5

125 22 31
                                    

sebuah pesan dari Naje

"Untuk merayakan kelulusan anak kesayangan papa, hari ini ayo kita beli es krim kesukaanmu!"

Mila melompat-lompat girang. Jepit rambut merah muda berbentuk bintangnya melorot dan rambutnya pun berantakan. Sang ayah tersenyum melihat tingkah anak semata wayangnya itu.

"Asyik sekali, Pa! Sabar ya Mimi sayang... kita liburan ke Bali minggu depan, menunggu jadwal libur Papa," jelas wanita cantik yang sedari tadi duduk di antara bapak dan anak itu. Tidak lain dan tidak bukan, wanita itu adalah sang ibu.

Sore hari yang teduh dengan angin sepoi-sepoi, Mila dan sang ayah pergi menaiki motor bebek sederhana menuju kedai es krim kesukaan Mila yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer.

Hari ini adalah yang biasa saja setelah kemarin adalah wisuda kelulusan sang anak dari sekolah dasarnya. Namun, Mila tetap senang dan gembira. Perempuan kecil berpipi merah itu bersenandung riang sepanjang perjalanan. Tangannya setia mencengkeram jaket abu-abu lusuh yang digunakan sang ayah.

Perjalanan ini akan berlangsung sebentar, kan? Hanya membeli es krim yang banyak, lalu pulang. Mila jadi tidak sabar.

"Papa, jangan ngebut ya!" pesannya riang pada sang ayah yang membalasnya dengan senyuman. Rambut pendeknya yang terurai, melayang-layang ditiup angin. Untunglah, jepit rambutnya bertahan dengan kuat.

Namun, keadaan bisa berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam satu kedipan mata.

Suara klakson sebuah mobil baja memekakkan telinga. Mila berteriak sangat kencang saat suara berdebum yang sangat keras terdengar.

Pandangan Mila buram saat tubuhnya terlempar jauh lalu kepalanya mendarat dengan keras. Kemudian, semuanya gelap.

sunyi senyap—

Namra Somila terduduk di atas kasurnya yang empuk. Kepalanya pusing dan ia tidak bisa mengingat apapun. Sepertinya mimpi buruk baru saja menghantuinya.

Gadis itu menatap jam dindingnya yang berwarna gelap. Jarum pendek menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Ma...?" panggilnya lemah. Tidak mungkin ibunya mendengar panggilan itu, karena kamar Mila berada di lantai atas.

Mila menurunkan kedua kakinya ke karpet. Tubuhnya terasa sangat panas dan udara terasa sangat dingin. Ia mengaduh, memejamkan matanya kuat, berusaha menghilangkan rasa pusing yang menghadang.

"Mimi, bangun Nak! Nanti kau telat ke sekolah," panggil sang ibu dari bawah.

Mila berusaha menjawab, tapi lidahnya kelu. Ia merasa sangat tidak bertenaga. Sesaat kemudian, terdengar langkah kaki menaiki tangga menuju kamarnya.

"Mi?" sang ibu yang sudah mengenakan pakaian rapi, mendekatinya lalu menempelkan telapak tangannya ke dahi dan pipi Mila.

"Duh, Mi. Kecapaian ini, kemarin tanding langsung final. Hari ini tidak usah sekolah. Badanmu panas. Mama akan telepon Mami," omel wanita itu.

"Kau tidak lupa minum obat, kan?"

Mila mengehela napas lemah. Kemana perginya tulang-tulang yang seharusnya menyangga tubuhnya?

"Tidak usah kasih tahu Mami... aku minta tolong absen ke wali kelas saja, Ma," tolak Mila halus. Gadis itu tidak mau merepotkan tetangga depan rumahnya, terlebih kalau itu adalah ibunya Ikhsan.

"Tapi hari ini Mama pulang malam, Nak. Tidak bisa cuti," ucap Mama khawatir pada anak semata wayangnya. Pekerjaannya sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit di tambah klinik pribadi, membuat jam kerjanya bertambah.

sunyi; senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang