BAB 11

1 0 0
                                    

Sejak setengah jam yang lalu, Jagad berada di kamarnya. Pemuda berambut kriting itu bingung memilih baju apa yang harus ia kenakan. Sedari tadi ia mengacak-ngacak lemari pakaiannya, mencari baju yang pas untuk dipakai tampil di kafe Mayana malam ini.

Jagad tidak memiliki banyak koleksi baju bagus. Hanya beberapa stel saja yang jarang dipakai. Dulu, ketika ada ayahnya, ia masih bisa membeli baju baru. Hampir setiap sebulan sekali, setidaknya belanja 1 pakaian.

Nanjiren kaos oblong lengan panjang berkerah kelapak longgar bergaris-garis dengan dominasi warna merah marun menjadi pilihan terakhirnya. lalu untuk celana, pilihannya jatuh pada celana Cino panjang model slim fit berbahan cotton.

Setelah selesai memakai pakaiannya, ia kemudian mematut di depan cermin. Memandangi tatanan rambutnya yang baru dipoles dengan sedikit minyak rambut wag agar terlihat kaku. Tidak ada yang istimewa dari gaya rambutnya selain rambut keriting berwarna hitam mengkilap. Kadang timbul pertanyaan, dia lebih mirip ayah atau ibunya? Sementara kedua orang tuanya itu berambut lurus. Bahkan yang tampak mencolok perbedaannya adalah bola mata Jagad yang berwarna kecoklatan sedang kedua bola mata orang tuanya berwarna hitam.

Tok tok tok. Suara pintu diketuk telah membuyarkan lamunannya.

“Iya Mak ada apa?” tanya Jagad.

“Ada teman-temanmu. Mereka menunggu di luar!” seru Mak Mira.
“Iya Mak, sebentar lagi selesai,” sahut Jagad.

Tak berapa lama Jagad keluar dari kamar. Di ruang tamu terdengar suara gaduh. Itu pasti suara teman-temannya. Yang lebih kentara adalah suara Nur Cahyo, terdengar paling keras. Jagad bisa menebak kehebohan teman-temannya. Pasti sepeda motor baru itu. Dan benar saja, ketika Jagad muncul dari balik ruang tengah, ia langsung diserbu berbagai pertanyaan dan ucapan selamat dari geng SR.

“Ceritanya nanti saja. Yuk berangkat,” sahut Jagad singkat sambil mententeng helmnya.
Jagad menghitung personel Geng SR. Ada yang kurang.

“Zumaroh, Lia dan Azid kemana? Kok nggak ikut?” tanyanya.

“Zumaroh nggak bisa ikut karena pamannya masuk rumah sakit. Operasi usus buntu. Kalau Lia dan Azid, tadi WA, katanya besok ada ulangan harian. Mau belajar dulu,” jelas Swasti.

“Nur, bonceng ya,” pinta Jagad sambil mesem.

“Beres Bos! Asal jangan lupa traktirannya habis beli sepeda baru,” goda Nur Cahyo sembari menaik-turunkan kedua alis.

“Aissttt. Udah ah, kita berangkat. Ditunggu sama Kakek nih!” seru Jagad.

Mereka akhirnya berangkat menuju kafe Mayana usai berpamitan pada Mak Mira.

****

Sampai di Kafe, keenam personel band SMA Negeri 1 dan beberapa teman dari geng SR disambut oleh seorang laki-laki perperawakan tinggi besar. Usianya sekitar 30 tahunan.

“Perkenalkan, saya Lukman, manager kafe di sini. Sesuai amanat pemilik kafe ini, kalian diterima kerja di sini untuk mengisi acara musik sesuai jadwal yang sudah kami tetapkan,” ujarnya setelah menyalami Jagad dkk.

Mereka duduk diantara barisan meja-meja yang memiliki 4-6 kursi kayu. Konsep yang dihadirkan oleh kafe Mayana terbilang klasik dengan funiture berbahan kayu jati lengkap dengan lukisan-lukisan ala-ala American style yanga terpajang di dinding kafe.

Jagad, Nur Cahyo, Didik, dan Pak Lukman duduk di satu meja. Sementara Gesang, Lugut, Vika, Yudi, Swasti dan Yunita duduk di meja yang sama berdekatan dengan meja Jagad. jadwal mereka diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu waktu belajar karena mereka masih sekolah. Semua setuju kecuali Yudi. Cowok berwajah tampan itu meminta supaya jadwalnya sedikit diubah. Khusus di hari Minggu saja. Jadwal yang sudah ditetapkan di hari Minggu, bertabrakan dengan jadwal les biolanya. Akhirnya dengan pertimbangan yang ada, Pak Lukman meloloskan permintaannya.

“Oke kalau semua sudah sepakat, hari ini, kalian bisa tampil,” kata Pak Lukman. Laki-laki berkaca mata itu mempersilahkan band Jagad dkk naik ke podium.

“Sekarang Pak?” tanya Didik tidak percaya. Sepertinya ia terlihat gugup. Ini pengalaman pertamanya masuk hotel terbesar di Lamongan dan langsung disuruh tampil di muka umum. kalau sebelumnya ia sudah pernah tampil perdana di aula. Itu pun masih di lingkup sekolah. Kali ini atmosfirnya beda.

“Iya sekarang,” kata Pak Lukman menegaskan.

Keenam personel band SMA Negeri 1 maju menuju panggung yang tidak telalu besar. Tingginya saja tidak sampai selutut orang dewasa dengan 2 anak tangga.

Sebelum memulai permainan musiknya, terlebih dahulu mereka melakukan check sound. Selang beberapa menit kemudian, musik kembali mengalun lembut. Kali ini diringi suara khas Christin Ayu Vika, satu-satunya personel cewek yang sangat mengagumi band Armada. Tak pelak, lagu yang lagi hits band idolanya itu, Asal Kau Bahagia itu menjadi lagu pembuka yang dinyanyikannya. Hampir semua pengunjung kafe mendengarkannya dengan takzim, termasuk pengunjung hotel yang hendak check in di resepsionis.

Sudah 5 lagu dinyanyikan vokalis band Jagad dkk. Penampilan mereka cukup memukau. Membuat decak kagum pengunjung kafe. Setiap menyelesaikan 1 lagu, mereka memberi jeda beberap menit untuk istirahat sembari memilih lagu yang lagi hits saat ini. Sesekali mata Jagad melirik area kafe dan sekitarnya. Ia tak melihat sosok yang sudah memberinya pekerjaan. Padahal ada banyak hal yang ingin ditanyakan pada kakek yang baik hati itu.
Sementara itu, Nur Cahyo sempat menangkap sosok yang sedari tadi memerhatikan penampilannya di balik tiang dekat resepsionis. Sepertinya Nur Cahyo mengenalinya. Sosok itu langsung pergi ketika mata Nur Cahyo mengarah padanya.
Setelah 1 jam setengah, Vika menutup penampilan mereka dengan lagu terakhir berjudul payphone yang dipopulerkan oleh Maroon 5. Riuh tepuk tangan pengunjung kafe menggema termasuk manager kafe Mayana, Pak Lukman. Tampak jelas melalui ekpresi wajahnya yang menunjukkan kepuasan.

“kalian keren sekali. Luar biasa,” puji Pak Lukman saat kelima personel itu menghampirinya.

Pujian itu itu juga dilontarkan oleh tiga sahabatnya yang lain. Yunita, Swasti dan Gesang. Mereka menyalami keenam personel band Jagad dkk.

“Kira-kira nama band kalian apa?’ tanya Pak Lukman.

Keenam personel band Jagad dkk saling memandang satu sama lain. Bingung. Sejak terbentuk, band yang digawangi Jagad, belum memiliki nama.

“Kenapa nggak kasih nama SR band aja?” celetuk Swasti. Kontan anak-anak serta Pak Lukman menatapnya. Membuat Swasti salah tingkah.

“Kenapa kalian menatapku seperti itu? Salah ya?”

“Ide bagus,” sahut Jagad. Lalu mengedarkan pandangan pada personel lainnya, meminta persetujuan. Dalam hitungan detik, semuanya setuju.

“SR itu singkatan apa?” Pak Lukman penasaran.

Solidarity of Relationship,” jawab geng SR serempak. Detik kemudian mereka tertawa. Pak Lukman juga ikut tertawa. Kompak!

****

Mata JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang