Bab 5

1.8K 263 110
                                    

Setelah lama berpisah lalu bertemu, kemudian apa lagi? Ash ingin membagi luka, namun saat melihat kenyataan lain mengenai hidup Eiji yang nyatanya tak jauh beda menyebalkannya dengan hidupnya sendiri, Ash mulai merasa ragu.

Ayah yang berengsek. Ibu yang pesakitan. Setidaknya Ash masih memiliki Griffin, yang meskipun menyebalkan, namun selalu ada ketika dibutuhkan. Sedang Eiji, dia punya siapa selain diri sendiri untuk menguatkan hati?

Ash meraih tangan Eiji ke dalam genggaman. Mereka tengah duduk di bangku panjang yang posisinya agak mojok terhalang bayangkan pohon. Hanya mengandalkan cahaya bulan dan dua lampion yang tak seberapa jauh dari tempat keduanya duduk sekarang.

Eiji baru menceritakan kisah hidupnya yang menurut Ash cukup menyedihkan. Kehilangan sosok paling dicintai, setelah itu hidupnya mulai berkembang ke arah yang menyakitkan. Ayah yang selalu mabuk saat kembali pulang, kemiskinan yang mencekik sampai sang ibu harus menjual diri agar suami dan anaknya bisa hidup, bahkan Eiji harus putus sekolah dan bekerja di usia yang masih begitu belia. Belum lagi mendengar bisik tetangga yang seperti menabur garam di atas luka.

Ash tidak tahan membayangkan betapa jahatnya tangan takdir mempermainkan Eiji. Andai dia bisa datang lebih awal, Ash pikir dia akan mampu memberikan dukungan untuk Eiji. Meski mungkin keberadaan dirinya tak begitu membantu, setidaknya Eiji akan memiliki bahu untuk tempatnya bersandar dan berkeluh kesah.

"Menangislah bila itu bisa mengurangi sakit di hatimu." tangan Ash merambat ke punggung Eiji, menariknya mendekat untuk memeluknya. "Sekarang ada aku, kau tak lagi sendiri."

Mungkin ini akan menjadi tangisan Eiji setelah sekian lama. Selama ini Eiji selalu menunjukkan sisi dirinya yang kuat, yang tabah, yang tak mudah tumbang bahkan ketika badai menerjangnya. Tangisan pertamanya di bahu seseorang.

Semua bayang masa kecilnya yang hanya penuh akan penghinaan, berputar cepat di dalam pikiran. Eiji mencengkeram punggung Ash yang dilapisi jaket biru, menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ash, dan menangis di sana seperti anak kecil yang ditinggal pergi.

Suara tangisannya membuat Ash merasakan amarah yang kuat. Ash marah pada takdir yang jahat, marah pada ayah Eiji yang tak bisa menjadi teladan bagi anaknya, marah pada ibu Eiji yang seharusnya bisa menemukan pekerjaan lain tanpa menjual diri seperti itu, tapi rasa marah ini lebih kuat untuk dirinya sendiri karena tidak berada di samping Eiji, ketika sosok itu membutuhkannya.

Malam itu Eiji menagis sampai kelelahan dan tertidur. Ash menggendongnya di depan, membawanya seperti membawa seorang putri.

.
.
.

"Dia… siapa, Ash?"

"Ibu, kenapa belum tidur?"

Ash berpapasan dengan ibunya saat akan menaiki tangga ke kamarnya. Ibu Ash sangat cantik, mata dan warna rambutnya sama persis dengan milik Ash. Ash seperti versi laki-laki dari sosok ibunya.

"Ibu menunggumu dan Griffin." mata ibu Ash tak bisa lepas dari sosok Eiji yang ada dalam gendongan Ash. "Dia siapa?" kembali dia bertanya.

"…temanku." Ash menjawab ragu. Sebenarnya Ash ingin menjawab calon menantumu, tapi Ash takut ibunya terkena serangan jantung mendadak.

"Oh… lalu, di mana Griffin?"

Ash tahu "oh" yang ibunya katakan mengartikan ketidakpercayaan, tapi situasi saat ini belum bisa dia gunakan untuk mengungkapkan pengakuan.

Dan mengenai Griffin, Ash bahkan lupa kalau kakaknya itu pernah ada. Jika sudah dengan Eiji, dunia serasa milik berdua. "Griffin menginap di rumah temannya," Ash menjawab asal.

"Teman yang mana, Ash?"

"Aku tidak tahu, Ibu bisa tanya padanya saat dia kembali. Temanku pasti merasa tidak nyaman." Ash melirik Eiji dalam gendongan, yang ditatap terlihat tertidur nyenyak seperti bayi. "Aku harus segera membaringkannya di kasur," lanjutnya kemudian.

Ibu Ash mengangguk, membiarkan anak bungsunya kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia sendiri berjalan ke dapur untuk mengambil minum.

.
.
.

Nah, Ash bawa Eiji ke kamarnya… akankah terjadi sesuatu??? 😯😯

.
.
.

Griffin menyentuh pipinya. Dia baru saja kena tampar. Ini pertama kalinya ada wanita—ralat, ada pria selain Ayah dan adiknya yang begitu berani meninggalkan tamparan di pipinya, apa lagi itu tidak main-main. Rasa perihnya bahkan sampai menembus ke kedalaman hatinya.

[Ugh, Griffin lebay!]

"Berani sekali kau menamparku! Apa kau tidak tahu siapa aku?!"

"Aku tidak peduli siapa kau, yang aku tahu, kau itu cabul sialan!"

"Dimana letak 'cabul' yang kau bicarakan? Aku tidak menyentuh *piiip* mu atau *piiip* mu, apa lagi sampai melakukan *piiip* dan *piiip* *piiip* padamu." Griffin berbicara dengan banyak sensor suara. Setengah menit kemudian wajahnya menjadi merah, meski tak terlihat karena gelap. "Mungkinkah, mungkinkah ini kode? Sebenarnya kau ingin di *piip* *piiip* *piip* *piiiip* olehku, kan?"

"Aku tak mau bicara dengan orang gila!" dan berjalan—setengah berlari—meninggalkan Griffin yang mematung memandang punggungnya yang kian mengecil yang kemudian hilang di dalam kegelapan.

...........

[19-28-12]
Ini jum'at, biasanya lagi nonton episode baru dari Banana Fish, tapi sekarang sudah tamat… hu.. hu.. Dan mengapa ending-nya seperti itu? Eiji kembali ke Jepang dan Ash tidak tahu mati atau tidak di perpustakaan.

Btw, apa ending-nya sama dengan di manga? Aku nggak baca manga-nya, omong-omong.

[Update selanjutnya tahun depan]

🤗🤗🤗

Black & White (Jerat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang