Bab 4 - Pulang

11.5K 1.8K 116
                                        

Anak kecil itu selalu menunggu ayahnya pulang.

—ווח

SEPULUH tahun yang lalu Jeremy pergi, melepaskan takhtanya untuk mencari Lily. Selama itu pula Sean tidak pernah bertemu lagi dengan ayahnya. Bahkan Jeremy sama sekali tidak mengabarinya. Di mana dirinya sekarang, apa yang dia lakukan, Sean benar-benar penasaran, tapi nomor ayahnya tak pernah aktif.

Sean rasa, keputusannya untuk pulang akan berakhir sia-sia. Mungkin hanya akan ada rumah sepi yang mengingatkannya pada kenangan bersama Lily. Ia tak mengharapkan kakaknya ada di sana, karena biasanya Sam akan lebih banyak menghabiskan waktu di mansion. Lagi-lagi rumah mereka hanya akan memberikan rasa sakit.

Jujur saja, Sean sebenarnya tak ingin pulang, tapi perkataan Alice memang benar. Sekalipun tak ada yang menyambutnya, setidaknya masih ada satu orang yang mengingat kenangan indah di rumah itu. Kenangan bersama Lily, Jeremy, dan Sam, keluarganya yang pernah merasa sempurna, seperti keluarga kecil lainnya.

Ia segera menghentikan mobil dan menatap ke luar jendela. Rumahnya masih tetap sama. Cat putih, halaman hijau yang terawat. Tak ada yang berubah. Sean memutuskan keluar dari mobil. Terdiam cukup lama di depan pagar tinggi rumahnya.

Ia belum siap. Beberapa kali Sean mengambil napas, menghembuskannya perlahan. Hingga tanpa diduga, pintu rumahnya terbuka. Seorang pelayan wanita keluar dari sana sambil menyipitkan mata, menatap ke arah Sean. Pelayan itu berjalan cepat mendekati pagar. “Siapa?”

Sean tak menjawab. Ia pikir semua pelayan sudah pergi atau ditempatkan ke rumah bangsawan lain, tapi ternyata mereka masih bertahan di rumah itu.

Setelah sampai di depan pagar, pelayan yang kira-kira seumuran ibunya itu langsung membelalakan mata terkejut. "Pa-pangeran Sean?!" Pelayan itu seketika panik. Setelah membukakan pagar untuk Sean, ia berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Tuan! Tuan! Pangeran Sean sudah pulang! Tuan!”

Sean mengernyit. Namun, ia tetap melanjutkan langkahnya, melewati tanaman-tanaman di halaman depan yang biasanya dirawat oleh Lily, sampai di ambang pintu, tubuh Sean mendadak membeku. Ia melihat sosok Jeremy berjalan tergesa-gesa dari arah ruang keluarga. Mata Sean melebar. Sosok itu benar ayahnya. Seseorang yang sudah lama menghilang dan kini berdiri beberapa meter dari tempatnya. Dapat ia lihat, Jeremy juga tak kalah terkejut.

“Sean?” Jeremy bergumam tanpa sadar. Lagi-lagi Sean terkesiap, ia merindukan suara itu. Kenangan ketika ayahnya menceritakan banyak hal pada Sean, mengajarkannya mana yang baik dan yang buruk, dan ketika suara itu tertawa bersama Lily, seketika berputar di kepalanya. Sean tak menyangka. Bagaimana bisa Jeremy ada di rumah? Kapan dia pulang dan kenapa Jeremy tidak mengabarinya?

“Kau sudah pulang?” Jeremy tersenyum.

Sean langsung tersadar dari lamunannya. Ia membuang muka ke arah lain. “Aku hanya ingin berkunjung sebentar.”

Jeremy berjalan mendekat. Senyum itu masih tertarik lebar di bibirnya. Sudah lama ia tak bertemu kedua putranya dan melihat Sean tumbuh secepat itu, membuatnya merasa bersalah sekaligus bangga. “Syukurlah kau pulang. Aku menunggumu.”

Sean mengerutkan alis, menatap ayahnya dengan raut bingung. “Menungguku?" Entah kenapa sesuatu bergejolak dalam dirinya. Napas Sean jadi memburu. "Dad menungguku pulang?!” tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada tak percaya. Pria paruh baya di depannya langsung berhenti melangkah. Jeremy tak menjawab, justru menatap Sean dengan raut bersalah.

“Bukannya menanyakan kabarku, apa aku baik-baik saja di sana, Dad malah diam dan menunggu seolah aku akan kembali?!” Sean menaikkan suaranya, menatap Jeremy dengan mata tajam.

“Dad hanya ….”

“Sejak kapan Dad pulang?!” sela Sean dengan tangan mengepal erat. Ia berusaha menahan emosinya.

“Seminggu yang lalu." Jeremy menatap Sean dengan lembut, berharap lelaki itu tak akan membencinya. Namun, reaksi yang Sean berikan jauh dari yang ia harapkan.

Sean nampak melebarkan mata tak percaya. Giginya langsung terkatup keras, menimbulkan suara gemelatuk yang menyakitkan. “Seharusnya aku tidak pernah datang ke sini?!” desis Sean sebelum berbalik pergi, melangkah cepat menuju mobilnya. Jeremy di belakang segera berlari menyusul, berusaha menghentikan lelaki itu.

"Sean, tunggu! Maafkan Daddy."

Sean semakin mempercepat langkahnya. Sampai di pagar rumah, ia melihat Sam baru saja pulang. Mereka berpapasan, tapi Sean mengabaikan kakaknya dan dengan cepat masuk ke mobil. Ia langsung menancap gas dan meninggalkan tempat tersebut.

“Sial!” Sean memukul stir mobil dengan kesal. Selama ini ia berharap Jeremy meneleponnya, menanyakan kabarnya di mana pun Jeremy berada. Sean selalu menunggu.

Saat Jeremy memutuskan mencari Lily sendirian, Sean sebenarnya ingin sekali ikut, ia juga ingin membantu. Namun, Jeremy melarang dan mengatakan ia akan segera kembali. Sejak saat itu Sean selalu menunggu ayahnya, menunggu  dan terus menunggu. Ia percaya Jeremy akan pulang bersama Lily. Namun, bahkan hingga sampai detik ini, Jeremy tak pernah mengabarinya. Jika hari ini Sean tidak memutuskan pulang, ia rasa Jeremy tak akan pernah meneleponnya, tak akan pernah mencarinya. Fakta itu cukup membuatnya sadar bahwa seharusnya ia tak pernah pulang ke rumah.

Sean segera menghentikan mobil di pinggir jalan. Jemarinya masih memegang stir mobil dengan erat, seolah berusaha untuk meremukkannya. Mata Sean pun sudah berubah merah, tanda bahwa ia benar-benar marah. Pandangannya terus menatap ke depan, ke arah jalanan yang sepi. Ia kemudian memaki dirinya. Bahkan setelah merasakan kekecewaan sedalam itu, Sean masih mengingat kenangan bersama Jeremy. Ia kesal, pada ayahnya dan pada dirinya sendiri.

***

“Kenapa Dad kembali?” Sam menatap Jeremy yang duduk di sofa di depannya. Pria paruh baya itu tak banyak berubah, meskipun dagunya sedikit ditumbuhi janggut.

“Aku tak akan pergi lagi.” Jeremy tersenyum dengan mata bersalah. Selama ini ia tak sadar telah lama meninggalkan kedua putranya. Usia vampire dan manusia memang berbeda, tapi Jeremy lupa kalau vampire justru menghabiskan waktu lebih lama dari manusia, hingga tak terasa sepuluh tahun berlalu.

Jeremy tahu, ketika dia kembali, Sean dan Sam mungkin tak akan menyambutnya dengan senang. Mereka mungkin telah membencinya. Namun, kedua putranya sama berharga untuk Jeremy seperti Lily. Mungkin terlambat, tapi ia ingin memperbaiki hubungan yang sempat terputus itu.

Sam terdiam, menatap ayahnya cukup lama. Jeremy sempat terkesiap. Baru kali ini ia melihat tatapan Sam seperti itu. Tatapan tajam dengan mata penuh balas dendam. Dalam hati Jeremy mempertanyakan, apa yang terjadi selama dirinya tak ada? Apa yang mereka lalui hingga berubah secepat itu? Kedua putranya sungguh berbeda dari yang terakhir kali ia ingat. Bahkan tadi, keduanya tak bertegur sapa. Ia pikir Sam akan menahan adiknya, seperti yang biasa lelaki itu lakukan dulu.

“Oh, begitu.” Sam kembali membuka suara, kemudian berdiri. Ia menurunkan pandangannya, menatap datar Jeremy yang masih duduk di sofa. “Sepertinya … Dad sudah menyerah mencari Mom,” ucap Sam sebelum melangkah pergi menuju kamarnya.

Jeremy hanya bisa menunduk, menghela napas lelah. “Sepertinya aku memang sudah keterlaluan, Lily. Aku lupa memberi mereka kasih sayang. Seharusnya aku ada untuk mereka ketika masa sulit itu datang.”

—Bersambung—

Sabar ya om Jeremy 😭 awalnya pasti berat, tapi nanti juga ringan kok. Kan Sam sebentar lagi mau lamar author #ditabok wkwkwk 😂😂😂

Jangan lupa vote comment yaa, kalau banyak nanti fast update :V

Salam fiksi, Saelsa White

The Last OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang