Dia bukan lelaki jahat. Hanya saja keadaan yang memaksanya bertindak tak benar.
—ווח
ALICE merogoh saku jasnya. Menatap kertas yang didapatnya dari Vint. Nama Jake Wayder dan insial A.L tertulis di sana. Sejak tadi ia merenung, mengabaikan kantin yang semakin ramai di jam istirahat. Jika ia bisa menemukan Jake Wayder, mungkin semuanya akan jauh lebih mudah. Namun belum ada kepastian, siapa sebenarnya Jake? Apakah dia adalah sahabat ayahnya atau justru sebaliknya. Terlebih saat ini, tak ada petunjuk apapun yang bisa menuntunnya pada Jake.
"Sendirian saja?"
Alice mendongak, menemukan Dustin dan Austin berjalan menghampiri. Cepat-cepat ia menyimpan kertas dari Vint kembali ke saku jasnya, sebelum dua orang itu mengambil tempat duduk di depannya.
"Ke mana Helen dan Ana?" tanya Austin sambil melirik sekitar.
"Lexi juga," tambah Dustin.
“Ana ada rapat dengan ekskul taekwondo, sedangkan Helen tadi menyeret Lexi. Katanya ia ingin melihat David memasak.” Alice mendekatkan tubuhnya, merapat ke meja. “Memangnya benar? David bisa memasak?”
Dustin tiba-tiba tertawa. Ada aura bangga dalam dirinya. “Tentu saja. Selain karena anggota V02, David juga terkenal karena jago dalam memasak.”
“Memangnya kalian pernah merasakan masakannya?” Alice mengernyit. Ia rasa Dustin dan Austin paham maksud ucapannya. Vampire dikenal meminum darah, begitu pun dengan mereka. Bahkan Austin saja sampai membenci saus yang katanya membuat mual.
“Bukan kami yang mencicipi masakannya. Tapi para manusia di sini atau pun pelayan di mansion,” jawab Austin yang langsung membuat Alice mengangguk. Mengingat adanya Peraturan Pemberian Hak, Alice tahu tidak hanya vampire yang ada di mansion. Manusia yang memilih menjadi pelayan juga tinggal di sana.
“Lalu, bagaimana caranya David memasak jika kalian tidak bisa makan makanan manusia?” Satu hal ganjil yang sejak tadi berputar di kepala Alice. Ia jadi merasa tidak bisa membedakan para vampire dengan manusia biasa.
“David menggunakan matanya dalam melihat bau.” Austin menyeringai sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di samping mata. Barulah di situ Alice paham. Ia mengangguk tanda setuju, mengingat hal itu memang masuk akal.
“Kau mengerti maksud kami?” tanya Dustin sedikit terkejut.
“Max pernah mengatakan kemampuan David padaku.”
Dua lelaki itu kembali terkejut. Mereka berpandangan, lalu bertepuk tangan. “Hebat.”
Alice mengernyit. Tak mengerti dengan reaksi keduanya. “Jadi, David memperkirakan rasa makannya dari bau bahan-bahan yang dia lihat? Terutama bumbunya?” tanya Alice lagi, tak ingin membahas lebih lanjut tentang keanehan dua saudara kembar itu.
“Tepat sekali.” Dustin menjentikkan jarinya. “Sejak dulu dia memang selalu melakukan hal aneh yang diluar dugaan kami,” ucapnya dengan penekanan di kata terakhir.
Kami yang dia maksud adalah para vampire. Setelah apa yang sudah Alice lalui, ia sedikitnya paham jika berbicara dengan mereka. “Memangnya apa lagi yang dia lakukan sampai membuat kalian menganggap seperti itu?”
“Contohnya kacamata.”
Kedua alis Alice terangkat. Mulai tertarik dengan satu kata itu. “Kacamata?”
“Dulu David pernah memakai kacamata. Padahal penglihatan kami lebih tajam dan jelas dari manusia biasa,” kata Austin sambil menopang dagunya dengan malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last One
VampirAlice yang baru saja merasa bahagia telah terikat Darah Pertama dengan Sean Black, harus menerima fakta yang selama ini disembunyikan ibunya. Nama Thomas Salvatore telah menjelaskan semuanya, bahwa ia adalah keturunan terakhir yang selama ini diinc...