Pengantin Tengah Malam

7.2K 521 100
                                    

"Emangnya semalem lo ngintip ke luar, Tha? Bukannya udah jelas, kita nggak boleh penasaran?!"

Martha mendelik tidak suka pada tuduhan yang diarahkan padanya. Gadis itu menatap Reza dengan menahan amarah.

"Gue semalem mau tidur, Za. Belum sempat gue merem, gue denger ada suara cewek manggil nama Seruni. Suaranya mendesis gitu. Gue pikir itu Nara yang ngingau lagi. Gue nengok ke arah kamar, ternyata... busettt, gue nyesel udah nengok. Sumpah serem amit tuh cewek," Martha menutup wajahnya dengan tangan. Tubuhnya merinding saat membayangkan kejadian semalam.

Wildan mendekat, ia duduk di sebelah Martha. "ngomong-omong, lo semalem beneran liat?"
ia berdeham gugup.
"Lo liat beneran tuh cewek berdiri di depan kamar? " bulu kuduk cowok itu meremang. Mengingat dirinya semalam berada di dalam kamar itu.

"iya. Gue liat jelas. Tuh cewek pakai pakaian pengantin Jawa gitu. Rambut panjangnya digerai. Tapi yang bikin serem tuh matanya. Item semua. Hiiiii." Martha kembali bergidik.

"Terus kita mau gimana nih? Tuh setan makin nyolot aja, udah berani masuk rumah segala. Bukannya kita yang ngintip, eh dia yang masuk rumah. Serem amat nih tempat lama-lama."

"Lo tuh kalo ngomong disaring, Wil. Lo nggak belajar dari pengalaman sih!" Martha merengut. Ia tidak suka ada orang yang menantang sesuatu yang tak kasat mata. Mereka bodoh. Sama aja mau bunuh diri 'kan?

"Eh, ngomong-omong Mbah Pringgo ke mana? Udah beberapa hari ini gue nggak ketemu." Wildan menatap temannya penuh tanya mengabaikan omelan Martha.

Reza mengangkat bahu sekilas, lalu kembali menekuri bukunya, menulis pengalamannya selama ini. Sementara Martha menggeleng, enggan membahas hal itu. Ia berdiri lalu berjalan menuju kamar tempat Nara istirahat.

Gadis itu menarik napas berat. Ia menggenggam tangan Nara yang sedikit dingin. Ia meremat lalu memeriksa kuku gadis itu yang mulai memanjang.

"Ra, cepet buka mata lo. Lama banget lo ninggalin kita. Lo nggak kangen sama si Moci ya? Ntar siapa yang ngasih makan?"

Martha menghela napas. Ia menatap prihatin pada Nara yang masih berbisik dan tersenyum seperti waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada perubahan sama-sekali.

*****

"Mbah, kita harus melakukan sesuatu. Nyawa anak kota itu bisa terancam."

"Saya tahu Pak Karjo, tapi bagaimana caranya? Bukankah selama ini 'dia' selalu begitu, mengajak lalu mengembalikan tanpa diminta."

Pak Karjo mengisap rokok lintingannya, tatapannya menerawang jauh ke dalam rerimbunan pohon jati yang berdaun lebat.

"Kita memang tidak memiliki cara, tapi tidak biasanya dia terlalu lama membawa teman bermainnya. Ini mulai mengkhawatirkan, Mbah...."

Mbah pringgo tidak menjawab, hanya manggut-manggut membenarkan.

"Saya perhatikan, akhir-akhir ini sepertinya Mbah selalu menghabiskan waktu di sawah?"

Pak Karjo mengisap rokoknya panjang, lalu menginjaknya. Ia menoleh, menatap penuh tanya menunggu jawaban.

Mbah Pringgo diam. Ia meminum teh pahitnya sebelum bicara.
"Saya hanya-"

"Menghindar?" sahut Pak Karjo cepat. Ia menelengkan kepala.

Mbah Pringgo terdiam. Ia menghela napas lalu berdiri.

"Sepertinya saya harus pulang, Pak Karjo. Terima kasih tehnya." lelaki tua itu memakai caping lalu mulai berjalan meninggalkan emperan rumah Pak Karjo. Baru beberapa langkah lelaki tua itu berhenti lalu sedikit menoleh.

"Saya tidak menghindar, saya hanya butuh waktu lebih untuk memikirkan cara. Saya bukan pengecut yang beraninya bersembunyi di balik mulut manis."

Mbah Pringgo melanjutkan langkahnya menjauhi rumah Pak Karjo yang masih tertegun menatap punggung renta yang hilang di balik pepohonan jati.

Suara kepakan sayap yang berasal dari dalam hutan membuat kakek tua itu berhenti melangkah. Ia menatap kejauhan, mata cekungnya menyipit saat melihat suatu pergerakan yang tidak asing selama ini. Jantungnya bedegup saat mata tuanya menangkap bayangan sesosok wanita berpakaian pengantin duduk di bawah pohon.

Dia lagi. Batin Mbah Pringgo mengeluh.

Napas lelaki tua itu tercekat, ia tidak habis pikir kenapa wanita itu menampakkan diri di pagi hari. Untuk apa? Memberikan teror seperti waktu-waktu sebelumnya?

Bibirnya berkomat-kamit mengundang perhatian sang penghuni pohon. Wanita berpakaian pengantin itu berhenti menyisiri rambut panjangnya. Ia menolehkan kepalanya perlahan.

Mbah Pringgo menelan ludahnya susah payah saat wanita itu menatap dirinya. Mata hitam itu bersinar menjadi putih lalu perlahan bibirnya tertarik melebar membentuk senyuman.

Mbah Pringgo gemetar, tubuhnya kaku saat melihat wanita itu berdiri, perlahan tubuh berpakaian pengantin itu terangkat, melayang di udara. Rambut panjangnya berkibar-kibar seperti ribuan ular klisi yang menari-nari karena mendapat mangsa.

Wanita itu menyeringai, menatap lelaki tua di bawahnya dengan mata melebar, lalu tertawa renyah saat melihat lelaki tua itu gemetar hampir rubuh. Perlahan tubuh wanita itu melayang mendekat. Kedua tangan pucat berkuku hitam tajam itu terulur ke depan, ke arah Mbah Pringgo seperti hendak merobek tubuh tak berdaya itu.

Mulut Mbah Pringgo masih berkomat-kamit tidak peduli angin kencang yang berembus menerpa tubuh rentanya.
Matanya masih menatap wanita pengantin yang melayang ke arahnya dengan wajah mengerikan.

Suara kikikkan tajam memenuhi pendengaran, membuat suara burung menghilang diganti desauan angin kencang bercampur suara tawa menakutkan.

Mulut Mbah Pringgo masih bergerak-gerak merapalkan mantra keselamatan. Matanya terpejam rapat saat angin kencang menyapu wajahnya yang dipenuhi keriput, hingga ia terhuyung jatuh menimpa rumput basah.

Bugh!

Lelaki tua itu mengernyit, merasa kesakitan. Ia pasrah.

"Mbah Pringgo!"

Suara teriakan menggema memenuhi hutan, lalu beberapa saat kemudian terdengar derap langkah. Mbah Pringgo melihat dua pasang kaki berlari ke arahnya. Lalu semua menjadi, gelap.

***

"Baringkan di sana."

Suara Pak Karjo terdengar terengah.
Ia berjalan dengan cepat menuju balai-balai di depan rumah sederhana berdinding anyaman bambu.

Reza dengan hati-hati meletakkan tubuh lunglai Mbah Pringgo di atas balai-balai.

"Tha. Martha, tolong air putih, Tha!"

Reza berteriak melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Sepi.

"Wil!"

Reza memanggil Wildan, tapi tidak sahutan. Reza mulai tidak sabar, ia masuk ke dalam rumah yang terasa kosong.

"Kalian di mana, woy!"

"Martha!"

Hening.

Bulu kuduk Reza meremang. Ia menggosok tengkuknya dengan tangan. Kepalanya terus menoleh ke segala arah. Suasana mulai menakutkan dan rumah kecil itu terasa begitu luas dan dingin.

Reza merayapi bambu penyekat ruangan. Ia sampai di depan kamar tempat Nara berbaring tidak sadar.

Mata pemuda itu terbelalak lebar dengan teriakan nyaring saat melihat pemandangan di depannya.

"Martha!!" pekiknya keras.

👹👹👹

Gimana ya? Rame nggak nih ceritanya? Sepi terus akhir-akhir ini, yg baca sedikit, yang vote juga, yg komen juga sedikit😪😪

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang