15

9 0 0
                                    

hampir seorang diri di hari wisuda

Sebulan berlalu semenjak pertemuan terakhir Mila dan Naje yang sangat buruk. Pupus sudah seluruh angan Mila. Sebenarnya, sejak awal memang perasaannya tidak akan terbalas. Mila tahu itu.

Gadis berambut sebahu itu menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Ia bertanya-tanya setiap hari kapan kira-kira Naje akan mengiriminya pesan seperti saat-saat menuju lomba memasak beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya, akankah itu terjadi? Seberapa besar peluangnya? Mila tidak yakin.

Mengirimi Naje pesan duluan pun, Mila tidak berani. Terlalu banyak pikiran buruk kalau Naje tidak akan membalas pesannya. Lagipula, pasti lelaki itu sudah berhubungan dengan banyak perempuan cantik. Contohnya saja Hina, Herin, Sunhee...

Namra Somila mengerang. Detik-detik menuju wisuda kelulusannya berlangsung dengan sangat buruk. Bahkan Sunhee tidak menghubunginya sama sekali. Ikhsan sedang pergi ke luar negeri. Yang rajin mengiriminya pesan malah si bocah kecil keturunan Jepang, Nakamoto Hana. Tidak cukup untuk membuat rasa kesepiannya hilang.

Merasa tidak bisa melakukan apapun lagi, gadis itu memutuskan untuk pergi tidur. Besok ia harus bangun pagi untuk pergi wisuda.

sunyi senyap—

Sudah sebulan, dan kini Mila bertemu Naje, secara tidak langsung. Tepatnya di wisuda kelulusannya. Tanpa Ikhsan—lelaki itu sedang ke luar negeri—juga tanpa kehadiran Mama. Dunia Mila rasanya benar-benar hampa dan sepi.

Meski demikian, Mila merasa sangat beruntung karena ada Mami, ibu Ikhsan. Wanita baik hati itu mau repot-repot mendandaninya hingga cantik seperti saat ini. Kemudian Mami jugalah yang melepasnya berangkat ke gedung wisuda menaiki taksi. Mami berulang kali meminta maaf karena tidak bisa menemaninya. Perlakuan itu membuat hati kecil Mila tersentuh.

Mila melamun, memandang orang-orang yang datang dengan menggunakan jas dan kebaya terbaik mereka, dan juga orang tua mereka.

Gadis itu sedari tadi diam, duduk di kursi paling belakang, dengan kedua sisi kursi yang kosong karena seuruh teman sekelasnya sudah menempati kursi-kursi di depan.

Acara berlangsung membosankan. Biasa saja, seperti saat dulu wisuda kelulusan sekolah menengah pertama. Tidak ada yang berbeda.

Pandangan Mila menatap kelima murid berprestasi dengan nilai ujian tertinggi yang berjajar di atas panggung untuk menerima penghargaan. Seperti biasa, Mila sudah tahu. Pasti ada Juan, Aurie, Reyhan, Darrel, dan juga... Naje.

Gadis itu mengembuskan napas lelah. Kapan acara ini akan berakhir? Ia ingin segera pulang ke rumah.

"Selanjutnya ada apa, ya? Ayo, adakah yang bisa menebak?"

Mila menatap master of ceremony dengan pandangan malas. Tidak berminat sama sekali.

Kemudian matanya melebar ketika Naje Bumintara menaiki panggung dengan sebuah biola cokelat di tangannya.

Lelaki itu terlihat bagus dalam setelan yang digunakan. Mila membuang pandangannya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memandangi lelaki itu.

"Kita berikan tepuk tangan yang meriah untuk penampilan penutup dari... Na je Bu min ta ra!"

Ruangan penuh dengan sorak sorai dan riuh rendah. Sedetik kemudian, melodi indah mengalun mengisi seluruh ruang acara.

Laskar pelangi
Tak 'kan terikat waktu

Mila mengangkat wajahnya. Gadis itu terpana pada Naje yang sangat terfokus dengan permainan biolanya.

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga

sunyi; senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang