Bab 7 - Jejak

10.4K 1.7K 86
                                        

Dia kembali bersembunyi. Dia kembali membuat sebuah kebohongan.

—ווח

ALICE sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Menyembunyikan sesuatu, merahasiakannya dari orang lain. Dan ia cukup berpengalaman akan hal itu. Jadi tak sulit baginya untuk menyembunyikan banyak hal dari Sean.

Alice tahu, Sean sudah mencoba untuk terbuka padanya dan ia pun harusnya melakukan hal yang sama. Namun kali ini dirinya terpaksa menutup rapat-rapat fakta tentang keluarga Salvatore dari Sean. Alice tak tahu bagaimana reaksi lelaki itu jika tahu ia salah satu dari keturunan Salvatore. Mungkin, Alice hanya belum siap untuk menerima reaksi tersebut.

"Alice, kau sedang apa? Ayo pergi!" Sean berteriak karena Alice tak kunjung bergerak dari rumah pohon. Padahal ia sudah sejak tadi turun.

"Sebentar!" Gadis itu mengedarkan pandangannya pada kertas-kertas di dinding kayu. Ada sebuah tulisan yang menarik perhatiannya.

Menemukan putri duyung di danau x
Merusak sarang lebah
Berburu kelinci
Mencari peri x

Alice terkekeh melihat daftar kegiatan tersebut. Ia jadi teringat masa kecilnya. Meskipun Alice belum pernah melakukan empat keinginan di kertas tersebut, tapi ia juga pernah berpikiran konyol seperti itu. Matanya kemudian bergeser pada lembaran kertas lain yang bertuliskan,

We are best friend,
forever!

Sepertinya orang yang membangun rumah pohon itu punya kenangan yang indah bersama teman-temannya. Seketika mengingatkannya pada Ana, Helen dan Lexi. Haruskah ia juga membuat daftar kegiatan bersama mereka?

Sebelum Sean naik lagi ke atas pohon, Alice memutuskan pandangannya. Ia cepat-cepat turun dan berjalan beriringan bersama Sean menuju rumahnya.

"Apa yang kau lihat tadi?" tanya Sean.

"Sesuatu yang lucu." Alice terkekeh lagi, membuat Sean mengerutkan alis bingung.

Mereka berpisah setelah Sean mengantar Alice sampai halaman belakang. Lelaki itu sekarang akan kembali ke apartemen. Lagipula Sean tak punya tempat lain. Alice juga berjanji akan sesekali berkunjung. Gadis itu tak mungkin membiarkan Sean di sana sendirian dengan rasa sepinya.

Nampaknya semua berjalan lancar. Alice harap ia akan terus seperti ini, menghabiskan waktu bersama Sean tanpa merasa khawatir. Namun ia sendiri sadar, tak selamanya kondisi tersebut akan terjadi. Alice sudah pernah berjuang untuk mempertahankan Sean di sisinya. Sekarang pun ia harus melakukan hal yang sama. Ia harus segera menemukan kebenaran atas jati dirinya sebelum bangsa vampire yang melangkah lebih dulu.

***

Sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung bak istana. Sang pengemudi keluar dan tersenyum samar menatap pemandangan di depannya. Jeremy melangkah melewati pintu depan yang segera dibuka oleh penjaga. Beberapa prajurit yang berjaga di sekitar lorong pun langsung menunduk hormat. Tak sedikit yang terkejut melihat kedatangan dirinya.

Putra pertama dari pasangan Roderick Black dan Lizbeth Alfredo itu telah bertahun-tahun pergi untuk mencari istrinya, tak menyangka kini telah kembali. Semua vampire masih ingat kejadian di mana sang putra kedua—Ramon Black—melakukan kudeta dan berhasil mendapatkan takhta yang diimpikannya. Jeremy bukannya tak melawan, ia sudah melakukan itu, tapi dirinya kalah dan berpikir mencari Lily adalah yang harus dilakukannya saat itu.

Jeremy sadar, ia tak punya ambisi seperti Ramon. Ia tak pernah berpikir untuk membawa bangsanya pada kemenangan atas pertempuran dengan Amber. Jeremy bahkan tak pernah berpikir untuk berselisih dengan bangsa Amber. Ia hanya tak ingin terjadi pertumpahan darah, di mana ketika mereka masih bisa hidup berdampingan, kenapa tidak memilih jalan damai.

Namun sepertinya pikiran Jeremy dengan Ramon jauh berbeda. Ramon mempunyai tujuan sendiri ketika memimpin nanti. Menghancurkan bangsa Amber adalah salah satunya. Jeremy tak pernah setuju dengan ambisi tersebut, tapi sayangnya seluruh bangsa Rod bersorak akan tujuan Ramon.

Jeremy melangkah masuk ke sebuah ruangan. Seperti ruang kerja, tapi besar dan mewah. Seorang lelaki berdiri di depan jendela dekat meja kerjanya.

"Aku mendengar kabar kau telah kembali. Tapi aku tak menyangka kau di sini." Ramon berbalik, tersenyum ke arah Jeremy.

"Ya, seharusnya aku pulang lebih cepat. Tapi Lily benar-benar membuatku gila." Jeremy terkekeh membuat Ramon berjalan mendekat.

"Jadi bagaimana? Kau sudah menemukan Lily?" Ramon menatap Jeremy dari atas lalu ke bawah. "Tapi melihat kau datang sendiri, sepertinya bukan kabar bagus."

"Aku belum menemukannya." Jeremy melangkah menuju sofa dan duduk di sana dengan santai seolah ruangan itu miliknya. "Tapi tak sepenuhnya aku tak membawa apapun. Yang pasti, Lily baik-baik saja."

Ramon mengernyit bingung. Pria berambut pirang itu menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja kerja. "Lalu kenapa kau kembali?"

"Kau sendiri tahu alasannya." Jeremy menatap Ramon dengan tatapan yang sulit ditebak. Namun Ramon paham.

"Kau memang sudah keterlaluan. Meskipun aku sendiri sebenarnya ayah yang brengsek, tapi kau jauh lebih parah."

Jeremy sebenarnya tak ingin mendengar itu dari mulut adiknya, tapi Ramon memang benar. "Jadi ... bagaimana dengan tujuanmu?"

Raut Ramon seketika berubah serius. Ia kembali melangkah menuju jendela dan menatap ke luar. "Penyihir itu masih sulit untuk ditemukan. Tapi aku tak akan membiarkan Evan menang."

Jeremy yakin raut wajah Ramon saat ini terlihat menyeramkan. Jika sudah menyangkut bangsa Amber, pria jangkung itu akan berubah kejam. "Aku tak bisa memberimu saran apapun, lagipula kau tak akan mendengarkanku. Tapi jangan bebankan semuanya pada anakmu. Meskipun dia penerus selanjutnya, dia tidak seperti dirimu."

Ramon menatap ke arah Jeremy yang sudah berbalik menuju pintu. Pria berambut coklat itu melambaikan tangan padanya tanpa menoleh. Lalu pintu tertutup dengan menghilangnya Jeremy dari ruangan tersebut.

"Aku tahu. Dan itu yang membuatnya lemah."

***

"Ayo, jabat tangan denganku." Gadis kecil bermata hijau itu tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya. Lelaki di depan sang gadis yang nampak lebih muda darinya terdiam bingung dengan tatapan tajam. Anak lelaki itu masih memberikan tatapan waspada, seolah siap menyerang sang gadis kapan saja.

"Kau tidak tahu jabat tangan?" Gadis itu melotot tak percaya, padahal anak lelaki di depannya belum bersuara. "Seperti ini." Gadis itu dengan paksa menggenggam tangan anak lelaki tersebut dan menggoyangkan tangan mereka dengan semangat.

Lelaki bermata coklat keemasan itu terdiam merasakan hangat di tangannya. Kerutan tajam di alisnya perlahan mengendur. Gadis di depannya masih tersenyum senang.

"Ingatan yang bagus," ucap sang gadis kemudian.

Dan mimpi malam itu membuat Alice bertanya. Apakah kisah yang akan ia lihat mulai saat ini adalah tentang dua anak kecil itu? Lalu ... apa artinya?

—Bersambung—

Apakah masih ada yang baca cerita ini? 😐 Sudah lama tidak update :V maaf kalau jelek :V

Musim panas mereka hampir berakhir. Kalian tahu apa artinya? 😆 hehehe jangan lupa vote comment ya 😘

Salam fiksi, Saelsa White

The Last OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang