Dusun Tlogotirto

7.4K 407 17
                                    

Matahari pagi bersinar cerah. Suara burung bercuit-cuit ramah seolah memberi nyanyian merdu untuk menyambut ke empat muda mudi yang tengah melintasi hutan tanpa lelah.

Pagi yang dingin dan berkabut putih tebal. Mereka terus melangkahkan kaki di antara semak belukar bercampur tanaman pakis. Dingin, lembab, lapar dan putus asa. Mereka terus menyeret kaki pegalnya untuk menemukan jalan keluar.

Botol minum telah kosong, dan makanan kecil untuk bekal pun telah habis. Sebelum siang hari mereka sudah harus keluar dari jalan setapak yang lebih menyerupai labirin yang membingungkan.

Reza mematahkan beberapa ranting untuk menandai jalan. Mereka berharap jalan yang akan mereka lalui nanti tidak hanya berputar-putar seperti semalam.

"Istirahat dulu, Wil." Martha berucap lelah. Tubuhnya lunglai, matanya pun mulai terasa berat. Ia berkali-kali menguap menahan rasa kantuk.

Wildan yang berjalan paling depan menoleh. Ia menghentikan langkahnya, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Mungkin istirahat lima menit nggak masalah. Pokoknya sebelum tengah hari kita harus keluar dari tempat ini. Gue nggak mau bermalam lagi di sini," ucapnya sambil duduk. Mengistirahatkan kakinya.

"Gue juga nggak mau, Wil. Mudah-mudahan aja kita bisa nemu jalan keluar." Nara menyahut lemas.

"Ada yang masih punya air minum nggak?" Wildan menatap teman-temannya penuh harap.

Reza mengeluarkan botol minumannya, demikian juga Martha dan Nara. Semua botol telah kosong.

"Kita harus cari sungai. Nggak mungkin hutan lebat kayak gini nggak ada sungai atau air terjun 'kan?" Reza mengusulkan.

Ketiga temannya mengangguk pasrah.

"Eh, guys. Senter kita juga udah abis baterainya. Kita harus bergegas. Yuk!"

"Astaga. Kita udah kehabisan semua bekal. Ayok Wil." Nara menarik tangan Wildan yang malas bediri.

Krosak!

Tergeragap. Mata mereka menjelajah ke segala  arah. Siaga. Hutan adalah rumah bagi berbagai jenis binatang. Apapun bisa hidup di tempat itu.

Dedaunan bergerak di kejauhan. Merambat semakin mendekat. Mereka waspada meskipun sudah tidak memiliki tenaga untuk berlari jika ada binatang buas yang mengejar mereka.

"Apa tu?" Nara bergumam takut. Tatapan matanya lurus ke arah semak yang bergerak-gerak semakin dekat.

"Gue nggak tahu, Ra " Reza menjawab lirih, bersiaga melindungi dua cewek di belakangnya. Tanpa menoleh, matanya lurus menatap dedaunan yang terus bergerak.

"Kalian ... tersesat?"

Keempat pemuda itu hampir berlari jika sosok itu tidak segera keluar dari semak.

Seorang kakek tua, di bahunya ada seikat ranting. Mereka masih waspada. Tidak ingin tertipu oleh sosok di depannya. Di dalam pikiran mereka berkecamuk tanya, tentang wujud asli dari makhluk yang mungkin sedang malih rupo menyerupai kakek tua yang tidak berdaya. Mungkin dedemit penunggu hutan ini?

"Kalian tersesat?" tanya kakek tua itu sekali lagi. Ia meletakkan kayu dari bahunya. Lalu mendekat agar bisa melihat orang asing yang seperti memang sedang tersesat.

Mengetahui tubuh gemetar dan wajah pucat dari keempat anak muda di depannya kakek tua itu tersenyum hangat.

"Jangan takut. Simbah ini warga Dusun Tlogotirto yang terletak tidak jauh dari sini. Nama Simbah, Mbah Pringgo," Mbah Pringgo memperkenalkan diri.

Nama yang aneh untuk mereka yang berasal dari kota. Tapi nama bukanlah masalah selagi orang itu menawarkan sesuatu yang baik. Nama-nama seperti itu adalah nama yang lazim digunakan di wilayah padukuhan. Berbeda dengan mereka yang berasal dari kota, tentu saja namanya sudah perpaduan dari nama-nama orang dari negeri seberang yang bahkan kadang sulit diucapkan oleh orang asli Negara ini.

Mendengar penjelasan dari Mbah Pringgo, mereka saling pandang lalu mengangguk, mencoba percaya.

"Maaf, M-mbah Pringgo, kami sudah berputar-putar melewati jalan setapak ini dari semalam. Kami tidak tahu arah untuk mencari jalan keluar." Reza menjelaskan dengan sopan.

Mbah Pringgo menatap tanah sambil mengangguk.
Berpikir baik buruknya membawa orang asing ke kampungnya.

"Begini saja. Kalian bisa beristirahat di rumah Embah beberapa hari, lalu kalian bisa kembali meneruskan perjalanan."

"Terima kasih Mbah, kami memang membutuhkan tempat berlindung sementara waktu."

"Kita menginap dulu di rumah Mbah Pringgo teman-teman." Reza beralih menatap teman-temannya yang kemudian di jawab anggukan.

"Lo serius, Za? Gimana kalau dia kanibal?"

Nara berbisik pada Reza.

"Pst! Nggak baik berprasangka gitu. Udah, gue nggak mau mati malam ini. Jadi makanan harimau." jeda, Reza beralig menatap Mbah Pringgo sambil tersenyum. "Terima kasih sekali, Mbah." ucapnya penuh ketulusan.

"Kalau begitu mari." Mbah Pringgo kembali meletakkan ranting di bahunya. Lalu memimpin jalan yang kemudian diikuti kempat remaja yang terlihat senang.

"Untung ada yang nolongin kita. Gue nggak bisa bayangin bermalam di tempat kek gini lagi." Wildan bergumam.

"Iya. Gue udah gatel pengen mandi. Ugh, laper lagi." Martha ikut bergumam.

"Psst! Dasar cewek. Yang sopan napa. Malu sama Mbah Pringgo " Wildan mendelik pada dua cewek di sampingnya.

Mbah Pringgo menghentikan langkahnya lalu menoleh.
"Nah, itu Dusun tempat Simbah tinggal. Nanti begitu sampai kalian bisa membersihkan diri di belakang rumah Simbah. Lalu istirahat." Mbah Pringgo memberi instruksi.

"Iya Mbah, terima kasih." Mereka menjawab serentak.

Mbah Pringgo mengangguk sembari tersenyum kecil. Batinnya gelisah. Entah ada firasat apa.

"Mari." Mbah Pringgo kembali memimpin jalan menuruni bukit kecil lalu tampaklah rumah-rumah sederhana yang terbuat dari bambu berjejer rapi. Banyak anak kecil yang sedang bermain dan ibu-ibu yang yang sedang menumbuk padi. Mereka menghentikan aktivitas lalu menatap heran pada rombongan orang asing yang dibawa oleh salah satu warga Dusun Tlogotirto.

"Mbah Pringgo," sapa seorang bapak-bapak. Lalu menatap waspada pada keempat anak muda di belakang Mbah Pringgo. Menatap menyelidik dari atas ke bawah, lalu kembali berbicara dengan Mbah Pringgo.

"Nyuwun pangapunten, Mbah. Saya ingin bicara sebentar," ucapnya sopan sambil mengajak Mbah Pringgo menjauh, meninggalkan keempat anak muda yang kebingungan. Lelaki tadi terlihat begitu tidak suka dengan kehadiran mereka.

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang