9

70 14 10
                                    

perihnya hati lebih nyeri dari perihnya jari

Mila dan Naje sampai di rumah gedongan milik keluarga Ikhsan tepat pukul tiga sore. Lelaki berkacamata bulat itu menyambut mereka dengan memakai sebuah kaus santai dan celana berkolor sepanjang lutut.

Enam tahun yang lalu, Ikhsan dan keluarganya datang ke perumahan elit ini. Ibunya yang kerap dipanggil Mami dan juga ayahnya sangat baik dan ramah.

Meski tetangga baru, keluarga Ikhsan langsung akrab dengan Mila dan ibunya. Mereka bahkan turut membantu saat Mila dirawat lama di rumah sakit dan juga saat Mama terpuruk karena kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Namun, dahulu Ikhsan merupakan anak yang sangat pendiam. Yang dilakukannya hanyalah membaca novel dan terus saja membaca novel. Butuh waktu cukup lama untuknya bisa akrab dengan Mila. Dan Mila sering merasa kesal karena perilaku lelaki itu yang ternyata sangat menyebalkan.

"Mami mana Chan?" tanya Mila saat mendapati lelaki itu hanya sendiri di rumah.

"Biasa, hari Jumat arisan," jawab Ikhsan santai seraya mempersilakan Naje dan Mila masuk ke dalam.

Mila berjalan mendahului Naje ke ruang makan. Gadis itu sudah sangat terbiasa bermain ke rumah ini. Ia menaruh plastik es krim di atas meja makan.

"Chan, itu ada es krim dari Naje." Mila membuka bungkus es krim miliknya lalu melahapnya, mengabaikan dua gelas air putih yang sudah disediakan Ikhsan dengan susah payah dan penuh niat.

"Kalian kesini bareng?" tanya Ikhsan curiga karena Mila masih membawa tas sekolahnya.

Naje mengangguk sambil meminum air putih yang disuguhkan Ikhsan sampai tandas. Ikhsan melirik Mila diam-diam, menggoda gadis itu. Mila memelototinya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hati gadis itu berbunga-bunga.

"Ayo langsung mulai," ajak Naje seraya membawa plastik besar berisi segala bahan yang diperlukan. Ikhsan berjalan menunjukkan dapurnya. Mila membuntuti sambil memakan es krimnya yang belum habis.

"Pakai ini, ya," titah Naje sembari memberi dua buah celemek kepada Ikhsan dan Mila. Lelaki itu memakai sebuah celemek untuknya sendiri dengan cekatan.

"Mila, kau bertugas menyiapkan bahan yang diperlukan. Ikhsan, urus peralatan. Dan aku yang memasak."

"Apa hal pertama yang bisa kulakukan...?" tanya Mila ragu. Ia menggosok-gosokkan tangannya pelan ke celemek.

Naje memberikan beberapa lembar daun bawang yang sudah dicuci, "Coba kau iris ini, dan Ikhsan, tolong ambil semua alat yang sudah kutulis disini."

Lelaki berkacamata bulat itu menerima selembar kertas dari Naje, lalu bergegas mengitari dapur untuk mengumpulkan semua perabot memasak.

Di sisi lain, Mila sangat fokus pada pekerjaannya. Ia mengambil pisau dan talenan, lalu mengiris daun bawang dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia bertekad dalam hati untuk menjadi manusia yang berguna, setidaknya kali ini.

Gadis itu terperanjat pelan tanpa suara saat pisau kecil nan tajam itu mengiris jari telunjuk kirinya dengan kuat hingga menimbulkan suara daging teriris yang cukup membuat ngilu.

Ia menaruh pisau dengan pelan lalu berjalan panik menuju wastafel saat dahinya membentur pelan dada Naje yang ternyata sedang memerhatikannya.

Belum sempat Mila menengadah, lelaki itu segera meraih pergelangan tangan Mila lalu menuntun gadis itu dengan cepat. Naje menyalakan keran air dengan intensitas air sedang, lalu mencuci jari telunjuk Mila yang terus menerus mengeluarkan darah merah segar.

sunyi; senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang