Mobil sedan BMW berwarna silver itu melesat membela jalan. Suaranya begitu halus, nyaris tak terdengar oleh indera pendengaran. Inilah yang membedakan kendaraan mewah dengan kendaraan biasa. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mampu membelinya. Seperti halnya dengan Kakek yang mengantar Jagad pulang ke rumah.
Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke rumah Jagad. Sepanjang perjalanan, hatinya berbunga. Ia tidak menyangka bakal mendapatkan pekerjaan secapat ini. Kakek yang baru dikenalnya itu seperti malaikat penolong yang disiapkan Tuhan untuknya. Sudah dua kali pertemuannya dengan sang Kakek, namun Jagad belum tahu siapa Kakek ini sebenarnya. Mengapa ia begitu baik padanya. Untuk saat ini, tidak penting siapa Kakek yang membantunya itu. Yang jelas, ia bersyukur sekali akhirnya memperoleh pekerjaan. Dengan begitu, masalah keuangan di keluarganya bisa terselesaikan.
“Jadi ini rumah kamu?” tanya Kakek ketika mobilnya berhenti tepat di depan halaman rumah minimalis berlantai keramik putih itu.
“Iya, Kek,” jawab Jagad. Ia kemudian membuka pintu mobil. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Nasib sepeda saya gimana, Kek?” tanyanya cemas.
“Kamu nggak perlu khawatir. Sepeda kamu aman.”
Jagad menghela napas lega. Setelah mengucap terima kasih pada Kakek baik hati itu, ia keluar dari dalam mobil.
“Kakek nggak masuk ke rumah dulu? Nanti saya perkenalkan pada ibu saya.”
“Kakek di sini saja.”
“Ya sudah biar saya panggil ibu. Kakek tunggu di sini sebentar.”
Jagad berlari kecil menuju rumahnya. Ternyata, Mak Mira sedari tadi memerhatikannya dari balik jendela. Jagad cukup terkejut ketika mendapati sepedanya sudah berada di teras rumahnya. Sesaat pandangannya terfokus pada sepeda motor matic terparkir di sebelah sepedanya. Heyy... sepeda baru punya siapa ini? Kenapa ada di sini? Atau Mak Mira yang membelinya? Berbagai pertanyaan menjejali otaknya.Jagad melayangkan kakinya memasuki rumah.
“Assalamualaikum,” ucap Jagad ketika berada di ambang pintu.
“Waalaikum salam,” sahut Mak Mira.
“Mak itu sepeda... “Belum selesai bicara, tangan Jagad sudah ada yang menariknya.
“Kamu diantar siapa, Gad?” tanya Mak Mira memotong.
“Mak ini bikin kaget saja. Ngapain sembunyi di sini?” Jagad bertanya balik.
“Ditanya malah balik bertanya. Itu di luar mobilnya siapa? Kenapa kamu diantar pakai mobil itu?” tunjuk Mak Mira dari balik jendela.
“Itu Kakek yang pernah aku ceritakan waktu itu. Ayo Mak, aku kenalkan pada Kakek,” ajak Jagad sambil mencekal tangan Mak Mira.
“Tunggu, Gad!” seru Mak Mira saat tangannya ditarik Jagad keluar.
Jagad tak peduli dengan seruan ibunya. Ia tetap menyeret ibunya keluar menemui Kakek.
Sementara itu dari kejauhan, sang Kakek memerhatikan ibu dan anak itu dari balik kaca mobilnya. Keningnya berkerut. Tiba-tiba ponselnya berdering.“Hallo. Iya emailnya sudah masuk. Baik,” ucapnya. Sambungan terputus.
“Jalan... “ katanya kemudian pada sopirnya.
“Baik Pak,” jawab sopir yang berusia sekitar 24 tahun itu. Ia menstarter mobilnya. kemudian hanya dalam waktu hitungan detik, mobil mewah itu meluncur dengan kecepatan sedang.
“Tuh kan, Mak. Kakek udah pergi. Mak sih kelamaan,” protes Jagad saat melihat mobil yang tumpangi Kakek menghilang dari pandangan.
Jagad melepas cekalannya. Mendengus kesal. Kecewa. Mak Mira jalannya lelet. Ia tak bisa memperkenalkan ibunya pada Kakek yang baik telah memberikannya pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Jagad
Teen FictionIni bukan tentang cinta tapi sebuah rahasia yang selama ini terkubur bersama masa lalu. Bermula ketika Jagad mengikuti lomba menulis lagu yang diadakan salah satu produsen minuman terkenal yang menjadi salah satu sponsor dalam pekan olahraga terbesa...