janji

1.5K 305 73
                                    

"Aduh, ayo silakan masuk! Maaf ya, rumahnya emang gak besar. Mari mari masuk!" Ibu Wiguna dengan heboh menggiring kami ke dalam rumah. "Udah pada makan? Pasti capek perjalanan jauh pake motor. Umi beliin bakso mau?"

"Engga Umi, gak usah. Kita cuma mau ketemu Wiguna aja, gak usah repot repot." Tolak Suzy.

Ibu Wiguna terlihat berkaca kaca. "Makasih loh nak, kalian semua udah mau datang kemari. Maaf juga Umi gak ngasih kabar apapun belakangan ini. Belakangan ini keadaannya lagi... cukup sulit."

Kami semua terdiam, saling menahan tangis. Pasti berat untuk keluarga Wiguna.

"Haaah," Ibu Wiguna mengusap air matanya. "Umi kasih tau abang dulu ya kalo temennya udah datang. Duduk aja dulu semuanya."

Kami pun duduk berdesakan di ruang tengah rumah Wiguna. Gue mengedarkan pandangan pada foto foto yang terpajang sambil bertanya tanya bagaimana keadaan Wiguna sekarang.

"Psst, guys." Suzy memanggil kami semua. "Catet di otak masing masing nih: keadaan Wiguna pasti udah jauh lebih buruk, lo semua jangan pernah ada yang nangis depan dia, oke? Kalo lo semua mau nangis, buru buru lah keluar kamarnya."

Kami semua mengangguk, kecuali Jackson yang duduk di samping gue.

"Jack, gapapa lo?" Tanya gue.

"Gue takut bakalan shock. Gak tau deh apa gue bisa masuk atau engga." Balasnya.

"Jangan gitu dong, Wiguna pasti ngarep buat ketemu kita semua. Kuatin diri lo, hm?" Padahal sebenarnya, gue itu sedang menguatkan diri sendiri.

"Nak, itu silakan yang mau masuk duluan siapa? Paling muat empat orang, jadi gantian ya?" Ucap Ibu Wiguna.

Suzy, Chacha, Jaevan, dan Junior masuk terlebih dulu. Ibu Wiguna lalu duduk di antara kami dan membuka obrolan.

"Abang... udah makin parah." Ujar Ibu Wiguna. "Pengobatan yang dijalani juga udah gak memberikan kemajuan, cuma memperlambat penyebaran penyakitnya. Jadi abang makin hari makin lemah, kemarin sempet drop juga makanya Umi gak bisa ngabarin kalian."

Gue merasakan darah karena menggigit bagian dalam bibir terlalu keras. Gue menunduk, airmata gue pun tidak mau diajak bekerja sama.

"Yang kuat." Krystal meraih tangan gue. "Lo gak bisa ketemu Wiguna kalo lo kayak gini."

Gue menatap Krystal yang tersenyum menenangkan. Krystal lalu mengeluarkan tisu dari tasnya untuk menghapus airmata gue.

"Gue, tau gimana perasaan lo ke Wiguna." Gue menatapnya kaget. "Makanya lo harus kuat. Jangan nangis karena lo harus ketemu dia. Oke?"

Akhirnya giliran gue untuk masuk menemui Wiguna. Gue berjalan masuk bersama Krystal, Kaisar, dan Jackson. Begitu kami masuk, kami berempat sama sama kaget. Tidak ada Wiguna yang sok ganteng, tidak ada Wiguna yang selalu tersenyum tiga jari, bahkan gue tidak mau percaya yang ada di hadapan gue itu Wiguna.

Wiguna hanya terbaring di kasurnya. Badannya yang dulu sudah kurus sekarang benar benar tinggal kulit dan tulang, wajahnya benar benar pucat dan sorot matanya yang kelelahan. Jangan lupakan lengan kirinya yang membesar tidak normal karena penyakitnya.

Krystal menggenggam tangan gue dan menarik gue maju. "Halo, Gun. Kita dateng nih. Inget kita kan?"

Wiguna tersenyum lemah. "Gue kena kanker, Krys, bukan demensia. Tentu aja gue inget kalian, apalagi yang lo tarik."

"Apa... kabar?" Tanya gue sambil bergetar.

"Rasanya mau mati." Wiguna menjawab santai.

"J-jangan ngomong gitu, bangsat." Jackson nyaris menangis. "B-belum juga lulus kuliah lo."

Memento [Wonpil] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang