Jiwa Nara

6.8K 395 20
                                        

"Apa yang terjadi?"

Mbah Pringgo memasuki kamar dengan terengah. Pagi masih buta, tapi di rumahnya sudah ada beberapa tetangga yang duduk di terasnya. Wajah mereka tegang dan penuh mimik takut.

"Anak kota itu sepertinya melanggar aturan, Mbah." Pak Karjo yang juga hadir menjelaskan. Ia menggeleng, merasa tidak enak sudah kecolongan.

Mbah Pringgo menghela napas. "Ya, mereka pasti penasaran," ucap Mbah Pringgo, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Mbah Pringgo baru pulang dari jaga malam, mereka memang selalu berjaga sampai matahari terbit. Dimana memedi itu selalu pergi saat matahari hampir terbit. Seperti pagi itu.

"Ini Mbah, Nara kesurupan." Martha menjelaskan begitu Mbah Pringgo masuk ke dalam kamar, gadis itu duduk di samping sahabatnya dengan wajah sembab setelah menangis.

Mbah Pringgo mendekati dipan tempat Nara direbahkan. Gadis malang itu diam dengan mata terbuka tapi tatapannya kosong. Jiwanya seperti hilang sebagian. Napasnya berembus teratur seperti orang yang sedang tidur pulas. Ia tergolek lemah dengan wajah pucat dan suhu tubuh yang semakin rendah. Martha semakin terisak saat sesekali Nara menoleh tapi matanya hampa. Ia seperti hidup tapi mati. Ia melihat, tapi melihat ke dalam dunia yang berbeda. Membingungkan.

"Nara... sadar...."

Martha meremas keras jari Nara, berusaha memberi pancingan agar Nara segera sadar. Tapi nihil. Gadis itu tetap terlihat kosong. Tubuhnya seperti tidak merasakan apapun.
Mbah Pringgo yang melihat keadaan Nara tercekat, ia menghela napas berat lalu memijit pelipisnya.

Seharusnya ini tidak terjadi jika gadis itu tetap diam di kamarnya dan menepis rasa penasarannya. Mbah Pringgo tahu, gadis itu pasti melanggar larangannya.
Tempat ini wingit. Banyak pantangan yang harus dipatuhi. Sedikit saja melanggar fatal akibatnya.

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dia masih ingin bermain dengan gadis itu, maka dia tidak akan mengembalikannya." Suara Mbah Pringgo terdengar rendah. Ada rasa bersalah yang mendalam di dalam batinnya.

Ketiga anak muda yang sedari tadi di dekatnya serentak menoleh. Dia? Siapa yang dimaksud oleh Mbah Pringgo?

"Dia? Dia siapa Mbah?" Wildan menatap lekat lelaki tua di sampingnya. Pikirannya sudah menerka-nerka. Hal yang tidak masuk akan mulai terjadi, ia tahu ini lambat laun akan terjadi, dan sekarang ... hal di luar nalar itu sedang terjadi.

Mbah Pringgo terdiam. Ini bukan kesalahannya. Salah gadis itu tidak mau mendengarkan peringatannya. Jadi kalau ada kejadian seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab?

"Apa yang kalian lakukan semalam?" Mbah Pringgo menatap lekat gadis yang sesekali tersedu dengan mata menatap kosong. Lalu menatap pada tiga remaja yang saling pandang satu sama lain.

"Mbah belum menjawab pertanyaan saya." Wildan mulai emosi. Melihat gelagat mencurigakan Mbah Pringgo yang terkesan menghindar. Melihat hal itu Reza mendekati sahabatnya lalu menepuk punggungnya.

"Ingat kita di mana, Wil." Reza berbisik menasihati.

Wildan membuang muka kesal. "Di sini semua aneh! Hal nggak masuk akal kayak gini juga kejadian. Demit pake bawa-bawa teman kita, Za!"

"Wil, plis! Jangan bikin suasana semakin keruh."

"Serah, Za! Gue nyerah!" Wildan mengangkat kedua tangannya, lalu bergegas keluar kamar.

"Wil!" Reza hendak menyusul, tapi Mbah Pringgo memegang bahu pemuda itu.

"Biarkan Nak Wildan menenangkan diri. Jadi bagaimana ceritanya, Nak Martha?"

"Semalam kami tidur, Mbah. Kecuali... Nara," jeda, Martha gemetar saat mengingat semalam Nara membangunkannya dan memberi tahu ada suara barang jatuh, tapi ia mengabaikan gadis itu.

"Semalam... Nara membangunkan saya, katanya ia mendengar suara benda jatuh. Tapi saya tidak begitu menanggapi dan saya kembali tidur." Martha menunduk, menatap sahabatnya dengan tatapan penuh sesal. Seharusnya semalam ia bangun dan menemani Nara sampai gadis itu tidur lagi.
Entah apa yang terjadi, semalam ia begitu merasa lelah dan mengantuk, sampai-sampai tidak peduli pada temannya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, disesali juga tidak ada gunanya.

Mbah Pringgo menghela napas. Ia memejamkan mata lalu langsung bergegas keluar ruangan. Membuat kedua remaja itu keheranan.

"Eh, lo ngerasa nggak sih, ada yang tidak beres dari kejadian ini. Terutama Mbah Pringgo tadi. Dia seperti menyembunyikan sesuatu." Wildan berbisik ketika kembali masuk ke kamar.

Reza tampak berpikir.
"Gue juga ngerasa, tapi kita nggak bisa nuduh gitu aja. Terlalu banyak yang tidak kita ketahui tentang tempat ini, jadi kita tidak bisa menyimpulkan apa pun."

"Tapi lihat, teman kita kayak gini. Tapi nggak ada yang dilakuin Mbah Pringgo, malah nyelonong aja dia." Wildan kembali emosi.

"Sudah sudah, sebaiknya kita segera berusaha membuat Nara sadar. Gue khawatir ia semakin jauh," Martha berbisik takut saat mendengar Nara bergumam 'tunggu Seruni'.

Reza dan Wildan menoleh.

"Tadi gue denger, Nara nyebut nama Seruni."

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang