₀₄

4.2K 634 61
                                    

Chenle menatap datar orang kelebihan kalsium di pandangannya. Tadi ia yang menggeret Chenle kemari, namun ia malah mengabaikan Chenle yang hanya duduk memandanginya dari tribun penonton selama hampir empat jam.

Sejatinya Chenle tau, jika Jisung sedang kalut, ada satu dari tiga opsi yang akan dilakukan laki-laki itu. Bermain basket, menari, atau berkelahi.

Belum genap dua tahun berteman, Chenle sudah sedikit banyak mengetahui tentang Jisung. Dari kebiasaan kecil sampai kebiasaan buruk yang diluar batas. Pertemanan mereka memang sudah sedekat itu.

Chenle memandangi Jisung yang sedang mendribble bola. Peluhnya sudah membasahi, sampai-sampai ia terlihat seperti habis mandi.

Kadang, Chenle merasa seperti mimpi. Entahlah, ia merasa sangat beruntung bisa berteman dekat dengan Jisung. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna.

Chenle bahkan sering merasa tidak percaya bahwa mereka berteman. Karena di mata sekitar, Jisung merupakan tipe orang cuek yang kasar dan sulit didekati. Nyatanya, Jisung hanyalah laki-laki gila yang suka ngomong ngawur dan terkadang manja.

Chenle pusing.

Jika dilihat dari segi penampilan, Jisung memang terlihat seperti badboy ala novel remaja. Chenle tidak menyangkal, kesan pertamanya terhadap Jisung memang seperti itu. Jisung itu cukup tampan, gayanya juga keren, terlebih dukungan dari tinggi badannya.

Maaf, Chenle menyesal me--

Brak!

"Ah, bangsat!"

Lamunan Chenle seketika buyar saat mendengar suara gaduh disusul umpatan keras dari mulut Jisung. Matanya melihat ke arah sumber suara. Bola berwarna oranye sudah menggelinding menjauh sementara Jisung tidur terlentang di tengah lapangan. Dadanya naik turun, bahkan Chenle bisa mendengar bagaimana Jisung bernapas lewat mulut.

Chenle bangun dari duduknya. Ia menghampiri Jisung. Begitu sampai, Chenle mendudukkan diri tepat di sampingnya.

"Daripada bikin capek badan, mending kamu cerita. Jangan nyiksa diri, Sung," kata Chenle.

Mata Jisung yang semula terpejam pun terbuka saat merasakan sapuan telapak tangan Chenle yang menyeka keringat di wajahnya. Ia mencekal tangan itu, mencegahnya melanjutkan hal tersebut.

"Ah, maaf lancang. Tapi tanganku bersih kok, nggak usah kha--"

"Santai, Le. Masih ada minum gak? Kemarau nih tenggorokan gue," sela Jisung diakhiri kekehan singkat.

Chenle mengangguk. Ia mengambil botol minum yang selalu ia bawa di dalam tas sekolahnya. Untung masih sisa setengah.

Jisung ikut mendudukkan dirinya di tengah lapangan basket. Ia menenggak air di botol itu sampai tandas.

"Makasih, Le," ucapnya. Ia mengambil alih tas gendong milik Chenle lalu mengembalikan botol minum tadi ke dalamnya.

"Pulang, kuy. Capek banget hari ini."

"Eh?"

Chenle menatap bingung Jisung yang berlalu. Lebih tepatnya, Jisung yang menggendong tasnya sendiri di kanan dan tas milik Chenle di kiri.

Merasa tidak ada yang mengekorinya, Jisung menoleh. Ia tertawa kecil melihat Chenle masih duduk di lantai sambil memasang wajah bingungnya.

"Gak mau pulang, Le?"

Chenle gelagapan. Ia buru-buru mengejar Jisung yang sudah keluar dari area lapangan indoor.

"Sung, kamu capek. Biar aku bawa tasku sendiri," pinta Chenle. Ia merasa tidak enak hati. Apalagi hari ini bawaan buku mereka cukup banyak.

"Biar gue aja, Le. Berat ini, kasian lo nanti kecapekan."

Akhirnya, meskipun merasa tidak enak hati, Chenle menurutinya. Percuma saja, ia selalu kalah tiap berdebat dengan laki-laki itu.

Sepanjang perjalanan begitu hening. Jisung hanya diam, laki-laki itu tak kunjung buka suara. Di belakangnya, Chenle hanya memandang punggung Jisung. Ia tidak pandai membuka percakapan, tapi ia tidak suka dengan keadaan seperti ini.

"Sung, udah di pertigaan."

Chenle sedikit bersyukur mendapati mereka sudah berada di pertigaan yang biasa menjadi tempat mereka berpisah arah. Setidaknya kecanggungan itu akan usai di sini. Ia akan belok ke kanan dan Jisung akan ke arah kiri.

"Sung," panggil Chenle sambil dua kali menepuk punggung itu.

Eh? Chenle sedikit panik. Jisung tidak juga menghentikan langkahnya. Bahkan mereka sudah agak jauh dari pertigaan. Ia melirik jam tangannya, pukul tujuh malam.

"S-sung, tasku ..." cicit Chenle.

Chenle tidak mengerti, tapi ia merasa tidak nyaman dengan Jisung yang seperti ini. Beginikah yang dirasakan orang-orang--apalagi teman sekolahnya--saat berada di sekitar Jisung? Auranya begitu ... entahlah, Chenle tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Mungkin beginilah sisi Jisung di mata umum. Dingin, tak tersentuh.

Ribet. Yang jelas, Chenle agak takut.

Chenle ketar-ketir. Ia anak rumahan, mana tau dia daerah sini. Chenle hanya ingat jalan dari rumah ke sekolah atau beberapa tempat yang sering dikunjunginya. Chenle ingin lari, tapi ia takut tersesat.

Di tengah kegundahan hati Chenle, akhirnya Jisung buka suara.

"Le," panggil Jisung pelan, "nginep di rumah gue, mau gak?"




Supot  〰sungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang