Normal Pov
Disini lah mereka berada, di sebuah ruangan bernuansa warna biru. Ruangan yang di hiasi beberapa lemari yang penuh dengan tumpukan buku yang di tata rapi. Beberapa bingkai foto juga tertata rapi di atas meja belajar.
Namun suasana sunyi mengisi ruangan ini.
"Jadi? Tidak adakah yang mau menjelaskan apa yang terjadi?" Ucap Daishi lemah.
Sebagian tubuhnya masih tertutup selimut di kasur kesayangannya. Badannya masih lemah karena ia baru saja pulih dari pingsannya.
Kedua laki-laki yang berada di samping kanan dan kirinya menoleh ke arahnya.
Mereka terdiam, terlihat dari raut wajah mereka menunjukan rasa ragu dan rasa khawatir.
"Huft~" Daishi menghela nafasnya kasar.
"Oke, terus saja diam seperti ini hingga pagi tiba." Ucap Daishi kesal.
Bagaimana Daishi tidak kesal, kedua laki-laki di dekatnya ini hanya diam dan tidak berbicara sedikit pun sejak sejam yang lalu.
"Ad-
"Ev-
Ucap mereka berdua bersamaan.
"Lu dulu." Ucap Evan.
"Lu aja." Ucap Adnan.
"Lu ngomong duluan." Pinta Evan.
"Lu aja la-
Sret
Daishi menyibak(?) selimutnya kasar. Ia sangat kesal saat ini.
"Oke oke. Gua duluan yang ngomong. Jangan pergi Daishi. Duduk di sini aja ya."
Pinta Adnan.Dengan kesal, Daishi kembali duduk di kasurnya.
"Jadi gini, waktu tadi di toilet. Waktu gua dari bilik toilet, tiba-tiba Evan langsung nyerang gua. Untungnya tangan gua sempet pegangan di gagang pintu, kalo nggak gua pasti udah jatuh." Jelas Adnan.
"Itu karena lu abis telfonan sama cewek lain kan. Sampe lu manggil *sayang* ke cewek itu. Gua emosi lah, bisa-bisanya lu manggil cewek lain selain Daishi pake panggilan *sayang*." Ucap Evan emosi.
"Sok tau lu! Gua sama sekali nggak manggil sayang! Lagi pula gua telfonan sama temen geng basket gua, dan dia itu cowok!" Balas Adnan emosi.
"Oh ya? Terus kenapa lu mesti angkat telfonnya di toilet? Kalo cowok lu kan bisa langsung bilang." Jawab Evan.
"Dan lagian telinga gua nggak salah denger kalo lu manggil *sayang* ke orang yang lu telfon. Kalaupun bukan cewek, dia cowok kan? Lu manggil temen cowok lu *sayang*? Iyuh, lu gay?" Sambung Evan.
"B*ngsat! Gua masih normal! Lu kali yang gay!" Elak Adnan.
"Terus kalo lu bukan gay, kenapa lu manggil temen cowok lu *sayang*?" Tanya Evan telak.
"Karena- ya karena. Karena dia yang minta!" Adnan mengusap kasar wajahnya kasar.
"Bullshit." Ucap Evan tidak percaya.
"Gua serius! Daishi lu harus percaya sama gua. Gua nggak pernah punya hubungan sama cewek lain selain lu sama cewek geng kita." Ucap Adnan sembari memegang tangan kiri Daishi.
"Lu? Gua? Sejak kapan Adnan berani menggunakan panggilan itu denganku?" ~batin Daishi kesal.
"Hhh~" Daishi memutar malas matanya.
"Sejak kapan lu ngomong lu gua sama Daishi?" Tanya Daishi dengan ekspresi datarnya.
Adnan langsung menyadari kesalahannya.
"Ma-maaf Daishi, Adnan nggak sengaja. Tadi aku kebawa emosi." Ucap Adnan meminta maaf.
"Lupakan. Jadi apa yang Evan bilang itu benar?" Tanya Daishi kepada Adnan.
"Tidak, aku benar-benar tidak menghubungi cewek lain." Jawab Adnan.
"Gua serius sy. Gua denger sendiri." Ucap Evan serius.
"Evan punya bukti?" Tanya Daishi.
Evan mengusak rambutnya kasar.
Evan menggeleng pelan. Ia benar-benar merutuki(?) dirinya. Bagaimana ia bisa lupa untuk merekam apa yang ia dengar? Salahkan karena rasa penasaran di tambah emosinya saat itu sudah benar-benar mengendalikan fikirannya.
"Lihatkan Daishi. Evan nggak punya bukti, berarti dia bohong. Dia pasti ngelakuin ini karena pengen hubungan kita retak." Ucap Adnan.
"Sh*t." Gumam Evan kesal.
Daishi melirik ke arah Evan yang sedang mencoba menahan emosinya.
"Yaudah kalo gitu masalah ini selesai. Adnan, tolong ambilin obat dan air minum di dapur ya. Udah waktunya Daishi minum obat." Pinta Daishi.
Adnan mengangguk semangat, ia mengusak lembut rambut Daishi lalu berjalan ke arah pintu. Ia menatap Evan dengan smirk smile nya.
Blam
Pintu tertutup.
"Evan." Panggil Daishi sembari mengusak lembut rambut Evan.
Evan yang sedari menunduk menahan emosi langsung menoleh ke arah Daishi.
"Bisa ceritain apa yang terjadi? Semua yang ada hubungannya sama Adnan." Pinta Daishi.
"Ta-tapi bukannya tadi?" Evan tidak mengerti, bukankah tadi Daishi memihak kepada Adnan? Dan Daishi lebih percaya bahwa Adnan tidak bersalah.
"Ada yang aneh sama Adnan akhir-akhir ini. Daishi tau, pasti Evan tau banyak hal tentang ini semua." Ucap Daishi.
Evan menatap mata Daishi yang meminta agar Evan menceritakan semuanya.
Tapi Evan ragu. Bagaimana jika Daishi terluka? Bagaimana jika nanti Daishi malah menangis? Ia tidak ingin hal itu terjadi.
"Maaf. Tapi aku tidak ingin membuatmu sedih, Daishi." Tolak Evan.
"Kalau begitu terus saja diam seperti ini. Saat waktu itu tiba juga Daishi akan tau semuanya. Dan mungkin-
Aku akan lebih terluka dari ini." Ucap Daishi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Tbc..
12092k18
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet an Bitter °COMPLETED ✔
Teen Fiction📝BOOK 2 Aku ini hanyalah seorang gadis biasa yang terlibat sebuah janji dengan teman kecilku dulu. Bukankah sesuatu akan terasa sangat berharga jika kita sudah tidak memilikinya lagi? Dan pada akhirnya hanya 'Penyesalan' yang tersisa Start : 190...