CDS 59

99 7 0
                                    

Prilly mengecek proposal yang baru saja diterimanya. Seperti ia mengenal betul gaya kalimat si empunya. Namun ia segera menepisnya.

Tok... Tokkk

"Assalamulaikum... "

Masuklah perempuan dengan perut yang mulai membuncit.

"Waalaikumsalam... Loh Bunda kok kesini? Sama siapa?" tanyanya seraya mengecek ke pintu.

"Habis Bunda bosan di rumah terus. Kamu sama Papa sibuk sih." Ujar perempuan itu.

"Maaf Ya Bun... Prilly janji deh. Mulai besok temani Bunda 24 jam." Seraya memeluk.

"Kamu pasti belum makan... ayooo Makan bareng Bunda ya."

Prilly menyetujui dan mengambil dua piring yang dibawa Bunda. Mereka pun menuju ruangan terbuka di salah satu sudut ruang kerja.

"Oya Sayang... Papa pesan ... besok malam kita kedatangan tamu. Diusahakan kamu sore sudah di rumah ya."

Mendengar ucapan itu, Prilly tersentak. Untung saja makanan terakhir di mulut dapat dikendalikan.

"Baik Bun. Insyallah Prilly usahakan ya." Ucapnya pelan.

***

Gue sudah siap-siap. Tinggal menunggu Bunda saja. Sudah setengah jam pintu itu tertutup.

"Bun.... Bun... "

Ketokan gue tidak disambut.

"Aly masuk ya Bun... "

Gue membuka pintu yang tidak terkunci.

Astagfirullah... Bunda

Dengan lari gue mendekat ke arah ranjang kayu. Terlihat Bunda dengan wajah yang pucat.

"Bunda kenapa?"

"Ga apa-apa. Bunda istirahat sebentar saja. Insyallah pulih lagi." Ujarnya dengan perlahan.

Gue pun memanggil Bi Nur untuk membuatkan segelas teh hangat. Tak lama pesanan datang. Bunda segera menghabiskan minuman itu.

"Kita terlambat datang... maafkan Bunda ya Ly."

"Bun... ga usah pikirkan itu. Bunda harus sehat dulu. Biar Aly panggil dokter dulu ya. Bunda istirahat saja."

Gue pun menelpon dr. Harun untuk mengecek keadaan Bunda. Sebuah pesan pun gue kirim kepada seseorang agar mewakili acara malam ini.

***

Sementara di rumah Tuan Mahendra, terlihat beberapa orang sedang berada di ruang tengah.

Prilly sedari tadi hanya diam. Ia tidak ambil bagian dalam percakapan itu. Ia hanya bersender pada pundak sang Bunda sambil menyentuh perut besar itu.

"Maaf. Tuan Mahendra. Saya mewakilinya untuk meminta maaf karena tidak dapat ikut dalam acara makan malam karena ada sesuatu yang penting. Dan tidak dapat diwakilkan. Sekali lagi saya dan keluarga mohon maaf. Tapi Insyaallah... niat ibadah ini akan tetap berlanjut." Ucap seseorang di hadapan Tuan Mahendra.

"Baiklah. Sebenarnya sangat disayangkan... tetapi saya memakluminya. Dia sendiri sudah menghubungi saya dan menyatakan permohonan maafnya. Insyallah Saya menyerahkan semuanya kepada Prilly. Dia adalah putri saya satu-satunya. Kebahagiaan saya adalah kebahagiannya juga. Apapun keputusannya... Saya tinggal menyetujui."

"Prilly... Silahkan berbicara. Biar Kami tau apa keputusanmu." Ujar Tuan Mahendra.

Prilly menoleh sumber suara. Ia memegang erat tangan sang Bunda. Prilly merasakan usapan tangan perempuan berkerudung itu memberikan kenyamanan.

"Prilly ikut saja pilihan Papa. Tapi, Prilly dan Dia butuh waktu untuk saling kenal. Hari ini pun kami tidak bertemu. Saya ingin pernikahan satu selamanya."

Alhamdulillah...

Alhamdulillah...

Terdengar suara bahagia dari wajah wajah di sekeliling dirinya. Entahlah Peilly tidak tau apakah ini keputusan yang baik untuk dirinya? Namun yang pasti ia melihat Papa dan Bunda tersenyum seraya mengangguk.

***

Perlahan gue mengusap lembut tangan yang bertancap jarum. Ini adalah hari ketiga Bunda dirawat. Sejak peristiwa satu minggu lalu, tiba-tiba Bunda ditemukan pingsan kembali. Gue pun segera membawanya ke RS.

"Bun... makan dulu ya. Sebentar lagi minum obat." Ujar gue saat melihat mata teduh penuh kasih sayang itu terbuka.

Anggukan Bunda membuat gue segera mengambil piring berisikan makanan dan menyuapkannya.

"Aly... kamu sudah makan?"

"Sudah Bun. Tadi pas Bunda tidur."

"Kapan Bunda pulang, Ly. Udah ga bentah. Tiduran melulu." Ujar Bunda.

"Nanti Aly tanyakan dulu ke dokter ya. Sekarang habiskan dulu."

Tokkk... Tokkkk

Terdengar pintu yang dibuka. Berjalanlah mendekat dr. Irwan.

"Bagaimana kabar Bu Rosita?" ujar dokter itu.

"Sudah baik kan dokt... Dokter boleh saya pulang?'

"Setelah makan akan saya cek kembali. Jika sudah stabil besok Ibu boleh pulang."

Tak lama dokter itu meninggalkan ruangan.

"Ly... Bunda mau salat. Kamu cepat ambil wudhu."

Gue pun segera berjalan ke toilet. Setelah bersuci gue mengambil sajadah dan berdiri membelakangi Bunda.

***

Bersambung

CINTA DI UJUNG SENJA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang