BAB 5

1 1 0
                                    

Kawasan indsutri di Karawang padat merayap. Terutama di pagi hari. Hampir 80% lalu lintas di jalan raya dipadati kendaraan bermotor milik karyawan pabrik. Sebuah sedan BMW berwarna silver itu memasuki pelataran parkiran. Laki-laki berjas hitam dengan dasi berwarna biru muda itu, kontras dengan wajahnya yang tegas dengan rahang yang kuat.
Tubuh yang kokoh dan tegap meski sudah berumur terkesan gagah sebagai seorang laki-laki yang berkharisma. Penampilannya nyaris sempurna. Tatapannya yang tajam dan dingin membuatnya sangat disegani oleh karyawannya.
Seorang sekretaris muda nan cantik sudah menyambutnya di lobi kantor. Sekretaris muda yang memakai blezzer motif garis-garis itu menyejajarkan langkah atasnya sembari menyampaikan jadwal meeting untuk hari ini. Laki-laki itu hanya mengangguk sebentar sebagai bentuk jawaban.

Tak lama setelah itu, keduanya sudah berada di depan lift. Hanya menunggu beberapa detik saja, pintu lift akhirnya terbuka. Lantas keduanya masuk. Setelah menekan nomor lantai yang dituju, lift bergerak naik ke atas, menghantarkannya sampai ke lantai tiga, ruang kantor bos muda tersebut.

****

Sedari tadi bos muda itu menggerakkan kursi empuknya ke kanan dan ke kiri. Sesekali ia memainkan bulpen yang dipegangnya. Semenjak kepulangannya ke Jakarta, ia langsung bertolak ke Karawang. Selama sepekan terakhir, ia tidak fokus bekerja. Sering kali pikirannya melalang buana ke tempat lain. Laki-laki berbadan tegap itu merogoh kantong bagian dalam jasnya. Sebuah kalung berleontin bujur sangkar yang ditengahnya terdapat simbol bulan sabit. Kalung itu selalu ia bawa kemana-mana. Kemudian ditariknya rantai kalung yang melinggar di lehernya. Sebuah leontin menyembul dari balik kerah bajunya. Lantas ia menyandingkan kedua leontin tersebut.

Ah, bayang-bayang wajah pemuda itu kembali hadir di pelupuk matanya. Meski misteri pemilik kalung itu mulai terjawab, tapi ia tidak habis pikir. Ada hubungan apa pemuda itu dengan perempuan di masa lalunya? Mengapa pemuda itu memiliki kalung yang pernah diberikan pada perempuan yang pernah melukiskan rasa di hatinya? Ah, masalah ini benar-benar membingungkan.
Baru kemarin ia membuka album foto masa kecilnya. Wajah anak itu, bola matanya yang kecoklatan, mengingatkannya pada masa kecilnya. Ia begitu mirip hanya saja warna kulitnya lebih putih daripada pemuda itu. Rasa-rasanya memang tidak aneh. Di dunia ini, banyak sekali hal-hal yang memiliki kemiripan.

Tok tok tok.

Suara pintu diketuk menggugah kesadarannya. Bos muda itu membenarkan posisi duduknya.

“Masuk,” katanya kemudian.
Pintu terbuka. Seorang perempuan cantik muncul dari balik pintu.

“Ada apa Nan?”

“Maaf Pak Qiano, Anda ditunggu di ruang meeting,” jawab perempuan cantik yang diketahui bernama Nandy, sekretarisnya.

“Baik. Saya akan segera ke sana. Tolong siapkan berkas-berkasnya,” pinta Qiano.

“Baik Pak. Saya permisi dulu,” ujar Nandy sembari membungkukkan tubuhnya sebelum meninggalkan ruangan.

****

Usai meeting, semua staff yang telibat satu per satu meninggalkan ruangan. Menyisahkan bos muda dan pimpinan perusahaan. Untuk sesaat keduanya hening dalam posisi duduknya masing-masing. Suhu di ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Kursi yang diduduki pimpinan perusahaan bergeser ke belakang lalu berputar menghadap ke jendela, membelakangi bos muda yang hanya berjarak satu meter saja.
Bos muda itu mendesah. Ada ketegangan yang menjalar. Dalam benaknya, ia hanya bisa pasrah.

“Sejak kapan Papa ada di sini? Kupikir Papa tidak hadir untuk mengikuti meeting.” Qiano membuka topik pembicaraan.

“Ini perusahaan Papa. Jadi terserah Papa,” jawab Pak Fernando sinis. Lelaki yang mulai tampak kerutan dibagian wajahnya itu memandang ke luar jendela.

Qiano menundukkan kepala. Dadanya mulai sesak. Sepertinya sampai detik ini, Papa belum memaafkan kesalahannya.

“Apa Papa masih marah padaku?”

Mata JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang