DUA BELAS

79 17 0
                                    

KRYSTAL cemas. Cewek itu tahu Kai sudah melewati sidangnya yang pertama, namun ia tidak bisa datang karena harus sekolah. Dan sekarang Krystal tidak tahu harus bertanya siapa tentang hasil sidang Kai karena surat kabar tidak memberitahukannya.

Terdengar ketukan pelan di pintu. Kemudian kepala Bi Ima melongok. Krystal yang sedang duduk di depan meja belajarnya mendongak.

“Ada apa, Bi?” Tanyanya heran.

Biasanya Bi Ima mendatangi kamar Krystal untuk memberitahukan waktunya makan, membangunkan kalau ia kesiangan, atau memberitahukan berita penting yang mendesak, seperti kalau tiba-tiba kedatangan tamu. Tapi itu pun sangat amat jarang, karena tamu Krystal biasanya Luna dan Amber yang akan langsung menerobos masuk ke kamar tanpa perlu diantar Bi Ima.

Sekarang masih jam empat sore, belum waktunya makan. Rasanya nyaris mustahil Bi Ima mulai ketularan adat Inggris yang menjadwalkan tea-time setiap sore, jadi Krystal menepis alasan pertama Bi Ima datang ke kamarnya. Alasan kedua juga mustahil. Kalaupun Krystal ketiduran sepulang sekolah, Bi Ima malah akan kegirangan karena ia sejenis orang yang percaya bahwa tidur siang dapat menjaga kesehatan jantung. Berarti Bi Ima datang karena kemungkinan terakhir. Berita yang penting dan mendesak, mungkin juga gawat, kalau melihat raut wajah pembantu itu.

“Non, dipanggil Tuan dan Nyonya tuh!” Bisik Bi Ima, seolah berita yang dibawanya teramat baik. Wajahnya terlihat serius, membuat Krystal berhenti membayangkan hal-hal yang aneh lagi. Ia segera beranjak berdiri dan mengikuti Bi Ima.

“Mereka ada di rumah?” Tanya Krystal heran. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Krystal menegur ayahnya. “Dua-duanya?”

Bi Ima mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan Krystal sebaiknya menunggu apa yang dikatakan kedua orantuanya karena dia juga tidak tahu apa-apa.

Krystal mengikuti Bi Ima menuju ruang keluarga di lantai dua. Bi Ima menepuk kecil bahu Krystal dengan sentuhan menenangkan, kemudian kembali ke dapur.

Krystal membuka pintu perlahan-lahan. Entah sudah berapa lama ia tidak pernah memasuki ruangan ini. mungkin seminggu. Atau mungkin sebulan. Seingatnya selama ini Krystal hanya berkeliaran di antara dapur, ruang makan, ruang tamu, kamarnya tentu saja.

Ruang keluarga tampak sama dengan ingatan terakhir cewek itu. Di pojok tembok ada rak buku tinggi yang berisi buku-buku setebal kamus. Lantainya berhiaskan permadani kecokelatan dan TV berukuran raksasa menempel pada salah satu sisi tembok. Sinar matahari yang keemasan menerobos masuk dari jendela besar yang hanya tertutup gorden putih tipis, sedangkan gorden besarnya yang berwarna kuning gading terikat rapi masing-masing di kanan kiri jendela.

Di sisi lain ruangan berdiri meja kerja beserta kursinya dan di atas permadani tersusun sofa-sofa nyaman berwarna krem. Di sofa itulah orangtua Krystal sedang duduk diam berhadapan dengan wajah tanpa senyum. Keduanya menoleh begitu Krystal masuk.

Perasaan Krystal tidak enak. Sangat tidak enak. Apalagi ayahnya terlihat sungkan dan langsung membuang muka begitu mata mereka berpapasan. Apalagi saat mamanya menyadari ketidaknyamanan suasana si sekitar mereka dan berusaha memperbaikinya (yang malah semakin memperburuk) dengan melontarkan lelucon bahwa tangannya sampai berkeringat ketika menunggu Krystal, padahal AC di ruangan itu membuat Krystal yang baru masuk saja nyaris beku. (Tentu saja tidak ada yang tertawa, jadi mamanya langsung mendatarkan bibir lagi.) Apalagi ketika mamanya menuntun Krystal untuk duduk di sofa lain, bukan di sofa yang sama dengan tempat mamanya duduk, sehingga mereka bertiga menduduki tiga sofa yang berbeda dan berjauhan. Seolah mereka mengibaratkan diri sebagai orang-orang over-weight yang tidak akan cukup duduk bersama dalam sebuah sofa.

Mereka terlihat seperti orang bodoh. Sebuah keluarga utuh duduk berjauhan di ruang keluarga dan tidak melakukan apa pun, kecuali saling melirik dan membuang muka, kemudian menunduk sambil melipat tangan. Jemari Krystal juga berkeringat seperti mamanya. Jantungnya berdebar keras dan perasaan tidak enak mencekiknya begitu mendapati foto keluarga mereka tergeletak di lantai.

De BURON KAISTAL Vers.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang