tugas dari Naje
Hari Senin, rutinitas berlangsung seperti biasa. Satu-satunya yang berubah dalam hidup Mila adalah, kehadiran Naje yang terasa semakin intens, membuat gadis itu harus berusaha lebih keras untuk memadamkan rasa sukanya pada lelaki manis itu.
Seusai upacara bendera, para murid SMA Agape membubarkan diri ke kelas masing-masing. Pelajaran pertama akan segera dimulai. Dan untuk kelas 12, itu berarti pengambilan nilai di semua mata pelajaran untuk kepentingan menuju perkuliahan akan berlangsung. Masa kuliah sudah semakin di depan mata.
Mila dan Sunhee sedang berjalan lemah lunglai saat seseorang memanggil Mila. Sunhee membelalak saat Naje Bumintara berlari kecil menghampiri mereka berdua.
"Hai Naje!" sapa Sunhee pada lelaki jangkung itu. Naje mengangguk singkat, lalu tatapannya beralih pada gadis berkucir kuda yang sedang melepas topi upacaranya karena gerah.
Mila memberi tatapan bertanya pada Naje, kemudian, lelaki itu itu memberi isyarat pada gadis itu untuk mengikutinya.
"Sebentar ya," pinta Mila pada Sunhee untuk menunggu. Ia menghampiri Naje yang sedang berdiri di bawah pohon rindang, tidak jauh dari situ.
Mila sudah berdiri gugup di hadapan Naje, menunggu lelaki itu berbicara.
Alih-alih mengeluarkan sepatah kata apapun, seorang Naje Bumintara malah mengeluarkan selembar plester luka dari saku kemeja seragamnya. Plester itu bermotif merah muda, warna yang sungguh Mila benci.
"Untuk apa?" tanya Mila gusar. Lelaki itu selalu tidak pernah banyak bicara, membuat Mila sangat bingung.
"Jari telunjuk kiri Mila," jawab Naje singkat seperti tanpa beban. Tangannya masih setia menyodorkan plester itu.
"Tidak perlu! Hanya luka kecil biasa.Tidak usah berlebihan, sungguh. Sekarang pun lukanya sudah kering," cerocos Mila kesal. Apa lelaki ini sedang mengejeknya? Mila benar-benar benci mengingat ketidakbecusannya tempo hari. Benci dan malu.
Naje menurunkan uluran tangannya yang tidak diacuhkan Mila, lebih tepatnya ditolak mentah-mentah. Ia mengulum senyumnya mati-matian, karena Mila yang sedang kesal terlihat sangat imut di matanya.
"Mana lihat," tantang lelaki itu berniat menggoda gadis imut di depannya.
Mila menunjukkan tangan kiri yang sedari tadi berada di sisi tubuhnya dengan tergesa-gesa. Naje sedikit menunduk, memerhatikan tangan Mila dengan seksama. Luka sayat yang cukup dalam itu memang sudah sedikit mengering.
Naje sedikit mencuri pandang pada Mila yang sedang memalingkan wajahnya, lalu lelaki itu berdeham. Namra Somila nyatanya adalah gadis yang sangat polos.
Naje menyimpan kembali plesternya ke dalam saku sesaat setelah Mila menyembunyikan tangan ke belakang tubuhnya yang cukup berisi.
"Jumat minggu ini, Naje ada kontes fotografi di luar kota. Jadi kita tidak bisa latihan masak lagi. Mila harus latihan sendiri, buatkan Naje bekal nasi goreng."
Mila terbelalak. Ia ingin mengumpat, tapi tertahan. Setelah berbagai pikiran jelek melayang-layang di otaknya, gadis itu pun menghela napas putus asa.
"Uh..." keluhnya pelan. Naje tersenyum kecil.
"Dan tidak boleh lihat buku resep. Supaya hafal," imbuh Naje membuat Mila mengernyit, membuat wajahnya terlihat lucu.
"Hah...?" Mila menelan ludah susah payah.
"Salah sendiri, kemarin Mila tidak makan nasi gorengnya," goda Naje. Gadis dihadapannya menggaruk rambutnya frustasi.
"Ikhsan juga kan?" tanya Mila tertahan. Naje mengangkat alisnya.
"Ikhsan juga disuruh seperti ini?" ulang gadis itu, menuntut respon lelaki di hadapannya.
"...bukannya Ikhsan mau pergi ke tempat siaran radio?"
Mila tersenyum terpaksa, "Lupa... hehe," ucapnya kesal.
"Jadi aku memasak untuk bekal kalian berdua?" gumam gadis itu seperti dihantam cobaan yang sangat berat.
"Kalau Ikhsan meminta, ya sudah. Mungkin Mila lebih suka memasak untuk dua porsi? Mungkin juga Ikhsan bisa menilai rasa lebih baik dari Naje, tidak hanya memakannya dengan rakus," sindir Naje telak membuat Mila tersadar kalau lelaki itu tidak membolehkannya memasak untuk Ikhsan. Lagipula, lebih mudah untuknya kalau hanya memasak untuk satu porsi.
"Ingat syaratnya. Tidak baca buku resep. Awas kalau bohong."
Mila mengangguk patah-patah, merasa terpaksa.
"Coba ulangi ucapanku." Rupanya Naje belum puas.
"Memasak bekal nasi goreng Naje tidak boleh lihat buku resep," ulang Mila pelan.
Naje mengangguk senang. Ia ingin sekali mengusap rambut sebahu milik gadis di hadapannya, tapi lelaki manis itu tahu batas. Mereka berdua pun akhirnya berjalan bersama menuju kelas masing-masing.
—sunyi senyap—
"Selamat sore Naje!"
Naje melangkah sedikit lunglai ke dalam rumah, tersenyum kecil pada seorang perempuan yang menyapanya.
"Hai Bang Dewa," ucap Naje sambil berlalu ke kamarnya untuk menaruh tas sekolah.
"Abangnya sendiri tidak disapa," celetuk Toya Bumantara seraya memindahkan bidak di atas sebuah papan besar. Ternyata ketiga orang dewasa itu sedang bermain monopoli.
Naje keluar dari kamarnya, menghampiri Toya, Dewa, dan kekasih Dewa—perempuan yang tadi menyapanya—Binjai.
Lelaki yang lahir pada bulan Agustus itu mengambil tempat di antara mereka yang sedang asyik bermain.
"Sudah pulang kuliah Bang, Kak?" tanya Naje kepada Dewa dan Binjai yang sama-sama mahasiswa di jurusan psikologi.
Dewa menggeleng, sedikit menghiraukan pertanyaan Naje. Lelaki sipit itu asyik membalap bidak milik Toya yang tertinggal di belakang bidak miliknya.
Kekasih Dewa, Binjai Bulanbiru mengubah posisi duduknya menghadap Naje.
"Dosen kami terlambat, jadi kami memilih menunggu disini. Maaf ya Naje, aku dan Dewa sering sekali menganggu kalian. Habisnya, rumah kalian dekat dengan kampus kami," jelas perempuan berambut panjang itu sambil tersenyum lembut.
"O... tidak masalah, Kak Binjai."
"Orang tua kalian masih dinas, ya?" tanya Binjai seraya mengocok dadu, mendapat giliran main.
"Iya, masih sebulan lagi."
Binjai ingin menjalankan bidaknya namun Dewa menepis tangannya. Perempuan itu tertawa, lalu kembali mengajak Naje mengobrol.
"Untungnya kamu sudah besar, ada Toya juga, jadi sudah bisa ditinggal, ya."
Naje mengangguk pelan.
"Naje sudah besar, Binjai. Tidak perlu seperti dulu saat kami sekeluarga harus pindah ke Pennsylvania." Toya menyomot kacang polong dari toples lalu melemparnya ke dalam mulut.
Perempuan itu melirik Toya lalu mengangguk, "Aku sedang mengajak Naje bicara, bukan kau!" ucapnya bergurau.
"Kukira kau mengalami retrograde amnesia, karena lupa kalau mereka pernah pindah ke Amerika," celetuk Dewa sembari menyikut Binjai, menyuruh perempuan itu mengambil kartu kesempatan.
"Jaga bicaramu," omel perempuan cantik itu pada kekasihnya.
Dada Naje Bumintara terasa sesak saat mendengar rentetan kata asing yang keluar dari mulut Dewa. Dua kata yang mengandung banyak makna untuknya.
Retrograde Amnesia.
Menyakitkan. Sangat menyakitkan disaat seorang gadis lugu seperti Namra Somila harus mengalaminya.
Dan juga menyedihkan, sangat menyedihkan, karena Naje harus mengingat semua momen sederhana yang terus terputar di relung pikirannya seperti sebuah kaset lama, sendirian. Benar-benar mengingatnya sendirian, dan ia tahu, gadis itu tidak akan pernah ingat tentang kehadiran Naje di masa lalunya.
—sunyi senyap—
21.21 WIB
2708
pifaoreefa
KAMU SEDANG MEMBACA
sunyi; senyap.
General Fiction엔시티 세리즈 © pifaoreefa 2018 WARNING: [15+] [ON GOING] Diperbarui setiap hari KAMIS Mila tidak pernah mengetahui bahwa Naje Bumintara, lelaki yang memiliki senyum sehangat mentari pagi itu adalah bagian dari masa lalunya. Selama ini, gadis itu setia me...