Melodi Kelima

991 200 1
                                    

Ibu datang ke konser, Yoongi melihatnya dan Ayah di samping Ibu. Yoongi melihat sebuah panggung dengan grand piano putih di atasnya, panggung kecil yang Yoongi impikan. 

Panggung kecil dengan ribuan penonton, Yoongi tidak percaya kalau konsernya akan seramai ini. Jimin terlihat antusias di sampingnya, matanya menatap binar ke arah panggung dan tangannya seperti siap menulis melodi.

"Kau mau mengerjakan tugasmu di sini?" Jimin menggelengkan kepalanya tegas kemudian tersenyum begitu lebar.

"Aku mendapat kursi paling depan untuk melihat Jino, dia adalah Museku dan aku tidak akan melewatkan kesempatan mendapat melodi indah untuk dikumpulkan kepada dosen." Yoongi hanya berdecih pelan, menatap remeh panggung kecil yang menjadi pusat perhatian semua orang.

"Kau baru kali ini datang ke konsernya, kenapa seolah kau selalu rajin datang ke konsernya?"

"Kau ini aneh, dunia ini sudah milineal dan serba digital. Memangnya aku harus meminta Beethoven memainkan piano di kuburan dulu untuk mendengarkan Fur Elise? Aku ingin memberitahumu sesuatu, Jino selalu memainkan Fur Elise di lagu pertama dan terakhirnya."

"Kenapa?"

"Karena nama Ibunya Elisa." Yoongi berdecih pelan, menggelengkan kepalanya heran. Dia jauh lebih hebat dari sosok Jino yang terlihat polos dan mudah dibodohi.

"Pasti kalian salah sudah menjadikannya sosok idola."

"Diamlah, Fur Elise memang sederhana tapi kau belum melihat aksi sebenarnya dari seorang Jino." Yoongi kemudian memilih menutup mulutnya rapat-rapat, tidak mau berdebat lebih panjang dengan Jimin yang pastinya tidak akan mengalah.

"Yoon, kau tahu kenapa orang menyebutkan bahwa langit itu ada tujuh lapisan?" Yoongi menggelengkan kepalanya.

"Karena tidak ada orang terbaik di dunia ini, seseorang mungkin merasa sangat hebat tapi dunia terlalu luas hanya untuk mengagumi kehebatan satu orang."



Yoongi tidak ingat bagaimana ceritanya dia bisa terdiam kaku di tempatnya, ketika Fur Elise selesai dimainkan, melodi selanjutnya terdengar begitu indah, penuh perasaan dan penghayatan. 

Semua orang terdiam bahkan memejamkan mata demi menikmati keindahan melodi yang mengalun di penjuru studio. Yoongi juga tertegun dengan semua melodi yang mendadak muncul di kepalanya. Yoongi bahkan melihat Ibu meneteskan air mata dengan tatapan lurus ke arah Sang Bintang dan Ayah yang terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. 

Yoongi tidak percaya Muse, karena dia terlahir sebagai orang yang berbakat. Yoongi lantas melirik Jimin yang terpaku dan mengabaikan rencana menulis melodi yang akan muncul saat melihat Jino. 

Yoongi menatap ke sekeliling dan tatapan semua orang tertuju hanya kepada Sang Bintang yang menghayati permainannya, saat melodi mulai mellow Yoongi tanpa sadar meneteskan air mata, melodi itu semakin banyak bertebaran di otaknya. 

Mendadak Yoongi merasa begitu kecil, Yoongi kemudian menatap Ibu yang masih fokus di satu titik. 

Ibu tidak mungkin berbohong soal bakatnya, lantas kenapa Yoongi merasa bahwa permainan Jino lebih berperasaan dibanding dirinya?



"Jimin-ah, kau tahu nama asli Jino?" Jimin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia masih fokus menulis melodi di bukunya. Usai konser Yoongi mengajak Jimin untuk makan malam sebentar di kafe.

"Apa di dunia ada Muse?" Yoongi kembali melontarkan pertanyaan dan membuat Jimin mendengkus sebal.

"Tentu saja, Jino adalah Muse untukku."

"Apa arti Muse sebenarnya? Apakah seseorang yang berbakat juga memerlukan Muse?"

"Muse adalah sesuatu yang menginspirasi untuk menciptakan sebuah melodi, itu arti Muse bagi seorang pemusik."

"Bagaimana dengan pengalihan perhatian untuk mendapat sudut pandang baru?" Jimin berdecak, menatap Yoongi yang sepertinya dilanda kebingungan dan kebimbangan.

"Kau bisa menganggap itu Muse , tapi Muse bagi setiap orang berbeda-beda."

Yoongi menghembuskan napas pelan kemudian pandangannya beralih ke arah pintu masuk. Mata Yoongi membola saat melihat siapa yang membuka pintu dengan semangat sembari menyeret lembut lengan seseorang.

"Jungkook?" Yoongi bergumam pelan, namun Jimin masih mendengarnya dan mengalihkan pandangan ke arah yang sama dengan Yoongi, Jimin membulatkan mulut dan matanya tidak percaya dan lebih tidak percaya saat sosok yang ditatap Yoongi mengatakan sesuatu.

"Woaah, Yoongi Hyung ? apa lagu untukku sudah selesai?" Jimin mengalihkan pandangan, lantas menatap Yoongi dengan tatapan penuh tuntutan.

"Kau mengenal Jino?" 

Yoongi bungkam, pandangannya lurus kepada senyuman Jungkook dan melodi yang berputar di kepalanya. Jungkook datang bersama seorang laki-laki seumuran Ayah dan sepasang renta. 

Setelah menyapa Yoongi, Jungkook lantas duduk tersenyum begitu lebar sesekali tertawa. Yoongi terdiam saat menatap sosok dengan Hearing Aid di kedua telinganya tersebut, Jimin sibuk dengan buku dan menuliskan melodi.

"Aku tidak tahu kalau pengaruh Muse sangat hebat, bahkan hanya melihat senyumannya aku bisa menemukan melodi di otak udangku." Jimin berujar sembari sibuk dengan melodinya, sedangkan Yoongi masih mencerna semua kejadian yang terjadi belakangan. 

Tentang Jino yang merupakan Jeon Jungkook dan tentang Elisa juga tentang Ibu. 

Yoongi bangkit dari duduknya, mengabaikan tatapan heran dan penuh tanya dari Jimin dan berlari sejauh-jauhnya. 

Yoongi ingat bahwa dia pernah membaca sesuatu tentang Elisa. 

Muse [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang