Prolog

4.5K 418 51
                                    

Eiji menekuk lututnya, menyembunyikan wajah diantara kaki sambil menangis. Beberapa waktu lalu tiga orang anak lelaki seumuran datang dan mengatakan hal menyakitkan mengenai kedua orang tuanya.

Mereka berkata bahwa ayah Eiji merupakan sampah masyarakat yang sering melakukan kejahatan dan ibunya seorang pelacur yang sering menjajakan diri pada lelaki hidung belang.

Eiji sebenarnya tidak terlalu paham maksud dari perkataan mereka, tapi bila dilihat dari cara mereka berbicara dan memandang, itu seharusnya bukan hal yang baik.

Eiji hanya bisa menangis. Dia tidak berani melawan. Entah sekedar membalas perkataan mereka pun tidak, apalagi kalau sampai membalas dengan kekerasan fisik. Jadi dia hanya pasrah saat tadi dia di dorong sampai terguling ke tanah oleh mereka.

"Apa yang membuat kau menangis?"

Eiji merasakan sentuhan di Puncak kepalanya dan dia pun mendongak untuk melihat seseorang yang telah menyentuh dan mengusap kepalanya.

Seorang anak laki-laki berambut pirang tersenyum manis sekali. Eiji sampai terpesona dibuatnya. Anak laki-laki itu terlihat seperti malaikat. Dia tampan, sangat tampan. Wajahnya tidak sama seperti orang-orang yang selama ini Eiji lihat, mungkin dia bukan orang Jepang.

"Apa kau terluka?"

Anak laki-laki itu menggunakan bahasa Jepang dengan logat yang aneh. Terdengar agak lucu ditelinga Eiji.

Anak laki-laki itu kemudian menarik kedua pipi Eiji. "Aku bertanya padamu, kenapa tidak kau jawab?"

Eiji menepuk tangan yang menarik pipinya, meminta dilepaskan. Setelah dilepaskan Eiji mengusap lembut kedua pipinya yang terasa agak nyeri.

Kemudian Eiji menatap anak laki-laki itu. "E-ecchan tidak menangis," jawabnya lirih.

Mata hitam Eiji berkata sebaliknya, karena dari sana masih mengeluarkan air mata, meski tak sebanyak sebelum kedatangan si anak laki-laki.

Anak laki-laki itu mendecakkan lidah. Tangannya kini menarik hidung Eiji yang sedikit mengeluarkan ingus. "Kau bohong! Anak kecil tidak boleh bohong tahu!"

"Tapi Ecchan tidak bohong!" Eiji masih membantah. Dia memukul pelan tangan yang ada diatas hidungnya yang ingusan, merasa agak risih.

Anak itu menunjukkan tangannya yang tadi memegang hidung Eiji. "Lihat, ingusmu menempel di tanganku," katanya. Tapi anak itu tidak terlihat jijik sama sekali. Dia malah tersenyum semakin lebar.

"Maaf," Eiji menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Kenapa meminta maaf, ini bukan salahmu, Ecchan."

Eiji memberanikan diri untuk kembali mendongak. "Kau tidak marah pada Ecchan?" tanyanya bingung, karena biasanya, apa pun yang Eiji katakan atau lakukan selalu membuat orang-orang kesal dan membuat mereka berkata kasar sampai melakukan kekerasan fisik, seperti memukul atau mencubit.

Tapi anak laki-laki didepannya berbeda. Dia tadak marah. Dia tidak memukulnya. Dia malah tersenyum sepanjang waktu. Bolehkah Eiji berharap mereka bisa berteman? Karena Eiji ingin tahu bagaimana rasanya memiliki seorang teman. Memiliki seseorang yang akan membela dan dibelanya.

Anak laki-laki itu terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Nah, ayo aku bantu bangun. Lihat baju dan celanamu kotor semua. Kau ini habis main apa sih?" tiba-tiba anak laki-laki itu mengomentari pakaian Eiji yang kotor.

Tadi Eiji sempat terguling ke tanah gara-gara didorong oleh anak-anak nakal itu. Eiji bahkan tidak sadar kalau pakaiannya kotor andai anak laki-laki itu tidak mengatakannya.

Black & White (Jerat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang