Bab 14 - Seseorang

5.5K 726 97
                                    

Kebenaran yang tersimpan rapat, bisa jadi adalah sebuah kepalsuan yang menguak.

—ווח

SIANG itu, Ross tiba-tiba mengajak Alice menyusuri kota tanpa alasan yang jelas. Ia pikir Ross bukanlah tipe ibu-ibu yang selalu ingin ditemani anaknya ke mana pun. Seorang ibu tunggal seperti Ross justru jauh lebih mandiri dan berusaha keras untuk mengendalikan setiap keadaan sulit, apalagi jika hanya ingin berjalan-jalan di kota. Sungguh, Alice sudah menolak ajakan ibunya. Beberapa hari ini, karena berita kedatangan V01, pikiran Alice jadi tambah banyak. Rasanya refreshing tak membantu untuk meringankan beban pikirannya. Yang ada jika ia bersenang-senang, dirinya akan melupakan masalah yang sedang dihadapinya dan malah semua akan jauh dari persiapan yang matang. Karena menghadapi vampire-vampire ganas itu tidaklah cukup dengan rencananya saat ini. Bahkan mungkin sekarang ia belum melakukan langkah apapun untuk mengungkap kebenaran keluarga Salvatore.

Sekarang, dirinya malah berpisah dengan Ross. Lebih tepatnya ia yang memisahkan diri karena semenit yang lalu ibunya itu terlihat bersemangat ketika memasuki sebuah minimarket. Alice memilih untuk benar-benar berjalan menyusuri kota seperti yang mereka rencanakan sejak awal. Kakinya hanya bergerak mengikuti arus orang-orang yang berlalu-lalang. Pusat kota nampak terlihat lebih ramai dari biasanya. Sambil berjalan, Alice menunduk, melihat kembali secarik kertas yang ditulis Vint tentang dua nama yang kini sedang dicarinya. Saking seriusnya, bahu Alice tak sengaja bertabrakan dengan segerombol penyanyi jalanan. Kertasnya melayang, jatuh dan hampir terseret-seret oleh kaki manusia.

Tanpa pikir panjang, ia menunduk, berusaha menggapai kertasnya sambil berucap permisi pada orang-orang, berharap mereka akan peduli dan memberinya jalan. Karena sungguh, sangat sulit menerobos jalan sambil menjaga agar ia tak kehilangan kertasnya. Dan ketika akhirnya tangan Alice menggapai kertas itu, ia segera berdiri tegak dengan helaan napas lega. Namun, lagi, segerombol lainnya yang berpakaian hitam—entah datang dari mana—melewati jalan itu, membuat Alice dengan sigap menyingkir ke pinggir, berdesak-desakan dengan pejalan kaki yang lain. Digenggamnya kali ini kertas itu erat-erat.

“Bisakah kau menyingkir?” Tiba-tiba seorang wanita berjalan terburu-buru, menerobos begitu saja ke belakang Alice, mencari celah untuk melewati jalan, membuat tubuh Alice tersapu ke tengah-tengah gerombolan berbaju hitam itu. Lalu tak sengaja, tangannya bersentuhan dengan tangan seseorang.

“Thomas Salvatore memiliki istri dan seorang anak, keturunannya.”

Di dalam ruangan gelap dengan cahaya remang-remang yang masuk dari jendela.

“Temukan mereka dan bunuh!”

Gambaran seorang pria.

“Bangsa Rod tidak boleh menemukan Kebenaran Palsu itu!”

Lalu suara-suara yang menjawab dengan serentak, “Baik!”

Alice terengah. Menatap sekeliling dengan pandangan buram. Suara-suara di sekitarnya seketika terdengar sumbang. Seolah semua inderanya kini bekerja dengan kacau. Alice cepat-cepat menolehkan kepala ke arah segerombol berbaju hitam itu pergi. Salah satu dari mereka bersentuhan tangan dengannya. Siapapun itu, Alice harus mencarinya!
Dengan langkah terburu, Alice berusaha berjalan menyusul mereka, sambil mencari-cari siapa orangnya. Namun percuma, gerombolan itu sebagiannya menutupi kepala dengan hoodie jaket maupun jubah baju mereka. Alice tak bisa melihat wajag mereka dengan jelas. Terlebih ia tak bisa menebak salah satunya.

Sentuhan itu masih terasa, membekas melalui kejadian samar. Dalam penglihatannya, seseorang atau bahkan lebih, entah siapa itu, telah mengetahui tentang Thomas. Bahkan suara itu menyebut Thomas memiliki keturunan yang tak lain adalah dirinya. Terlebih, mereka berniat membunuh ia dan Ross. Selama ini seseorang telah diam-diam mencari dirinya, dan berniat membunuh siapapun keluarga serta keturunan Salvatore. Siapapun orang yang memberikan perintah, dia tidak seperti bangsa Rod dan Amber yang menginginkan kekuatan keturunan Salvatore. Dia hanya ingin para Salvatore lenyap. Dan itu semua berhubungan dengan Kebenaran Palsu.

Alice merasakan jantungnya masih berdetak kencang. Itu bukanlah detakan yang menyenangkan. Gemetar masih menyelimuti tubuhnya. Matanya masih tak bisa fokus pada sekeliling. Perasaan itu, perasaan ketika dirinya sedang terancam terasa begitu menekan.

“Alice?”

Alice berjengit, menoleh ke belakang dan menemukan Sean di sana.

“Sedang apa kau di sini?”

Alice kembali mendapatkan fokusnya. Ia segera menyimpan kertas yang sejak tadi digenggamnya ke dalam saku, lalu mengeluarkan ponsel. “Mom mengajakku pergi ke kota,” gumam Alice sambil menatap layar ponsel. Ia mendapatkan sebuah pesan dari Ross.

From : Mom
Sayang, Mom pulang dulu. Ada berkas yang lupa kukirim siang ini. Nanti kabari aku jika kau ingin pulang.

Alice menghela napas lelah. “Dan Mom pulang duluan,” ucapnya dengan wajah pasrah, menyerah.

“Ikut aku.” Sean tiba-tiba menarik pergelangan tangan Alice yang tertutup jaket lengan panjang. “Kita tidak bisa terus di sini.” Mata Sean sempat menyiratkan kewaspadaan ke arah belakang sebelum akhirnya membawa Alice masuk ke dalam mobil dan mereka pergi menuju apartement Sean. Tempatnya berada sedikit jauh dari pusat kota. Berada di lingkungan dengan sedikit penghuni.

Alice melirik Sean yang sedang mengemudi. Ada sesuatu yang aneh yang dilihat lelaki itu ketika di kota tadi. “Ada apa?” tanya Alice yang kini menyusul Sean memasuki apartementnya. “Apa ada sesuatu yang kau lihat tadi di sana?”

“Akhir-akhir ini aku melihat banyak vampire Rod berada di Ashland.” Sean membuka topi hitamnya. “Jika mereka dari kerajaan, mungkin ini ada hubungannya dengan kedatangan V01 ke Foster.”

Sekarang, dugaan pertama Alice adalah vampire Rod. Siapapun itu vampire yang ingin keluarga Salvatore mati, yang jelas berkaitan dengan gerombolan berbaju hitam yang kemungkinan berasal dari bangsa Rod, seperti yang dikatakan Sean. Tapi siapa?

Tiba-tiba ponsel Sean berdering. Lelaki itu menatap sebentar layarnya, lalu beralih menatap Alice dengan wajah serius. “Ini Max.” Sean segera mengangkat panggilan tersebut.

Alice tahu apa yang dipikirkan Sean. Karena ia juga berpikiran hal yang sama. Apalagi saat melihat Sean masih memasang ekspresi yang sama ketika mendengar suara Max. Tak lama, lelaki itu menutup sambungan teleponnya dan menatap Alice.

“Mereka sudah ada di Foster.”

***

Mobil sedan hitam milik Ross berhenti beberapa meter dari rumah, samping pepohonan di sepanjang jalan. Jauh di sana, ia melihat dua orang pria berbaju hitam berada di pekarangan rumahnya. Melihat itu, Ross tak segera keluar. Ia sengaja memperhatikan mereka dari dalam mobil.

Dua orang itu kemudian berjalan menuju teras rumah, mengintip-intip ke dalam rumah lewat kaca jendela. Salah satunya menggeleng ke arah yang lain, lalu menelepon seseorang sambil berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pagar rumah. Temannya menyusul di belakang dengan mata menatap sekitar, membuat Ross sontak menundukkan kepalanya, bersembunyi. Setelah mereka masuk ke mobil dan pergi, Ross segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

“Seperti perkiraanmu, mereka ke sini. Kau yakin, mereka tidak akan kembali lagi?”

“Tenang, Ross. Rumah itu sudah berganti atas namaku. Mereka tidak akan curiga,” jawab suara berat seseorang. Mendengarnya, Ross menghela napas lega. Namun tatapannya masih menyiratkan rasa cemas.

“Baiklah. Lagipula sekarang mereka sudah pergi. Terima kasih, Jack.”

“Sama-sama, Ross.”

Lalu setelah itu, panggilan terputus. Layar ponsel Ross masih menampilkan riwayat panggilan pada nama kontak, Jake Wayder.

—Bersambung—

Wah sudah lama ya cerita ini tidak muncul 😄 gimana gimana? Makin seru? Udah ada misteri yang kalian dapat?

Jangan lupa like comment dan share ke teman teman kalian yahh 😬

Salam fiksi, Saelsa White

The Last OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang