16

18 1 0
                                    

detik berlalu, hari pun berganti

"Papa, jangan ngebut ya!"

"Mimi itu panggilan hanya untuk orang terdekatku,"
"Hanya untuk orang terdekat, ya..."

Cup!
"Nana jahat! Nana jelek! Pergi!"

"Mama kenapa nangis?"
"Papa... papa dimana..."

"Papa kenapa?"

"Aku... dimana?"

sunyi senyap—

Namra Somila menangis tertahan. Kepalanya dilanda pening yang sangat dahsyat. Ia membungkuk, mengerang kecil.

"Mimi? Mimi kenapa hm?" tanya Naje panik karena setelah Mila menjerit, gadis itu tiba-tiba saja menangis.

Lelaki itu membelokkan mobil ke rest area dengan cepat. Ia khawatir Mila kesakitan atau semacamnya.

Setelah mobil berhenti total, Naje benar-benar panik karena Mila menangis. Ia menunggu dalam diam hingga tangis Mila berhenti.

"Na-Nana..." panggil Mila lirih. Ia mengambil sapu tangan yang disodorkan Naje untuk mengelap air mata dan ingus gadis itu.

Gadis itu menatap Naje dengan mata dan hidungnya yang sembap dan merah. Naje masih diam, menunggu gadis itu mengucapkan sesuatu.

"Na... aku, aku ingat semuanya..." lirih gadis itu. Naje membelalak tidak percaya. Tenggorokannya tercekat.

"Ingat? Mimi ingat?" tanya Naje linglung. Mila mengangguk lemah.

Keringat dingin bercucuran dari dahi dan punggung Mila. Kepalanya masih pening. Gadis itu mulai menangis lagi, karena banyaknya ingatan yang sedikit demi sedikit muncul seperti pasukan kelelawar yang terbang memenuhi otaknya.

"Kita turun dulu, yuk? Ke kafe itu... nunggu Mimi berhenti nangis. Mau, hm?"

Setelah Mila mengangguk, Naje segera turun dari mobil lantas menuntun Mila menuju kafe di tepat di depan mobilnya parkir. Mereka memasuki kafe, segera duduk di sepasang kursi yang agak terpencil  dan tidak terlihat dari luar.

Seorang pelayan mengampiri mereka berdua. Naje memesan minuman dengan cepat, mengisyaratkan agar mereka berdua sedang tidak ingin diganggu.

Lelaki itu menggenggam lembut tangan kiri Mila yang terasa dingin dan berkeringat. Jas hitam miliknya masih setia menyelimuti tubuh gadis itu.

Tangis Mila sudah sedikit mereda. Hanya saja isakan-isakan kecil masih keluar dari mulutnya.

"Besok, besok—"

"Besok kenapa, Mi?" tanya Naje lembut. Mila terisak, dadanya naik turun tidak beraturan.

"Mulai besok, aku tidak akan bertemu denganmu lagi," lirih gadis itu. Jantung Naje berdebar cepat, panik. Lelaki itu tidak mengerti hal apa yang Mila ucapkan.

Tanpa sadar, ia mengeratkan genggamannya pada tangan Mila. Membuat gadis itu tersadar kalau tangan gemuknya berada di dalam tangan kekar milik lelaki itu.

"...saat sekolah dasar, apa... apakah kita teman dekat?" tanya Mila pelan. Bibirnya bergetar karena habis menangis. Gadis itu tidak yakin apakah riasan wajahnya sudah hilang atau belum.

Mata besar Naje membelalak. Ingatan Mila, apakah sudah kembali?

"Mila ingat?" serunya histeris.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya gugup, kemudian mengangguk pelan.

Terisi oleh euphoria yang sangat besar, Naje bangkit dari kursinya, memeluk Mila dengan sangat erat. Ia bisa merasakan debaran jantung Mila yang menghantam dadanya.

sunyi; senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang