Horor Tengah Malam

7.1K 357 32
                                    

Seruni

Nama itu beberapa hari terakhir selalu menjadi pertanyaan. Siapa dan makhluk apa Seruni ini tidak ada yang memberi tahu. Mereka seperti buta dan tidak tahu apa-apa.

Apalagi Mbah Pringgo, selalu menghindari dan lebih banyak menghabiskan waktu di kebun Juragan Harno. Pergi pagi buta dan pulang larut setelah matahari terbenam. Gerak geriknya juga selalu aneh, lebih banyak diam dan seperti menghindar. Ada apa ini?

Tidak ada petunjuk. Keadaan Nara pun masih sama. Diam tanpa jiwa. Seandainya benar apa yang dikatakan Mbah Pringgo bahwa Nara sedang diajak bermain, lalu siapa yang mengajak dan mau sampai kapan?

Martha menghela napas. Ia duduk di samping rumah Mbah Pringgo, menghadap ke arah hutan yang terletak beberapa meter di depannya.
Tangannya memilin-milin daun kering lalu melemparnya asal.

"Jangan ngelamun, woy! Ntar kesambet Seruni tahu rasa lo!" Wildan tertawa ketika melihat Martha mendongak. Tatapannya terlihat kesal.

"Apaan sih lo! Diem napa? Gue pengen sendirian." Martha merengut kesal, ia kembali mengambil daun kering di dekat kakinya, meremat jengkel lalu melemparnya.

Wildan menatap teman tersesatnya. Ia mendesah lalu duduk di sebelah Martha.
Ikut menatap jauh ke dalam rerimbunan tanaman liar di hutan.

Suara riuh cuitan burung yang saling bersambut membuat pagi itu terasa semakin sejuk dan damai. Seandainya mereka tidak sedang menghadapi masalah dengan makhluk astral, mungkin tempat ini akan menjadi tempat piknik yang menyenangkan. Mereka bisa berpetualang di hutan, naik gunung dan melakukan jelajah alam lainnya.

Tapi itu hanya mimpi.

"Gue tahu gimana perasaan lo, Tha. Gue juga ngerasain hal yang sama," jeda, Wildan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang menjadi dinding rumah Mbah Pringgo. Tatapannya menerawang jauh.
"Gue malam itu juga sempat ketemu sama Nara."

Martha menoleh. Dahinya berkerut. "Lo, juga tahu Nara nggak tidur malem itu?"

Wildan mengangguk lesu.
"Malam itu, gue udah ngelarang Nara, tapi dia nggak mau denger, malah ngajak berantem. Terpaksa gue tinggalin, gue kesel."

Martha mendesah, ikut menyandarkan tubuhnya lemas. Dia terjebak. Bukan ... mereka semua terjebak.

"Gue... pengen pulang, Wil." Suara Martha bergetar, terdengar pelan dan merana.

Wildan menoleh.
"Gue juga," jeda, Wildan tersenyum getir.
"Tapi kita harus nunggu Nara pulang." Lanjut Wildan putus asa.

Martha menunduk, menatap kukunya yang mulai terlihat tidak terurus.

"Kapan? Kapan Nara pulang? Gue khawatir dia ... betah sama teman barunya. Atau mungkin dia emang sengaja ditahan di sana? Menurut lo, apa di sini ada yang main ilmu hitam?" Martha bertanya pelan, tidak ingin didengar siapapun.

"Hust! Jangan ngomong gitu. Kita berdoa terus, Tha. Kita harus optimis. Gue yakin ada jalan buat Nara pulang. Jangan patah harapan. Lo jaga Nara baik-baik."

Nara mengangguk. "Apa nggak ada cara buat bikin Nara pulang, ya?"

Wildan menggeleng. "Gue juga nggak tahu. Gue nggak ngerti sama hal beginian, Tha. Kita tunggu aja sampai Nara sadar. Mudah-mudahan secepatnya. Gue bener-bener nggak betah lagi."

Martha tidak menjawab hanya suara sesenggukan yang terdengar. Ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. Ia menangis putus asa, menyesali perjalanan mereka. Seharusnya liburan ini bisa dilalui dengan senang, bukan dengan tragedi mistis seperti ini.

***

"Seruni! Kamu di mana?"

Martha tergeragap dari tidur ayamnya. Suara gumaman berhasil menarik dirinya kembali dari alam mimpi. Ia menoleh sekitar, ia baru ingat jika ia tidur di tikar dekat dipan. Ia memilih tidur di bawah agar bisa tetap menjaga Nara.
Ia duduk, memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, lalu berdiri agar bisa melihat keadaan Nara.

“NARA!” Teriak Martha saat melihat air mata keluar dari sudut mata gadis itu. Kepala Nara menggeleng ke kanan kiri dan keringat membanjiri kulitnya.

“WILDAN! REZA! Tolong!” pekik gadis itu sambil mengguncang tubuh Nara yang terus meronta.

Tidak ada reaksi, Nara tetap menangis sambil memanggil-manggil nama Seruni, tangannya menggapai-gapai. Nama misterius yang berapa hari ini menjadi nama paling horor dan wingit untuk diucapkan sembarangan masih terus di ucapkan gadis itu dengan jelas.

"Tunggu!"

"Nara ... plis, bangun, Nara!"

“Ada apa?”

Wildan berdiri di dekat kaki Nara lalu memegangi kaki gadis itu yang terus menendang ke sana kemari. Di susul Reza yang langsung menghambur masuk lalu segera  memeriksa denyut nadi gadis itu.

Lalu ia menunduk untuk mendengarkan denyut jantung Nara.
“Nara kayak lagi panik atau mungkin lagi lari. Denyut jantungnya cepet banget.“ Reza bergumam.

“Nara, sadar.“ ia menepuk pipi Nara.

“Nara, plis ... balik sama kita ... kita mau ajak lo pulang.“
Martha terisak, ia menggenggam tangan Nara yang dingin. Merasa prihatin dengan keadaan gadis itu saat ini.
“Lo inget nggak ... kita ke sini mau liburan bareng, mau asik-asikkan bareng. Mau cari bonsai di gunung, mau cari bunga langka,  terus lo bilang mau lo tanam di dekat jendela kamar lo, ‘kan?“ Martha mengusap air matanya.
“Lo harus berusaha cari jalan pulang, Ra. Lo ... harus bisa balik ke sini ... tempat lo di sini....“

“Tha, lo istirahat aja. Biar gue gantiin jagain Nara.” Wildan meremas bahu Martha, membuat gadis itu menoleh lalu menggeleng.

“Iya, Tha. Lo harus istirahat.“ Reza ikut menimpali. Gadis itu diam, ia menatap sahabatnya yang mulai tenang, tapi sesekali masih terdengar bisikan ‘Seruni' dari bibir Nara.

Akhirnya Martha mengangguk,  lalu berdiri. “Wil, gue istirahat dulu,“ ucapnya sebelum beranjak menuju ruang tamu bersama Reza.

Suasana remang-remang menyambut penglihatan saat gadis itu sampai di ruang tamu. Lampu minyak dengan nyala api kecil, tergantung di pojok ruangan. Sepi, mistis dan hampa. Itulah yang di rasakan gadis itu.

Matanya menatap ke segala arah. Mencari sang empunya rumah.
“Za, Mbah Pringgo mana?” tanyanya begitu tidak melihat sosok tua itu di mana pun.

“Mbah Pringgo jaga malam, “ jawab Reza singkat.

“Setiap malam?” Martha heran.
Reza hanya mengendikkan bahu lalu masuk ke dalam selimut yang ia bawa dari rumah.

“Mbah Pringgo kayak orang asing aja akhir-akhir ini,“ gumam Martha sebelum merebahkan diri di samping Reza, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.

“kan memang orang asing. Udah, Tha. Tidur. Kita nggak tahu besok apa yang mau kita hadapi.“

Martha tidak menjawab. Matanya nyalang menatap pintu kayu di depannya.

                     ***

Seruni... Seruni....”

Martha tergeragap, rasanya baru sebentar ia terlelap. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya terjaga. Jantungnya berdegup cepat. Ia tadi mendengar suara seseorang memanggil Seruni. Apa Nara mengigau lagi?

Gadis itu duduk lalu menoleh ke belakang, ke arah kamar tempat Nara tidur.

Gadis itu terkesiap, jantungnya berdesir saat melihat samar-samar di dalam kegelapan seseorang berdiri di depan kamar Nara. Ia menyipitkan mata. Itu seorang wanita, memakai pakaian berwarna hitam seperti baju yang di pakai pengantin jawa, rambut panjangnya di gerai dan sedikit berantakan.

“Re-Reza....” Martha bergumam kaku. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Keringat dingin mulai terbit.

Perlahan kepala wanita itu menoleh ke arah Martha, mata hitamnya terlihat besar. Bibirnya tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar untuk ukuran manusia.

Napas Martha sesak. Ia merasa tercekik. Tangan kirinya bergerak menepuk-nepuk tubuh Reza yang tidur memunggunginya. Tapi tidak ada hasil.

“Egggg! Re... za.”
Gadis itu tersengal-sengal mulai kehabisan napas.

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang