holiyay

1.3K 314 37
                                    

"Nah itu si Nabila tuh! Naaab! Sini Nab!" Selvia dan Wendy melambaikan tangan dengan heboh pada gue.

Gue meringis. "Sorry nih, gue kira acara BEM gak sampe malem. Taunya."

"Gapapa ish, kita emang rencana berangkat jam 10 kan?" Wendy tersenyum sambil menyodorkan tas gue yang gue titipkan pagi ini di kostan-nya.

"Bisnya mana?" Tanya gue sambil celingukan.

"Lo jangan kaget ya." Selvia tersenyum masam. "Itu tuh."

"Hah sumpah?" Gue tertawa melihat bis yang ternyata bis milik pemerintah kabupaten. "Pantesan kita bayarnya minim banget buat transport."

"Tau gak yang lebih edan apaan?" Wendy menghela napas. "Gak. Ada. AC-nya."

Gue hanya bisa terbengong. Oke kalau malam sih mungkin tidak terlalu terasa, tapi ketika matahari mulai muncul dan kami sampai di daerah pantai nanti bagaimana? Mungkin jadinya bukan bis lagi tapi oven berjalan.

"Hei," Suzy menghampiri kami bertiga. "Ayo yuk masuk, bentar lagi berangkat. Tapi jangan duduk sama cowok loh ya, peraturan bis pokoknya."

"Zy! Masa gue gak duduk sama ayang gue?" Protes Kaisar sambil cemberut.

"Justru ini peraturan ada gara gara elu ya, gue gak mau Kyrstal diapa apain sama lu di jalan!" Balas Suzy galak. "Ayuk eh, kalian bertiga kok malah diem?"

"Eh iya, lo mau duduk sama siapa?" Tanya Wendy pada gue saat kami berjalan ke bis.

"Gue mah sama siapa aja oke."






























"Gue duduk sini gapapa?" Tanya Chacha.

Gue tersenyum. "Ya gapapa dong."

"Hehe makasih." Chacha balas tersenyum.

Duh.

Gue memang tidak masalah duduk dengan siapapun, tapi masalahnya gue dan Chacha hampir tidak pernah berinteraksi meskipun kami satu kelas. Akhirnya sih, karena canggung kami jadi sibuk sendiri.

Satu jam awal perjalanan kami, seisi bis masih ribut mengobrol, bahkan anak anak cowok membuat mini konser di seat belakang. Tapi jam selanjutnya, keadaan bis hampir senyap, semuanya tumbang karena memang sudah tengah malam.

Gue juga mengantuk, tapi gue tidak bisa tidur. Karena tidak adanya AC, beberapa jendela bis dibuka. Jendela di seberang kiri gue dibuka lebar lebar, alhasil saat bis memasuki jalan tol seperti ini, anginnya bertiup kencang tepat ke arah gue.

Inginnya sih gue berjalan dan menutup sendiri jendela itu, tapi kalau begitu gue harus membangunkan Chacha agar gue bisa keluar. Gue merasa tidak enak, tapi gue kedinginan. Apa gue bangunkan Chacha saja ya?

"Jangan." Gue kaget tiba tiba Wiguna muncul dari belakang. "Gue aja yang tutup."

Dia siluman ya? Kok bisa tahu apa yang gue pikirkan?

"Makasih. Kirain udah tidur semua." Gue tersenyum.

"Mau tidur tapi gue liat lo gerak gerak mulu. Dingin ya?"

"Ho-oh." Gue lalu menyeringai. "Eh Gun, ambilin jaket gue di tas dong? Tasnya di rak atas sini. Mau ngambil sendiri tapi harus bangunin Chacha, gak enak."

"Tas lo ketumpuk, jatoh ntar berabe kena si Chacha. Pake yang gue aja nih."

"Eh tapi—" Wiguna keburu melepas jaketnya.

"Gue duduk di seat paling belakang kok, diapit dua orang jadi gak butuh jaket. Lagian nyampe sana mah panas. Ambil lah."

"Eee, ya makasih deh."

"Oh iya, di sakunya ada tolak angin sama antimo. Kalo butuh ya dimakan aja."

"Sip." Gue mengacungkan jempol.

Wiguna tersenyum. "Yaudah tidur lo. Berdoa dulu jangan lupa."

Memento [Wonpil] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang