Dalam perjalanan pulang, Nur Cahyono masih memikirkan sosok yang dilihatnya di hotel. Tidak salah lagi, itu pasti dia. Tapi kenapa dia ada di situ?
“Nur, kita mau ke mana? Rumahku udah lewat,” ujar Jagad sembari menepuk bahu Nur Cahyo saat menyadari motor yang ditumpanginya masih melaju melewati rumahnya.
“Oh ya ya. Maaf,” sahutnya.
Sesaat Nur Cahyo menepi lalu putar balik. Rumah Jagad terlewat cukup jauh sekitar 200 meter.“Lo ngelamun ya? Wah parah nih!”
Nur Cahyo meringis. Sesampai di depan rumah, Jagad kembali memberondong pertanyaan.“Sebenarnya ngelamunin apa sih sampai nggak nyadar rumahku udah lewat?” tanyanya sembari turun dari jok motor milik Nur Cahyo.
“Tadi aku lihat Ari,” kata Nur Cahyo setelah mematikan mesin motor.
“Ari? Ari teman SMP kita?” tanya Jagad memastikan. Tangannya sibuk melepas tali pengikat yang ada di bawah telinga kiri. Terdengar bunyi klek saat tali pengikat terlepas dari pengaitnya. Setelah itu ia melepas helm dari kepalanya.
“Rivalku,” sahut Nur Cahyo cepat dan tegas.
Ada rasa ketidaksukaan dari nada sahabatnya itu. Jagad bisa memahami. Sejak di bangku SMP, mereka saling bermusuhan. Lebih tepatnya, musuh dalam bermain musik. Ya, keduanya sama-sama pemain piano andalan SMP Negeri 1 tikung. Awalnya mereka bersahabat. Saling support. Namun, Nur Cahyo selalu diunggulkan dalam mengikuti setiap kompetisi bermusik dan selalu menang, sementara Ari seperti dianak tirikan. Hal ini yang menyebabkan rasa benci tertanam di hati Ari. Nur Cahyo adalah rival terberatnya.
“Aku nggak tahu kenapa Ari begitu membenciku. Padahal aku sama sekali nggak pernah membencinya.” Nur Cahyo mendesah.
Meski sudah tidak satu sekolah lagi, Ari dan Nur Cahyo masih sering ketemu di jalan bahkan setiap ada kompetisi bermusik, mereka dipertemukan untuk mewakili sekolah masing-masing. Seperti 2 bulan lalu ketika Dinas Pendidikan mengadakan pentas seni musik tingkat SMP dan SMA se-kabupaten Lamongan. Ari mengikuti pentas seni tersebut. Ia mewakili SMK PGRI 1 sementara Nur Cahyo mewakili SMA Negeri 2. dan lagi-lagi, Nur Cahyo menjadi jawara sedang Ari menjadi juara 2. Tentu saja hal ini menambah kebencian Ari pada mantan sahabat dekatnya itu.
“Kamu yang sabar ya,” ucap Jagad sembari menepuk pundak Nur Cahyo.
“Ya sudahlah. Lupakan. Aku mau balik dulu ya, Gad. Udah malam,” pamit Nur Cahyo.
“Ya. Hati-hati di jalan.”
“Oh ya kaset rekaman kita ada di kamu, kan?”
“Iya.”
“Jangan lupa besok dibawa. Pulang sekolah, kita langsung ke panitia lomba. Berangkat sekolah nggak usah bawa sepeda, nanti aku jemput,” kata Nur Cahyo mengingatkan. Ia kemudian menstarter motornya.
“Okey,” ujar jagad sembari mengacungkan jempolnya.
Detik berikutnya, Nur Cahyo melesat. Setelah hilang dari pandangan, Jagad masuk ke rumah.
****
Dering alarm yang cukup nyaring membuat Jagad terjaga dari tidurnya. Untuk kedua kalinya alarm itu berbunyi. Dengan malas, ia merabah-rabah atas nakas samping tempat tidurnya, mencari sumber suara. Setelah ketemu, lantas ia mematikannya. Sumber suara itu berasal dari ponsel. Sudah seminggu lebih jam weker Jagad rusak. Mau tak mau, ia menyetel alarm di ponselnya. Jagad memasang alarm sebanyak 2 kali. Pukul 04.30 dan 04.50. hal itu ia lakukan supaya ketika ia malas bangun di jam pertama, ia akan terbangun di jam kedua seperti saat ini.Sudah menjadi kebiasaan Jagad bangun sebelum mentari menyapa pagi. Setelah bangun, biasanya ia langsung mengambil air wudlu lalu menjalankan salat subuh.
Kelihatannya, Jagad masih mengantuk sekali. Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan hari esok. Ia memiliki firasat buruk setelah mendengar cerita Nur Cahyo soal Ari. Sepertinya belum ada jalan damai di antara keduanya. Ternyata, sebuah persaingan dapat menghancurkan persahabatan. Nur Cahyono versus Muh. Ari Kuswanto.
Selain itu, ada hal-hal lain yang ia pikirkan. Sampai saat ini, Jagad masih belum percaya memiliki sepeda motor baru. Ia yakin 100 % bahwa Kakek itu yang telah membelikannya. Tapi atas dasar apa? Hanya karena Jagad membantunya menyebrang jalan, lalu dengan gampangnya memberikan hadiah berupa motor yang harganya mencapai dua puluh juta. Baginya itu harga yang fantastis untuk membalas secuil kebaikan. Ya, kebaikan yang sudah ia lakukan terhadap Kakek itu. Padahal ia sama sekali tidak meminta imbalan apapun. Ia ikhlas melakukannya. Toh, Kakek sudah membantunya mencarikan pekerjaan untuknya dan teman-temannya. Itu sudah lebih dari cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Jagad
Teen FictionIni bukan tentang cinta tapi sebuah rahasia yang selama ini terkubur bersama masa lalu. Bermula ketika Jagad mengikuti lomba menulis lagu yang diadakan salah satu produsen minuman terkenal yang menjadi salah satu sponsor dalam pekan olahraga terbesa...