Launching KM Bintang Samudera

267 5 0
                                    

KM. Bintang Samudera, Itulah yang tertulis di plat nama kapal baru yang akan dipegang oleh Kapten Basir. Kapal ikan dengan kapasitas tigaratus tujuh puluh ton berwarna dominan biru laut berbahan bangunan kayu ulin dan fiberglass itu masih berada di atas dock bersiap untuk launching di trip pertamanya. Tukang-tukang cat dan pelabur fiber satu-persatu mengecek tingkat kekerasan bahan hasil pengerjaan mereka apakah sudah layak launching atau belum. Beberapa dari mereka nampak melapisi bagian cat yang belang ataupun kurang rata di beberapa sisinya. Sirip-sirip lambung tak lupa dicek agar penstabil kapal itu benar-benar kuat kala kapal memecah ombak samudra.

"Bagaimana Mas, udah kering belum lapisanya?" tanyaku pada tukang pelabur fiber yang berada di depan rumah kemudi.

"Mungkin sebentar lagi Mas. Soalnya fiber kalau dicampur cat kadang susah kering. Tapi jangan khawatir. Ini pasti kuat kok, tak mungkin lepas kemudinya."

"Oke, saya harap benar-benar melekat kuat. Berapa lama itu Mas?"

"Gak nyampe satu jam kok. Garansi kalau lepas labur fiber lagi gratis."

"Ah bisa aja. Baiklah saya mau ngecek yang lain." pungkasku seraya beranjak usai tukang tersebut mempersilakan.

Kini hasil pekerjaan itu layak diluncurkan. Satu persatu bantalan pengganjal roda docking dilepas. Beberapa pegawai yang bekerja di areal docking milik Bapak Lasdi mengecek kedalaman perairan di belakang Bintang Samudra sebelum kapal besar itu diluncurkan. Pegawai yang berada di depan tuas mesin peluncuran perlahan memutar power block yang tergulung seling melepas tali besi itu agar kapal masuk ke perairan. Kapal mundur perlahan hingga akhirnya bisa mengapung diatas aliran Sungai Silugonggo, Juwana, Pati dan menimbulkan flow melewati pembatas naik ke jalan. Crew dua kapal penarik dengan sigap menggandeng kapal besar itu pada kapal kecil mereka untuk memarkirkan di dekat pabrik es yang  kebetulan berada searea dengan docking kapal milik Bapak Lasdi.

Mbah Nardi yang kebetulan tidak mengikuti Kapten Basir di trip ini lekas melompat turun bersiap mengikatkan tali tross pada tambatan dermaga pabrik es yang berbahan beton itu. Tentu saja usai kuposisikan kapal sedemikian rupa agar memudahkan saat nanti pengisian es. Dua kapal penarik hampir melepas tali mereka sesaat usai terdengar suara teriakan salah satu pegawai keamanan pabrik es.

"Woi jangan parkir disana, ada kapal holer mau isi es."

"Parkir mana?" teriaku untuk ucapanya

"Terserah. Yang penting jangan disini. Lagian bangun kapal gede amat. Susah parkir terus kebakar, tau rasa."

"Bang, tuh mulut hati-hati kalau ngomong! Ngajak ribut nih?" seruku agak geram.

"Gak terima, sini duel sama gua!" serunya menantangku.

Mbah Nardi lekas memukul wajah security itu hingga jatuh. Tak terima perlakuan ini ia pun bangkit dan membalas. Perkelahianpun tak terelakan. Baku hantam terjadi di kedua belah pihak. Tak jarang kaki mereka saling menendang satu sama lain. Melihat keributan ini, aku mengajak beberapa tukang melerai keributan yang terjadi. Tak luput crew kapal penarik juga ikut sesaat usai mematikan mesin. Dua orang crew kapal penarik menarik security sementara aku dan tiga teknisi freezer yang baru naik menarik Mbah Nardi yang berbadan kekar.

"Udahlah gini aja kok ribut? Kan bisa toh dibicarakan baik-baik? Mbah Nardi gak pernah gini lho setahu saya. " ujarku berusaha melerai keributan.

"Sampiyan orang muda tau apa urusan orang tua? Ini bukan karena ucapanya barusan, tapi karena dialah lelaki keji yang meniduri anak saya sampai hamil waktu kita berlayar trip Irian kemarin. Habis itu ia kabur kaya angin!!! " seru lelaki tua bertubuh kekar asal Kabupaten Sumenep itu dengan logat Madura yang masih kental.

"Maaf Pak, saya khilaf. Saya nggak tahu kalau Siti itu anak bapak. " katanya.

"Emangnya lebaran minta maaf? Kalo tahu bapaknya setruk, pasti lebih berani." ujar Mbah Nardi penuh emosi. Lelaki tua itu nampak berusaha melepaskan genggaman tangan kami. Mungkin ia bisa saja kembali menghantam security kurang ajar itu andaikan tidak dipegang oleh empat orang mengingat tubuh beliau bisa dibilang seukuran Agung Hercules.

"Begini saja mbah, mending kita laporkan ia pada yang berwajib. Mumpung dia belum terlalu benjut nih. Kan muka Mbah lebih lebam leh dari muka dia." ucap Joni, salah satu crew kapal penarik yang memegang si security.

"Waduh mas, kok gitu amat? Kan saya khilaf."

"Salah loe koplak! Ngapain anak orang loe tidurin nyampe bunting? Emang pelacur bisa loe tidurin setiap saat?" umpat Joni tepat di telinganya.

"Pokoknya akan saya selesaikan secara jantan! Kelamaan kalo ama polisi. Paling ujungnya duwit." ujarnya dengan tatapan tajam pada crew kapal penarik tersebut.

"Ya ampun Mbah, inget umur. Jangan mudah emosi gitu lah. Mending kasih ama polisi. Kita semua siap kok jadi saksi. Tinggal datangkan saja anak bapak. Beres kan? Kalau masalah uang, motoris di belakang bapak kayaknya siap tuh. Iya nggak, Ardana Wahyudi? " lanjutnya untuk keluhan beliau.

"Gila loe Jon. Emang loe kira duit tinggal ngeruk gitu? Nama gue loe balik pula. Tapi untuk rekan sekapal saya, tak masalah Mbah..." tanyaku untuk jawaban Joni lalu memandang Mbah Nardi.

"Masalahnya ia terlanjur bunuh diri Dana. Gak ada yang bisa dibuat bukti..." jawab lelaki tua kekar itu lekas tertunduk saat mengingat anaknya.

Seketika suasana hening tatkala lelaki tua bertubuh kekar itu menumpahkan air mata. Orang-orang di sekitarku semua terdiam tak terkecuali diriku. Isi kepalaku masih berputar mencari solusi jitu untuk permasalahan ini agar Mbah Nardi tak menghabisi nyawa si security.

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang