2. Morning, Noon & Night

2.2K 231 33
                                    

Sudah dua bulan lamanya, Park Jimin tinggal dengan pemilik helaian rambut sewarna kopi itu. Pemuda tunawicara—dan tunawisma—yang secara tidak sengaja ia temukan dipinggir lorong rumahnya dua bulan yang lalu, dengan kondisi tubuh terserang frostbite dan pakaian berkoyak di sana-sini.

Jimin sebenarnya sudah terlalu lelah untuk mengurusi orang lain, karena mengurusi dirinya sendiri saja terkadang ia sudah kewalahan. Namun nyatanya, sepasang manik kelam indah itu begitu sukar untuk ia tolak, sampai akhirnya Jimin memilih mengakhiri malam dengan membopong sang pemilik tubuh ringkih menuju ke dalam rumah.

[Morning]

Satu sosok yang tengah mencampur pupuk kompos dan tanah itu tanpa sadar begitu menarik perhatiannya. Tubuh ramping yang begitu luwes bergerak, menyekop satu tanah dari pot ke pot, entah mengapa membuat Jimin tertahan sejenak di halaman belakang—membuatnya lupa tujuan awal mendatangi dapur, yang kebetulan berhubungan langsung dengan halaman.

Ditengah rimbun bunga soka bermahkota merah, satu kepala menyembul begitu menyadari bayangan abu-abu yang bergerak halus disamping-nya. Tubuh kurus miliknya segera berbalik—memandang sumringah pada sang pemilik rumah, seakan mengatakan "Selamat datang kembali, Jiminie", seperti yang sering ia tuliskan pada selembar note ungu kepunyaan-nya.

"Taehyungie," suara lembut Jimin mengalun perlahan, ia tersenyum tipis memandang wajah Taehyung yang bernodakan tanah lumpur,"ーkali ini apa lagi yang kau jejalkan pada kebunku?"

Kedua alis tebal yang naik diiringi gerak sepasang kaki jenjang, membuat Taehyung semakin melebarkan senyum. Jemari ramping kecokelatan itu tampak terburu-buru mengeluarkan sesuatu dari celemek hitam—Jimin yakin itu adalah note andalannya—dan tampak sibuk menuliskan sesuatu disana.

'Snowdrops,' tulisnya pada lembar kosong. 'Hentikan langkahmu, Park Jimin. Kau menginjak tunas barunya.'

Jimin sedikit terlonjak, lalu mundur beberapa langkah ke belakang. "Ups, maaf."

Taehyung menggelengkan kepala, menunjukkan pada Jimin bahwa itu bukan masalah besar, lalu kembali menulis,'Bagaimana menurutmu?'

Jimin memandang hamparan putih yang tertata manis sembari mengeryitkan kening. "Entahlah, aku sendiri tidak paham dengan tanam-menanam. Yang aku tahu kalau bunga itu indah, kecuali yang berduri dan beracun. Lakukan saja sesukamu, tidak apa-apa, Tae," sahutnya kemudian, lalu memilih untuk kembali melangkah ke kaunter dapur. Jimin yang memang jarang mengurus taman—mungkin lebih tepatnya tidak bisa mengurus taman sendirian—membiarkan teman barunya bereksperimen dengan lahan sisa dibelakang rumah.

Sementara Taehyung yang melihat pemilik rumah berjalan ke arah dapur, bukannya melanjutkan kegiatannya, tapi justru bergegas melepas sarung tangan karet miliknya, dan melangkah mengikuti Jimin. Sepasang iris arang Taehyung memandang punggung tegap yang tengah membelakanginya ituーdan Taehyung merasa Jimin terlihat lebih letih dari biasanya.

'Kau lelah?' tulis Taehyung begitu mereka duduk berhadapan di meja kaunter. Tidak ada jawaban yang didapat. Jimin sendiri sibuk menyesap kopi susu panas secara perlahan, membuat Taehyung mendesah pasrah.

Jimin tidak biasanya seperti ini. Awal perkenalan memang Taehyung mengira Jimin pribadi yang pendiam dan tertutup, karena Jimin jarang berbicara dengannya seminggu pertama. Namun nyatanya tidak. Minggu-minggu setelah perkenalan mereka selanjutnya, pria tersebut justru bersikap hangatーsangat hangat malah, dan gemar bercerita mengenai keluh-kesahnya sepanjang bekerja. Ia sangat baik dan penyayang. Membuat Taehyung merasa menemukan figur orang tua dan sahabat sekaligus dalam diri Park Jimin. Dan setelah dua bulan mempelajari sifat Jimin, Taehyung sadar bahwa diam adalah hal yang akan Jimin lakukan di saat pikirannya sedang tidak stabil.

FrammentoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang