BAB 3

2 1 0
                                    

Setengah jam yang lalu, pemuda yang memiliki tatapan tajam seperti elang itu menggowes sepedanya penuh semangat. Biasanya di hari Minggu seperti ini, ia memiliki jadwal rutin bersepeda bersama geng SR.

Mereka sudah janjian berkumpul di salah satu gubuk juwetan, Desa Banjarejo Dusun Lopang. Gubuk itu dibangun memang dikhususkan untuk pengunjung yang datang. Biasanya di musim juwet, kampung yang dikenal sebagai kampung juwet ini ramai dikunjungi terutama di hari libur. Taman juwet terletak di persawahan warga kampung Banjar. Juwet sendiri atau jamblang atau disebut juga jambu keling adalah sejenis ohon buah dari suku jambu-jambuan. Buahnya kecil seukuran anggur namun berbentuk lonjong sampai bulat telur. Rasanya sepat masam namun kaya akan vitamin A dan C. Selain mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh, kulit pohon, buah dan daun dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit limpa, kencing manis, diare, dan beberapa penyakit lainnya. Bijinya saja bisa menurunkan gula darah.

Masih terlalu pagi. Belum ada yang datang kecuali pemuda itu. Ia memang datang lebih awal. Setelah sarapan, pemuda itu langsung meluncur ke tempat tujuan. Matanya menyapu pandang ke segala penjuru. Pohon-pohon juwet yang tumbuh subur di tengah area pematang sawah yang meranggas kosong kerontang tanpa tanaman padi atau semacamnya. Di musim kemarau seperti ini, kekeringan melanda. Sawah-sawah menjadi gersang. Yang tampak adalah rerumputan yang menguning. Tanah persewahan membentuk cela-cela kecil seperti parsel. Meranggas. Seperti hatinya saat ini. Pikirannya melayang. Ia merindukan sosok sang ayah.

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula, ia selalu bertanya-tanya. Mengapa ayahnya pergi dari rumah. Tidak mungkin sang ayah pergi tanpa sebab. Pasti ada alasannya. Ibunya hanya diam saja ketika ditanya. Dunia seolah telah mempermainkannya. Ada rahasia apa dalam keluarganya? Sejak semalam, Jagad tidak menegur ibunya. Kekesalan atas sikap diamnya sang ibu selama ini terkumpul menjadi sebuah kemarahan yang tak terbendung. jagad tidak bisa lagi menahan gejolak emosinya. Ia lelah. Sangat lelah.

Tak berapa lama, teman-teman pemuda yang berpostur cukup tinggi itu, satu persatu datang. Kedatangan mereka tidak disadari olehnya. Ia sibuk dengan pemikirannya hingga sebuah sentuhan lembut di pundaknya menyedot kesadarannya.

“Kau kenapa Gad? Pagi-pagi begini sudah melamun. Awas nanti kesambet,” ujar Lugut. Yang lain terkekeh.

Jagad tergeragap.

“Kau ada masalah?” timpal Zumaroh, kerabat Jagad dari desa lain. Cewek cubby itu cukup dekat dengan Jagad. Jika dilihat dari gerak-gerik Jagad pagi ini, sepertinya ada masalah. Siswi SMK Negeri 1 itu sangat paham dengan karakter Jagad.

“Nggak apa-apa. Ayo kita mulai bersepedanya,” tukas Jagad berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlihat sedih di hadapan teman-temannya.

“Sebentar. Nunggu yang lain kumpul dulu. Swasti, Lia dan juga Gesang belum datang,” sahut Yunita.

“Itu mereka... Swasti dan Lia.” sambung Didik. Cowok bertubuh tambun itu mengacungkan jari telunjukknya.

“Berarti tinggal Gesang saja yang belum.” Nur Cahyo menambahkan. Baru sepersekian detik cowok yang paling kocak itu mengatupkan bibirnya, muncul Gesang di belakang Swasti dan Lia.

Lengkap sudah geng SR berkumpul. Tanpa banyak kata, akhirnya mereka menggowes sepeda masing-masing.

****

Layaknya para penjelajah, ke sepuluh geng SR itu, menusuri pelosok desa, melewati jalanan berbatuan dan berliku. Zumaroh yang berada di posisi paling belakang, menambah kecepatannya supaya bisa menyusul Jagad yang berada di depannya. Sejak di gubuk juwetan tadi, Zumaroh kepikiran Jagad. Ia tidak bisa tenang sebelum mendapatkan jawaban pasti bahwa saudaranya itu baik-baik saja.

Mata JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang