BAB 1

26 3 4
                                    

“Aduh gawat!” seru Jagad saat terjaga dari tidurnya. Pemuda berambut ikal itu melirik jam weker di atas nakas.

“Aku bangun kesiangan... ” katanya lagi sambil menyigap selimutnya. Dengan sekali gerakan ia meloncat dari tempat tidurnya lalu melesat ke kamar mandi.

Mak Mira yang sibuk di dapur geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.

“Kenapa Gad, kok buru-buru gitu mandinya?”

“Aku bangun kesiangan, Mak!” sahut Jagad dari dalam kamar mandi.

“Kesiangan? Memang jam berapa sekarang? Mak saja belum selesai masak.”

“Jam tujuh!”

“Apa? Jam tujuh!” seru Mak Mira.

“Nggak mungkin Tan. Tadi baru aja Mak lihat jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam kurang lima menit,” sergahnya kemudian.

“Jam wekerku nggak mungkin salah, Mak,” ujar Jagad menyakinkan Mak Mira.

Apa aku yang salah lihat ya? pikir Mak Mira sambil garuk-garuk kepala. Mak Mira jadi ikutan gopoh sampai-sampai ia salah memasukkan garam ke dalam masakannya. Tadinya setengah sendok teh, malah kebanyakan. Alhasil, lihat saja nanti.

“Sarapan dulu Gad, sayur lodehnya sudah matang,” tawar Mak Mira sambil meletakkan mangkok berisi sayur lodeh di meja makan.

Aromanya yang sedap memenuhi seluruh ruangan hingga tercium sampai ke kamar Jagad. Kalau sudah begini, Jagad akan menyempatkan waktu untuk memakan masakan kesukaannya itu. Tak peduli ia telat, asal bisa menyantap tuh sayur, semua masalah akan teratasi.

Sebelum mengambil nasi, terlebih dahulu Jagad mencicipi sayur lodeh. Ia langsung nyengir begitu kuah sayur yang menggugah selera tersebut masuk ke dalam mulut. Buru-buru ia mengambil minum.

“Mak minta kawin lagi...” tukasnya.

“Husstt ngawur kamu. Memang kenapa? Keasinan ya?” sahut Mak Mira sembari meringis.

Setelah meniriskan ikan pindang dari wajan, perempuan yang berusia tiga puluh enam tahun yang masih tampak cantik itu menuju ruang tengah. Ia penasaran dengan masakannya. Masa iya keasinan? Ia kemudian mencicipi sendiri masakannya dan ternyata benar. asin sekali. Beberapa kali ia memeletkan lidahnya.

“Bener kan asin banget? Kenapa gak sekalian aja Mak kasih garam sekilo,” goda Jagad.

Mak Mira tersipu. “Ah kamu...”

“Ya udah Mak kalau gitu Jagad berangkat dulu. Udah telat nih,” kata Jagad akhirnya. Lalu ia menyambar tasnya di kursi.

“Kalau begitu Mak tambahi uang saku kamu untuk beli sarapan di sekolah.” Mak Mira memberikan dua lembar uang lima ribuan pada Jagad.

“Terima kasih Mak.” Tak lupa Jagad mencium tangan ibunya sebelum berangkat. “Assalamualaikum,” ucapnya.

“Waalaikum salanm. Hati-hati di jalan,” balas Mak Mira.

Detik berikutnya.
“Jad Tunggu... Itu...” teriak Mak Mira ketika Jagad ngipri dengan sepeda pancalnya. Penampilan Jagad pagi ini lain daripada yang lain.

“Nanti saja sepulang sekolah,” ujar Jagad sembari mengayuh sepedanya.

“Apanya yang nanti. Emak cuma mau bilang seragammu kebalik...” gerutu Mak Mira. Sementara Jagad sudah lenyap dari pandangan.

****

Jagad tengah sampai di gerbang sekolah. Napasnya tersengal-sengal lantaran ia menggowes sepedanya kencang sekali. Ia terkejut, kenapa gerbang sekolah masih terbuka. Harusnya tiga puluh menit yang lalu gerbang sudah ditutup. Aneh sekali.
Ini nih yang namanya pucuk dicinta kesempatan pun tiba, pikir Jagad senang.

Mata JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang