Melodi Ketujuh

865 206 4
                                    


Yoongi tertunduk saat dosen mengkritik permainan pianonya, akhir-akhir ini dia merasa ragu dengan dirinya sendiri, membuat perasaannya tidak karuan. Terlebih setelah bertemu dengan Jungkook kemarin.

"Kau harus datang ke konser Jino untuk mengerti apa itu musik sebenarnya." 

Jimin membuka suara, mengatakan hal yang sama dengan dosen dan Yoongi juga mendengar suara sama dari teman sekelasnya.

"Aku tidak tahu kenapa permainanmu terasa hambar dibandingkan dengan Jino, permainanmu sangat tidak menghanyutkan."

"Memangnya aku harus menghayutkan pendengar, aku bermain untuk diriku sendiri." Jimin berdecak, dia masih saja sibuk dengan melodi dan bukunya.

"Kau memang tidak memiliki perasaan, jangan bilang bahwa kau bermain dengan kepala bukan dengan perut."

"Aku memainkan piano dengan kedua tangan."

"Maksudku bukan itu. Kau memainkan piano dengan kepala sedangkan Jino memainkan piano dengan perut, kau masih belum paham kalimatku?" Yoongi menggeleng malas, membuat Jimin berdecak kesal.

"Hatimu ada di mana?"

"Perut."

"Itu jawabannya. Kau bermain dengan otakmu bukan perasaanmu, itu yang membuat permainan Jino jauh lebih berperasaan daripada permainanmu yang hambar, melodimu memang bagus tapi kau tidak meletakkan seluruh perasaan dan jiwamu dalam permainanmu, kau terlalu banyak menggunakan logika."




Jungkook selalu duduk di Taman Yeouido Hangang sampai hampir senja, dengan beberapa pengawal yang tersebar demi keamanan Jungkook yang menjadi tuan muda mereka. Jungkook akan bersenandung pelan sesekali terganggu oleh orang mengenalnya dan meminta foto bersama. 

Nama Jino memang semakin terkenal setelah konser tunggalnya dan Jungkook tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dia masih merasa nyaman dengan dunianya. Jungkook terkadang merindukan sapaan Elisa yang memanggilnya Jino.

"Merindukan Mama?" 

Papa datang menemani, senja hampir tiba dan Jungkook tersenyum melihat kedatangan Papa.

"Papa kenapa datang?" Jungkook bertanya sembari menatap wajah tampan Papa.

"Papa ingin menemani anak Papa, memangnya tidak boleh?"

"Papa sudah selesai bertemu dokter?" Papa mengangguk, kemudian menatap paras Jungkook yang mengingatkannya akan seseorang.

"Dokter bilang apa?"

"Jungkook harus banyak beristirahat dan tidak boleh meninggalkan Papa."

"Jungkook tidak akan meninggalkan Papa."

"Benarkah?" Jungkook mengangguk kemudian menatap kedua kakinya yang menggantung secara menyedihkan.

"Jungkook tidak akan meninggalkan Papa, meskipun Jungkook sangat merindukan Mama Elisa." Papa mengangguk kemudian membawa Jungkook dalam dekapannya.

"Mulai besok Jungkook libur sekolah dulu yaa, kita akan sering bertemu dokter setelah ini, Jungkook mau berjalan lagi kan?" Jungkook mengangguk pelan kemudian mendongak demi menatap wajah Papa yang basah oleh air mata.

"Papa, Jungkook akan berjalan lagi karena ini tidak akan lama bukan?"

"Tentu saja, setelah semuanya siap Jungkook akan dioperasi dan sembuh."

"Tapi Papa ... Jungkook tidak mau melupakan Mama Elisa."

Papa tidak menjawab, laki-laki yang terlihat tangguh itu memeluk erat Jungkook. Kelumpuhan tiba-tiba yang dialami Jungkook bukan tanpa sebab, karena kecelakaan satu tahun yang lalu mengubah seluruh garis takdir hidupnya. 

Elisa meninggal, Jungkook mengalami trauma di kepala dan dia sendiri koma. Pagi tadi, seisi rumah nyaris menangis saat melihat Jungkook menatap tidak percaya kakinya yang tidak terasa, dokter bilang itu adalah efek dari trauma di kepala Jungkook dan satu-satunya jalan adalah melakukan operasi dengan segala efek sampingnya. 

Papa tidak sanggup melihat Jungkook kesakitan dan dia juga sakit saat Jungkook mengatakan bahwa dia tidak ingin melupakan Mamanya. 

Muse [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang