4

121 27 36
                                    

secarik kertas dari lelaki beralis tebal

"Kau suka Namra bukan?" tanya Xiao Dejun tepat sasaran.

Kini waktunya istirahat. Pertandingan antar kelas berhenti sementara, dan para penonton maupun pemain memilih bubar menuju tujuan masing-masing.

Naje Bumintara menatap Dejun kosong. Ia bungkam, tidak menjawab.

"Aku juga," lanjut Dejun karena Naje bergeming seperti patung.

"Tapi, Namra memang gadis yang tidak peka. Aku lelah memberikannya kode."

"Kau masih menyukainya?" tanya Naje penasaran, menunggu Dejun selesai meminum air mineral dingin untuk menyegarkan tenggorokan kering.

Dejun meremas botol plastik yang sudah kosong, lalu melemparnya ke tong sampah.

"Sepertinya iya."

"Walau pun ditolak olehnya." Dejun meringis hingga hidungnya berkerut.

"Kau... ditolak?"

Dejun mengangguk yakin. Ia menghela napas panjang. "Walaupun tidak secara gamblang."

"Setidaknya aku sudah pernah membonceng Namra di motorku," ucap Dejun bangga sambil menepuk-nepuk pundak kurus Naje.

Naje bergerak gusar. Bisa-bisanya gadis itu mau diantar pulang oleh Dejun?

"Setahuku dia selalu pulang naik angkot bersama Ikhsan," seru Naje datar, berusaha bersikap biasa saja.

"Tidak juga, kadang Ikhsan membawa motor vespa tua miliknya," seru Dejun sangsi. Lelaki beralis tebal itu mengangkat pundaknya.

"Tidak usah kesal, itu kejadiannya sudah cukup lama. Saat kita baru masuk SMA."

Dejun memandang Mila yang sedang duduk di ujung kantin bersama teman-temannya. Gadis itu masih memakai jerseynya yang basah karena keringat.

"Kurasa, saat itu Namra hanya tidak enak untuk menolak ajakanku."

"Bagaimana cara dia menolak perasaanmu?" tanya Naje ragu sambil memainkan kamera di tangannya dengan asal.

"Aku masih ingat. Dia bilang dia suka padaku sebagai teman... sudah ada lelaki lain yang selalu ada di hatinya," ucap Dejun kikuk. Ia terus-terusan menyisir poni tebalnya menggunakan tangan kanan, menampilkan jidat dan alis tebal yang sempurna.

Obrolan kedua lelaki itu terhenti saat tiba-tiba ada sebuah suara menyapa mereka.

"Siang, Xiao, Bumintara,"

sunyi senyap—

"Selamat untuk kak Mimi dan kelas 12C atas kelolosannya ke babak final!"

"Asyik! Selamat ya Mimi!" sorak Sunhee sambil bertepuk tangan meriah.

Mila menepuk pundak kedua temannya yang baru saja memberinya selamat sambil mengucapkan terima kasih.

"Ha-ha-ha-Hana, aku kasihan padamu. Gedung SMP dengan lapangan utama kan jaraknya cukup jauh," gurau Mila kepada tetangganya yang masih duduk di bangku SMP itu.

Gadis itu memikirkan nasib para murid SMP yang harus berjalan cukup jauh ke lapangan utama karena adanya acara classmeeting.

Yayasan Agape merupakan yayasan elit dengan fasilitas lengkap serta pengelolaan yang jujur dan adil.

Yayasan ini berada di tanah yang sangat luas sehingga bangunan jenjang pendidikan wajib selama 12 tahun yang mencakup SD, SMP, dan SMA menyatu di dalam satu kawasan yang sama.

sunyi; senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang