"Dia masih sama," gumam Markus dalam hati.
Namanya Devan, jika tidak salah. Kami bertemu di Bali setahun yang lalu. Lalu, aku pergi setelah menghapus seluruh jejak yang mungkin kutinggalkan.
Bagaimana mungkin sekarang ia berada di hadapanku dengan setoples biskuit di tangannya?
Ah, biskuit.
Aku ingat aku pernah memakan biskuit yang katanya bikinannya sendiri.Demi Tuhan, itu adalah biskuit terenak yang pernah kumakan seumur hidupku.
"Markus!" Devan menyapa Markus sekali lagi dengan intonasi rendah.
"Hah!" jawab Markus bego setelah tersadar dari rangkaian kenangannya.
"Kamu kenal aku, kan?"
Mendengar pertanyaan Devan, Markus terdiam lagi beberapa saat. Ia sungguh dilema. Jika ia bilang ia mengenalnya, maka terbongkar sudah kebohongannya setahun lalu. Jika ia bilang tidak, Markus tak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi.
Namun, Markus lebih suka merasa tertantang.
"Kamu siapa?"
Markus melihat perubahan raut wajah Devan. Ia terlihat sedih sekaligus kecewa. Lantas Devan berjalan mundur beberapa langkah dan pergi begitu saja meninggalkan Markus yang terpaku di tempat.
"Apa aku memilih jawaban yang salah?" batin Markus.
***
Markus merapikan barang miliknya setelah mengganti pakaiannya dengan kaos yang pastinya lebih nyaman untuknya.
"Markus!"
Markus menoleh ke pintu dan melihat managernya yang jadi-jadian masuk dengan senyum yang berlebihan.
Markus tahu, ini gejala orang kepo. Iis pasti akan mengoreknya habis-habisan.
"Apa?" Jawab Markus acuh tak acuh.
"Selamat ya. Acara hari ini sukses!"
Markus tersenyum sinis.
"Ayolah. Aku tahu bukan ini yang ingin kau bicarakan. Langsung saja."
Senyum di wajah Iis semakin mengembang, membuatnya lebih terlihat seperti hantu bermulut robek. Entah perasaan Markus aja atau gimana, tapi menurutnya, ukuran mulut Iis sangat di luar batas normal. Terlampau besar, istilahnya.
"Markus. Kau sungguh mengerti diriku. Siapa cowok tadi?"
Bammm!
Markus sudah menduga pertanyaan ini akan muncul dari mulut seorang Iis yang auto-ngefans dengan semua cowok ganteng. Markus akui, kegantengan Devan memang di atas rata-rata.
"Gatau," jawab Markus tanpa melihat si penanya dan terus melanjutkan untuk merapikan barangnya.
"Kau bohong. Aku akan memelukmu jika kamu tidak mengatakan yang sebenarnya." Iis menutup perkataannya dengan tangan terbuka lebar, siap melahap siapa saja ke dalam pelukannya.
Markus bergidik ngeri melihat aksi Iis. Ia sungguh benci dipeluk Iis.
"Baiklah. Dia temanku dan kami bertemu di Bali. Aku tidak tahu apa-apa lagi tentangnya."
Markus mengakhiri jawabannya dengan tegas, menyiratkan agar Iis tak bertanya lebih lanjut mengenai Devan karena memang hanya itu yang Markus tahu.
Iis memasang wajah sebal di mukanya dan keluar ruangan. Markus geleng-geleng kepala melihat managernya yang centil.
Devan ...
Markus menjadi ingat akan pria itu. Pria yang pernah seranjang dan berbagi kehangatan dengannya.
Pria yang sudah ia tinggalkan.
Dan mungkin saja pria yang pernah ia bodohi. Parahnya, ia membodohinya lagi tadi.
Markus menepuk-nepuk kepalanya.
"Kau bodoh, Markus. Apa salahnya mengenalnya?" batin Markus.
Setelah yakin barangnya tak tertinggal, ia keluar dan mencari mobilnya di parkiran mall.
Langkahnya terhenti saat melihat pria itu lagi di depan mobilnya, sedang berkacak pinggang dengan ponsel di tangannya.
Ia pastilah sedang membaca berita karena ia memang sudah tua, pikir Markus.
Akhirnya, setelah melakukan banyak pertimbangan di pikirannya, Markus menghampiri Devan.
Devan, yang merasa ada seseorang mendekatinya, mendongakkan wajahnya untuk melihat orang itu. Ia menyimpan ponselnya dalam saku dan menatap pria di depannya.
Ia menatap lekat-lekat Markus selama beberapa menit hingga Markus menjadi salah tingkah. Markus tak mengerti apa yang sedang Devan lakukan. Devan hanya diam dan menatapnya sejak tadi.
Markus yang tak tahan lagi dengan aksi Devan segera memecahkan keheningan dengan bertanya," apa yang kau lakukan?"
Devan malah balik bertanya," kenapa kau membohongiku?"
Markus merasa seluruh kebohongannya sudah terungkap. Ia memutar otaknya untuk mencari alasan apapun yang layak ia sebutkan.
"Maksudnya?" Markus merasa is harus pura-pura bego saja.
"Iis sudah mengatakan semuanya padaku. Bahwa kau bertemu denganku di Bali. Apakah itu cukup?"
Markus terdiam. Saat ini juga, ia ingin membunuh Iis karena kelancangannya.
"Kalau kita pernah bertemu di Bali terus kenapa? Lagian, apakah dengan mengetahui namamu, tandanya aku mengetahui semua tentangmu?"
Markus masih berusaha membela dirinya. Wajah Devan tetap terlihat tenang. Ia tak kelihatan marah. Namun, Markus tetap merasa terpojokkan dan terintimidasi. Apakah ini efek dari kharisma yang Devan miliki?
Devan pun mengangguk tiba-tiba, membuat Markus terhenyak karena ia tak memprediksi gerakan tiba-tiba Devan.
"Apa?" tanyanya ketus karena merasa kaget.
"Aku punya ide. Kau menginap hari ini di rumahku dan kita akan saling mengenal."
Markus mencibir setelah mendengar ide Devan.
"Siapa dia? Buat apa aku mengenalnya?" Batin Markus.Devan melihat bibir Markus bergerak-gerak, seperti sedang menggerutu sendiri.
"Kau tak mau?" Tanya Devan.
"A-aku tak mau. Lalu?"
"Kau harus mengantarku pulang. Karena mobilku sudah dibawa pulang oleh temanku."
Markus melihat sumber bebannya malam ini.
"Kutebak, mau atau tidakpun, kau pasti akan tetap menyuruhku untuk mengantarmu pulang. Baiklah, om tua."Devan merasa tersinggung dengan perkataan Markus, pun menjawab," aku belum setua itu, anak muda. Aku masih mampu membuatmu orgasme berkali-kali."
Markus mendengus kesal.
"Dasar mesum!"
Devan tak mengacuhkan hinaan Markus dan dengan santainya masuk ke mobil Markus, layaknya mobilnya sendiri.
***
Bagaimana part ini? Ayo vote and comment.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's Forbidden But Okay [MxM]
RomancePeringatan : Cerita ini mengandung konten dewasa. Jangan membaca jika iman kalian belum kuat!!!!!!! Devan Antonio: CEO sebuah perusahaan minyak multinasional dengan karir yang cemerlang. Markus Vrederick: aktor baru yang namanya sedang melejit dan d...