pesantren

4.6K 728 155
                                    

"Jadi, asal sekolah lo dari mana?" Tanya Wiguna saat kami menunggu makanan kami diantarkan ke meja.

Entah kenapa kami makan siang hanya berdua, padahal kami tadi berjalan bersama 4 orang lainnya.

Gue lalu menyebutkan salah satu SMA favorit di kota.

"Serius? Pinter dong?" Tanyanya lagi sambil tersenyum senyum.

"Mana ada." Gue mengibaskan tangan. "Kalo disuruh ngitung tuh gue paling bego."

"Tapi kan lo masuknya teknik? Bakalan ngitung terus lah?"

"Ya iya." Gue tertawa. "Bingungin banget ya gue?"

"Ngebingungin sama ngaco tuh beda tipis, lo lebih ke ngaco kayaknya."

Gue tertawa lagi. "Eh terus, lo dari luar kota kan? Dari SMA mana?"

"Ah gak usah tau. Malu gue."

"Idih kenapa deh?"

"Kalo gue bilang gue anak pesantren gimana?"

Gue menatapnya sambil sedikit mencemooh. "Halah bohong."

"Serius, gue dari islamic boarding school gitu. Bahasa Indonesianya apa berarti? Pesantren kan?"

"Masa sih? Becanda ya?"

"Ngapain gue becanda soal ini sih?" Dia mengeluarkan ponselnya. "Nih, ini sekolah gue waktu kelulusan kemaren."

Islamic boarding school benar benar tersemat di samping nama sekolahnya, guys. Tapi masa iya sih? Gue masih tidak percaya. Yang gue tahu anak anak pesantren itu biasanya punya aura orang suci, terlihat innocent, tapi Wiguna itu...

Yang salah itu bayangan gue soal anak pesantren, atau dia saja yang memang tidak terlihat seperti anak pesantren?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang salah itu bayangan gue soal anak pesantren, atau dia saja yang memang tidak terlihat seperti anak pesantren?

Oke, nevermind.

"Neng, kang, ini pesenannya." Itu abang penjual soto madura yang menyela obrolan kami.

"Oh makasih bang." Wiguna dengan semangat langsung menyendok kuah sotonya.

"Heh, berdoa dulu kali." Gue mengingatkan.

"Oh iya lupa."

"Halah, katanya anak pesantren. Abal abal dasar."

"Ya gue khilaf, maklum lapar." Kami pun hening sejenak, mengucapkan doa dalam diam. "Yah, selamat makan ya La."

"Iya selamat ma—"

"ADUH ANJIR PANAS BANGSAT!" Umpat Wiguna setelah menyuapkan satu sendok soto yang masih panas ke mulutnya.

"—kan."

"Aduh anjir ah lidah gue mati rasa, fak banget anjir..."

Gue tertawa singkat. "Gila ya, emang anak pesantren abal abal kayaknya."

Gue kira Wiguna akan membantah lagi, tapi Wiguna ternyata malah ikut tertawa.

"Yah iyalah gue akuin, gue dulu suka kabur dari asrama. Karena sekolah gue plus asramanya masih di tengah kota, gue jadi sering ngelayap main ke mall."

"Oh pantesan. Abal abal beneran ternyata."

"Ya maap." Kami tertawa lagi. "Udalah La, mending makan. Keburu dingin ini."

"Iya makan, tapi tiupin dulu biar lo gak ngumpat lagi."

"Hahaha, iya iya."

Memento [Wonpil] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang