BAB 4

1 1 0
                                    

Lomba menulis lagu penyemangat yang diadakan dinas pendidikan Lamongan bekerja sama dengan produsen minuman terkemuka di Indonesia itu, boleh diikuti perorangan maupun group dan berstatus pelajar atau mahasiswa. Diselenggarakan dalam rangka menyambut pekan olahraga terbesar se-Asia, Asian Games 2018 yang akan diadakan di Indonesia. Pemenang dalam lomba tersebut berkesempatan untuk bisa tampil di opening ceremony Asian Games 2018 sekaligus menjadi soundtrack dalam pembuatan iklan produk minuman yang akan diluncurkan PT Agung Sentoso. Info ini baru didapat Jagad dari guru pembimbing ektra musik di sekolahnya sebagai penyemangat peserta yang mengikuti lomba.
Tak banyak dari siswa-siswi SMA Negeri 2 yang benar-benar memiliki bakat di bidang musik atau tarik suara. Anak-anak yang mengikuti ektrakulikuler musik di sekolah sekadar ingin belajar bermain musik atau hanya ingin mengisi waktu luang, menambah ilmu. Semenjak group band dari SMA Negeri 2 menjuarai ajang pencarian bakat tingkat nasional beberapa tahun silam, musik menjadi salah satu ektrakulikuler di sekolah yang diunggulkan. Hal tersebut meningkatkan minat para siswanya dalam bermusik. Termasuk Jagad. Selain pandai bermain gitar, Jagad berbakat pula dalam menulis lirik lagu. Hanya saja ia tidak bisa bernyanyi. Suaranya pas-pasan.
“Sudah kamu siapkan liriknya, Gad?” tanya Pak Aris, guru pembimbing berbadan tegap. Untuk masalah lirik, Pak Aris mengandalkan Jagad. Ia tahu kemampuan Jagad tidak diragukan lagi.
“Sudah Pak. Tinggal menentukan nada-nadanya saja,” jawab Jagad. Ia kemudian membuka tasnya, mengambil kertas berisi lirik lagu yang dibuatnya semalam lalu menyerahkannya pada Pak Aris.
“Bagaimana dengan yang lain?” tukas Pak Aris sembari membagi pandangan pada murid didiknya yang hadir.
“Ini Pak saya juga buat,” sahut Vika sembari menyerahkan selembar kertas.
“Dari lima belas yang mengikuti ektra musik, hanya dua orang yang membuat? Bukankah kemarin saya meminta kalian semua untuk menulis lirik lagu?” Pak Aris mendelik. Pembimbing yang terkenal galak itu melempar tatapan tajam pada Nur Cahyo yang sedari tadi bermain handphone. “Nur, bagaimana dengan kamu?”
Nur Cahyo mendongak. “Maaf Pak, kalau saya hanya bisa membuat surat cinta,” selorohnya. Spontan banyolannya memancing tawa anak-anak.
“Diam semuanya!” bentak Pak Aris. Seisi ruangan menjadi hening. “Karena hanya ada dua orang yang membuat lirik, saya putuskan hanya akan mengirim satu tim untuk mewakili sekolah kita.”
“Yaaa...” dengus anak-anak serempak. Wajah-wajah kecewa tampak jelas di raut mereka. Banyak yang menggerutu tidak jelas.
“Pasti yang terpilih jadi tim adalah kakak senior kita. Mereka kan jago bermain musik dibanding kita. Sementara kita?” bisik Heru Patria pada teman disebelahnya. Siswa kelas XI IPS 2 yang kemarin memenangkan lomba menulis novel yang diadakan salah satu penerbit terkemuka di Indonesia itu, baru bergabung dua bulan lalu.
“Tentu saja. Terutama Kak Nur Cahyo. Meski dia agak sinting tapi jago bermain piano. Aku saja sampai kagum padanya,” ujar Yudi dengan suara pelan. Siswa kelas XI IPA 1 itu mengungkapkan kekagumannya.
Jagad yang duduk di depannya mendengar pembicaraan mereka tersenyum. Kemudian ia menoleh ke belakang. “Belum tentu. Siapa tahu kamu nanti kepilih,” sahutnya.
“Baiklah, waktu kita tidak banyak, saya akan langsung menentukan siapa saja yang akan masuk tim.” Pak Aris mulai serius setelah anak-anak terdiam. Semuanya mendengarkan dengan jantung berdebar-debar, berharap mereka bisa terpilih.
“Saya akan membentuk group band yang terdiri dari lima personel. Vokalis, gitar, piano, bass dan drum. Untuk vokalis, karena di sini ada empat orang yang suaranya bagus, nanti akan saya seleksi lebih dulu. Untuk pemegang gitar, saya pilih Jagad sekaligus sebagai leader.” sejenak Pak Aris memberi jeda.
Gemuruh tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan. Jagad tersenyum pias. Bukannya tidak senang karena terpilih. Keikutsertaannya dalam ektra musik di SMA atas dorongan teman-temannya. Semenjak mengetahui kebenaran itu, Jagad semakin tak bersemangat. Lebih dari itu, ia harus mengetahui kenyataan pahit yang membuatnya kehilangan sosok sang ayah yang dicintainya.
“Untuk pemegang bass, saya pilih Didik. Lugut sebagai pemegang drum dan tentu saja yang menjadi pianis andalan SMA Negeri II, kalau bukan Nur Cahyo,” lanjut Pak Aris.
Didik dan Lugut sangat senang mendengarnya. Apalagi mereka berdua bisa tetap gabung bersama geng SR. Sementara reaksi Nur Cahyo biasa saja. Hal ini karena ia sudah terbiasa mewakili sekolah dalam kontes musik. Tidak ada siswa siswi yang lebih jago bermain piano selain dia.
“Bagi yang sudah terpilih. Silahkan meninggalkan aula. Kalian hanya punya kesempatan berlatih selama dua Minggu saja. Manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Khusus buat Nur Cahyo. Kalau kamu tidak serius berlatih dan selengean terus. Bisa jadi saya akan menggantikan posisimu dengan siswa lain,” ujar Pak Aris tegas.
Nur Cahyo nyengir kuda. Ketiga sahabatnya justru terbengong. Lagi-lagi Nur Cahyo yang menjadi sasaran empuk atas kemarahan Pak Aris.
“Kenapa kalian bengong? Apa kalian juga ingin saya ganti? Silahkan menuju ke ruang musik untuk latihan. Sekarang!!!” Suara Pak Aris naik beberapa oktaf, membuat gemetar seisi ruangan. Jagad, Didik dan Lugut langsung ngacir meninggalkan aula. Sementara Nur Cahyo, masih saja duduk bersilah di posisinya. Anak itu, memang sudah kebal terhadap kegarangan Pak Aris.
“Nur Cahyo, ngapain kamu ada di situ? Apa kamu ingin posisimu aku ganti sekarang juga?”
“Saya ingin mengetahui siapa yang akan menjadi vokalis kita, Pak,” ujar Nur Cahyo santai.
Pak Aris melotot tajam. Kalau sudah begini, Nur Cahyo langsung paham. Sebelum ultimatum dari guru garang itu berkumandang, ia harus segera angkat kaki.
“Baik Pak. Baik. Saya ke ruang musik.” Nur cahyo langsung menyusul teman-temannya yang lebih dulu meninggalkan aula.
“Berikutnya, saya akan memilih empat orang untuk diseleksi untuk menjadi vokalis. Hanya ada satu orang yang akan bergabung dengan mereka,” ujar Pak Aris kemudian. Sesaat ia kembali memberi jeda. Jemarinya lincah mencatat daftar nama-nama siswa yang dipilihnya.
“Siapa saja Pak? Saya kepilih juga kan? Saya bisa nyanyi loh. Suara saya tidak kalah bagus dengan suara Afgan,” celetuk Yani. Siswa berginggsul itu sifatnya hampir mirip Nur Cahyo. Suka selengean. Tidak pernah serius dalam mengikuti ektra musik. Padahal ia memiliki bakat dibidang tarik suara. Dari sekian siswa yang mengikuti ektra musik, hanya dia yang bisa nyanyi. Tujuan sebenarnya ia bergabung lantaran ada salah satu siswi adik kelasnya yang ia taksir, Nur Qomaroh, siswi kelas X.
“Bisa jadi. Tapi belum tentu saya akan memilihmu meskipun kualitas suaramu melebihi suara Afgan atau Ari Lasso!” gurau Pak Aris dengan nada serius.
Lagi, suara tawa kembali membahana. Yani cengar-cengir. Sesekali ia melirik pujaan hatinya.
“Diam semuanya!” Pak Aris memberi peringatan. Semuanya terdiam.
“Oke, sebelum saya memilih empat anak, kita akan belajar musik klasik lebih dulu.”
“Alaa...”

****

Suara derap kaki sepanjang koridor menuju ruang musik terdengar harmonis. Disusul langkah seseorang yang terseret-seret mengejar ketiga orang yang berada di depannya. Siapa lagi kalau bukan Nur Cahyo.
“Woe tunggu...” lengkingan suara Nur Cahyo sukses menghentikan langkah tiga sahabatnya itu. Ia menghampur lalu memngambil posisi di barisan tengah para sahabatnya.
“Kau lama sekali,” tegur Didik sembari meninju lengan Nur Cahyo dengan gemas.
“Sorry my man, tahu sendiri lah. Pak Aris terlalu sayang sama aku. Nggak dibolehin keluar. Makanya lama.”
“Ele... emang dasarnya aja lo suka bikin ulah. Pasti habis kena semprot Pak Aris kan? Makanya langsung kabur...” timpal Lugut.
Nur Cahyo meringis, menampakkan barisan gigi putihnya. kemudian merangkul Didik dan Lugut. Sementara Jagad yang berada di samping kanan Lugut hanya menjadi penonton tanpa bersuara sedikit pun. Sesekali ia tersenyum tipis.
“Saatnya kita latihan,” ujar Nur Cahyo mengakhiri.
Mereka berempat akhirnya sampai di ruang bermusik. Peralatan di dalamnya tergolong lengkap. Gitar, bass, piano, biola, drum, dan alat-alat musik lainnya yang biasa digunakan untuk marsing band.
Keempat geng SR itu sudah pada posisinya masing masing sesuai dengan alat musik yang mereka kuasai.
“Kalau ada Gesang dan Azid pasti lebih seru lagi. Sayangnya Gesang lebih suka teater ketimbang musik. Sementara Azid nggak satu sekolah.” Nur Cahyo memulai topik.
“Iya nih, The boys geng SR jadi lengkap tanpa mereka. Apalagi cewek-ceweknya malah tak satupun yang satu sekolah sama kita. Lia, Zumaroh, Yunita dan Swasti,” timpal Lugut.
Pandangan Didik mengarah pada Jagad. Sejak tadi, anak itu hanya diam saja. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu tampak ceriah. Kemudian tatapannya beralih pada Lugut dan Nur Cahyo. Ketiganya bersitatap. Didik bertanya dengan isyarat mata. Ada apa dengan Jagad? Lugut dan Nur Cahyo menjawabnya dengan mengedikkan bahu. Tidak tahu. Kemudian mereka saling melempar kode. Mendekati Jagad. Berkerubung.
“Kamu kenapa Gad? Aku perhatikan dari tadi, cuma diam saja. Ada apa? Apa kamu ada masalah?” tanya Didik menyelidik sembari menepuk pundak Jagad.
Tubuh sahabatnya itu sedikit terguncang. Kaget. Sentuhan itu membunyarkan lamunannya.
“Aku nggak apa-apa. Aku hanya kurang fit aja,” jawab Jagad sedikit kikuk.
“Kau sakit?” giliran Nur Cahyo yang bertanya.
“Sepertinya aku nggak enak badan. Bisa kita lanjutkan latihannya besok?” pinta Jagad.
“Tapi kan kita belum mulai Gad?” protes Lugut.
Didik mengembangkan jemarinya. Memberi isyarat untuk tidak bicara. “Ya udah, nggak apa-apa. Nanti aku yang akan tanggung jawab. Nur, kamu ke Pak Aris, nggih. Izin hari nggak latihan dulu. Jagad sakit,” titah Didik. Nur Cahyo mengangguk. Lantas berlalu.
“Kamu, Gud. Tolong titipkan sepeda Jagad ke Pak Kasuwi. Biar aku antar Jagad pulang,” ucapnya dengan bijak.
Lugut berniat memprotes tapi ia mengurungkannya. Sebenarnya ia juga prihatin dengan kondisi Jagad. Sepertinya sahabatnya itu beneran sakit. Hanya saja, ia takut kena semprot Pak Aris yang galak itu kalau tidak latihan. Lugut akhirnya menuruti kemauan Didik meski sembari menggerutu.
“Terus besok aku berangkat ke sekolah naik apa?”
“Tak perlu khawatir, besok aku jemput.”
Jagad bernapas lega. Ia terharu. Teman-temannya begitu perhatian. Maafkan aku teman-teman, aku tak bermaksud bohong sama kalian, batin Jagad.

Mata JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang