekati dan mengajak Prilly untuk duduk.

"Kalau nak... "

"Panggil saya Prilly saja, Bu." ujarnya.

"Baiklah... tapi berdasarkan info Aly... kalau Prilly ini Bos di tempatnya bekerja."

Prilly menangguk perlahan.

"Bunda senang berkenalan dengan Bos yang cantik, masih muda namun sudah hebat. Oya... Maafkan Aly ya... Dia memang begitu penampilannya. Padahal Bunda udah berkali-kali bilangin. Tapi ya begitu jawabannya... yang penting nyaman dan apa adanya."

Mendengarkan perempuan di hadapannya meninggatkan kepada seseorang. Sosok yang apa adanya dalam berbicara. Sosok yang memampu mengikis jarak antara ibu dan anak.

"Loh kok diam. Bunda banyak bicara ya?" ujar perempuan itu.

"Oh... tidak Bu. Senang berbicara dengan Ibu."

"Syukurlah. Oya... tadi Aly pesan ke Bunda. Kalau "si Bos" sudah bangun... Segera mandi. Katanya hari ini akan ada rapat para pemegang saham di kantor pusat. Jam 10 pagi."

Prilly melihat jam di tangannya. Sekitar 4 jam lagi rapat akan dimulai. Ia pun pamit untuk mengambil tas yang masih tertinggal di kamar.

tok... tok....

Pintu kamar tak lama terbuka. Terlihat perempuan yang bertemu di ruang tengah membawakan handuk.

"Ini handuk baru. Tapi sudah Bunda cuci kok. Untuk air panas ada di kamar Bunda. Kalau kamar Aly ga ada air panasnya."

"Iya Bu. Maaf merepotkan. Saya di sini saja."

"Anakkk... Maksud saya, Alyansyah kemana ya? Saya tidak melihatnya." ujar Prilly.

"Setelah Subuh, Aly itu biasa olah raga keliling kompleks. Mungkin sebentar lagi pulang. Ibu tinggal dulu ya." perempuan itu segera berlalu.

Prilly mengunci pintu dan segera membersihkan tubuhnya.

***

Bersambung

CINTA DI UJUNG SENJA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang