Empat

75.6K 6.1K 147
                                    

Vania berdiri dengan kedua tangan. berpangku di atas pagar pembatas balkon. Manik matanya masih betah menekuri pemandangan taman yang ada di halaman depan rumah. Bunga warna-warni yang diletakkan dalam pot besar tumbuh subur di bawah sana. Bougenville berwarna ungu dan Alamanda kuning yang mekar sempurna itu seakan hendak memberitahunya bahwa hidup ini begitu penuh warna. Merahnya bunga Asoka, hijaunya daun palem kuning seolah turut menegaskan itu.

Senyum Vania terulas tipis. Sejak lamaran Raka dua hari lalu, hatinya terus dirundung bimbang. Sisi lain, dia bahagia seseorang yang menghuni di hatinya berniat menikahinya. Namun, saat mengingat alasan kenapa Raka menikahinya, logika gadis itu seakan mengatakan untuk menolaknya.
Bagaimana pun dia ingin dinikahi karena Raka memiliki perasaan yang sama dengannya. Bukan karena laki-laki itu tidak punya pilihan lain karena diminta menjaganya.

Jauh dari itu, dia juga merasa belum siap menikah. Membayangkan bagaimana kehidupan rumah tangga saja belum terbersit dari benaknya. Umurnya baru 18 tahun dan dia baru masuk kuliah. Dia tidak yakin bisa menjalani kehidupan rumah tangga di saat dirinya masih disibukkan dengan jadwal kuliah yang padat.

Dia tidak tahu bagaimana keputusan ibunya. Sampai hari ini, kedua orangtuanya itu belum sekalipun mengajaknya berbicara soal ini. Namun, jika menilik bagaimana protektifnya sang ibu, dia sangsi ibunya akan menyetujui pernikahan ini.

Gadis itu menghela napas. Dia melirik tanaman Daun Bahagia yang membisu di sudut kanan balkon. Daun-daun dengan variasi warna hijau tua dipenuhi bercak hijau muda itu memang ditanam di kedua sudut balkon.

Meski rumah ini tidak terletak di area pegunungan, aneka tanaman hias yang tumbuh di dalam pot itu seakan cukup menjadi penawar dari udara penuh polusi yang biasa dihirupnya. Rumah ini memang terasa menyejukkan. Di halaman belakang saja juga tumbuh aneka tanaman buahyang berbatang pendek.

Vania tidak heran jika rumah ini terasa begitu asri. Pambudi adalah lulusan dari Fakultas Pertanian. Dia juga pernah bekerja sebagai PNS di Kementerian Pertanian sebelum memutuskan resign dan pindah ke Semarang, kembali ke kampung halaman meneruskan usaha produksi susu murni yang sudah ditekuni orangtuanya sejak lama.
Tampaknya, keluarga Raka hidup dengan ekonomi yang lebih mapan. Rumah ini jauh lebih mewah—dan berkali lipat lebih besar—jika dibanding rumah mereka di Jakarta dulu.

Vania memejamkan mata, menikmati sinar mentari pagi yang menyapu hangat wajahnya. Sejenak dilepasnya segala beban yang menganggu pikiran.

Lama terpejam, kelopak matanya sontak terbuka begitu mendengar suara seseorang yang berada di balkon sisi kiri. Lantai atas rumah ini ada dua kamar yang letaknya saling bersebelahan dengan masing-masing diberi balkon. Di antara kedua balkon itu ada atap joglo yang di bawahnya merupakan serambi rumah. Tinggi dasar atap joglo tidak melebihi balkon, sehingga membuat Vania bisa menatap langsung sosok laki-laki berkaus putih lengan pendek dengan celana bahan warna hitam yang tengah mengangkat telepon.

"Baik, Akh. Ana usahakan besok bisa datang. Insya Allah, jam sebelas ana sudah sampai Solo," kata Raka seraya menoleh ke arah balkon di samping kamarnya. Kedua pasang mata itu seketika bertemu. Seakan menyadari keterpakuannya, Raka buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain.

Vania mendesah pelan. Dia tersenyum miris. "Cuman nggak sengaja natap aja buru-buru dialihin," gumam Vania getir tanpa mengalihkan pandangannya. Hatinya semakin terasa ngilu ketika melihat posisi laki-laki itu yang berbalik membelakanginya.

Suara ketukan pintu membuyarkan kebekuan Vania. Lebih baik dia bergegas pergi. Dia tidak mau berlama-lama di sini, sementara sosok di seberang itu tidak ingin menghiraukan keberadaannya. Rasanya, dia hampir tidak memercayai jika sosok itu yang melamarnya dua hari yang lalu.

“Iya, Mbak. Ini juga mau turun, kok,” jawab Vania dengan suara sedikit dikeraskan saat asisten rumah tangga itu memanggilnya kembali dari balik pintu, memintanya untuk sarapan di lantai bawah.

Vania sudah mandi sejak pukul enam pagi. Gadis itu tampak rapi dengan kemeja putih lengan pendek yang dipadu kardigan abu-abu dan celana jeans warna hitam. Usai sarapan nanti, Pambudi berniat mengajak keluarganya untuk berkeliling melihat pabrik susu murni miliknya yang berada di daerah Ungaran. Mereka juga akan diajak ke peternakan sapi perah milik para petani yang bermitra dengan pabriknya. Lalu, bertandang ke pabrik pupuk organik yang memproduksi pupuk berbahan kotoran dan urin sapi yang berasal dari sapi perah tersebut. Dan terakhir, mereka akan diajak mampir ke sentra beras organik.

Benar tebakan Vania. Ayah Raka kini tengah sukses mengembangkan bisnisnya.  Semula hanya pabrik susu murni milik orangtuanya yang telah meninggal, kemudian berkembang semakin luas lagi dengan membangun pabrik lain yang hasilnya cukup menjanjikan. Kesuksesan itu bisa diraih karena kejeliannya menangkap peluang usaha dan menjalin kerjasama dengan para petani.

Setelah mengakhiri panggilannya, Raka pelan-pelan membalikkan tubuh. Baru dia sadari—karena buru-buru mengalihkan—posisinya sepanjang menjawab telepon tadi malah semakin membelakangi Vania. Dari ujung matanya, dia memang sempat melihat gadis itu terus menatap ke arahnya.

Raka menghela napas panjang. Dia hanya memandang kosong ke arah balkon di samping kamarnya itu. Bergeming pada posisi yang sama hingga beberapa menit sebelum akhirnya ikut turun ke bawah untuk sarapan.

***

Vania sudah duduk berpangku tangan di depan meja makan. Tatapannya terus tertuju pada dua sosok wanita paruh baya yang tengah menata hidangan. Keduanya tampak asyik bercengkerama. Sesekali mereka tertawa bersama. Rupanya situasi canggung yang sempat tercipta saat makan malam dua hari yang lalu, tidak mempengaruhi hubungan mereka.

Perhatian Vania teralihkan begitu mendengar tawa renyah Setiawan dan Pambudi dari arah kebun belakang. Ruang makan ini terletak di bagian paling belakang, berdampingan dengan ruang dapur yang disekat. Pintu besar yang terbuka lebar memperlihatkan kebun yang ditanami aneka buah-buahan. Udara segar yang dihasilkan dedaunan hijau bercampur sinar hangat mentari pagi menguarkan kesejukan di ruang makan ini.

Vania menegakkan punggung begitu Raka menggeser kursi di depannya. Gadis itu langsung menunduk dalam. Dia tidak mau kejadian seperti tadi terulang lagi. Lebih baik dia yang mengalihkan pandangan lebih dulu ketimbang laki-laki itu harus membuang pandangan sampai mengubah posisinya karena tak sengaja bersirobok.

Sarapan pagi ini hanya diisi obrolan kedua orangtua Raka dan orangtua Vania. Tidak seperti makan malam sebelumnya—yang mana Vania masih terlibat dalam obrolan—kali ini, dia memilih menghabiskan sarapannya tanpa berniat menanggapi obrolan mereka, meskipun sekadar mengulas senyum atau tertawa kecil.

Lima belas menit berlalu, sarapan akhirnya selesai. Meja makan sudah dibersihkan. Namun, tak satu pun dari mereka beranjak dari tempat makan ini. Saat melirik ayahnya, dia seperti hendak mengatakan sesuatu.

Apa mungkin tentang lamaran Raka dua hari yang lalu?

Vania menggigit ujung bibirnya pelan. Menunggu dengan cemas.

"Dua malam ini, Om sama Tante sampai berdiskusi panjang membicarakan niat baikmu yang mau menikahi putri kami, Ka,” ucap Setiawan memulai obrolan di sela menyantap sarapan.

Jantung Vania mendadak berdegup kencang. Benar tebakannya. Ayahnya hendak membicarakan tentang pernikahan. Malam nanti, mereka berencana akan kembali ke Jakarta. Inilah saat yang tepat menjawab lamaran Raka dua hari yang lalu.

Tapi, mengapa mereka tidak sekali pun mengajaknya berdiskusi soal ini?

Jemari Vania bergerak-gerak gelisah. Dia berharap kedua orang tuanya tidak membuat keputusan yang gegabah.

"Setelah lama kami berpikir, pada akhirnya Om sama Tante memutuskan...." Setiawan mengambil jeda. Ditariknya napas dalam, lalu mengembuskan panjang. "Om sama Tante setuju kalau kamu mau menikahi Vania."

Vania tercengang. Dia tidak mengira ibunya pada akhirnya akan menyetujui pernikahan ini.

Sampai detik ini, dia tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban lamaran laki-laki itu. Hati dan pikirannya seakan tidak bisa sejalan. Selalu berseberangan.

Dia pikir, ini hanya soal waktu yang belum tepat saja. Andai lamaran ini terjadi saat dia sudah berumur 25 tahun, mungkin dia tidak akan berpikir dua kali untuk menerimanya, meskipun dia tahu, Raka belum mencintainya.

"Tapi, Papa belum bilang soal itu sama Vania. Kenapa Papa sama Mama langsung setuju begitu aja?”Vania tak tahan untuk meredam kekecewaannya.
Rahmawati mengusap-usap bahu Vania, mencoba menenangkan. "Ini demi kebaikanmu, Sayang. Setelah Mama pikir-pikir, pernikahan adalah solusi yang tepat biar Mama nggak khawatirin kamu lagi pas kuliah di Solo. Mama nggak mau menghalangi keinginan kamu. Mama percaya, Raka bisa jagain kamu," jelas Rahmawati.

“Tapi, Ma?”

“Ini baru keputusan Mama sama Papa. Selanjutnya, Mama serahkan semuanya sama kamu. Kamu yang mau menjalaninya. Entah setuju atau nggak, Mama harap kamu bisa memikirkan matang-matang.”

Vania terdiam. Dia tidak tahu harus menanggapi apa lagi.

"Om sama Tante juga senang sekali kalau punya mantu seperti kamu, Vania," ungkap Pambudi sembari menyunggingkan senyumnya. "Apalagi bisa besanan sama Papa Mama kamu. Om harap kamu bisa menerima lamaran Raka," tambahnya menyakinkankembali.

Hati Vania mencelus. Sejak dulu, Pambudi dan Sartikamemang menyayanginya seperti putri sendiri. Bisa memiliki mertua seperti mereka itu anugerah. Jika Vania menolak, bukankah dia sendiri yang akan rugi nantinya? Apalagi, Raka mungkin tidak akan melamarnya untuk kedua kalinya setelah dia menolak lamaran laki-laki itu.
Vania terdiam cukup lama. Dia mulai menimbang-nimbang.

"Hm…,Vania... boleh menanyakan sesuatu sama Raka dulu, kan, Om?” tanya Vania hati-hati sebelum memberi keputusan. Dia sengaja memanggil Raka dengan sebutan namanya, meskipun umur mereka selisih dua tahun. Dulu, Raka akan protes tiap kali Vania memanggilnya "Kakak". Katanya, karena mereka bukan saudara kandung sehingga dia tidak perlu menyapanya dengan sebutan seperti itu. Sekalipun lama tidak bertemu, Vania tetap tidak memanggil Raka dengan sebutan "Kak" sebagai antisipasi andai laki-laki itu tidak menyukai panggilannya.

“Tentu saja boleh,Vania. Malah kalian harus banyak ngobrol sebelum memutuskan menikah. Biar bagaimana pun, kalian sendiri yang akan menjalaninya. Bukan kami,” tegas Pambudi seraya mengulas senyum.

Vania beralih menatap Raka. Mata setenang telaga  itu membalas tatapannya. Ini pertama kalinya mereka bersitatap tanpa berakhir laki-laki itu yang segera mengalihkan pandangannya. Ya, meskipun dia tidak yakin jika Raka benar-benar memandang tepat pada manik matanya.

"Aku... belum pakai jilbab,” kata Vania pelan. “Aku... juga nggak mau dipaksa kalau hatiku sendiri masih berat mengenakannya. Apa... itu akan jadi masalah buat kamu?”

Hening sesaat. Laki-laki itu tampak tertegun dengan pertanyaan Vania. Menyadari keterpakuannya, Vania buru-buru menjelaskan, “Aku janji, aku bakalan terbuka belajar agama. Tapi, itu juga butuh waktu, kan? Nggak mungkin langsung berubah gitu aja.” Vania menelan ludah sejenak. “Apa... kamu mau sabar ngebimbing aku nanti?”
Raka masih termangu.

Vania mengeratkan tautan jemarinya. Dia menunggu jawaban dengan gelisah. Apa pun yang akan diutarakan Raka nanti, dia yakin, itulah yang terbaik untuknya.

"Sudah jadi kewajiban saya sebagai suami untuk mendidik istri. Berubah bukan karena Allah, apalagi karena paksaan itu akibatnya tidak akan bagus."

Vania tercenung. Di luar dugaan, Raka justru mengatakan hal itu. Dia pikir, laki-laki itu akan memilih mundur karena dia tidak akan berjilbab selama hatinya belum siap.

Jawaban Raka melegakan Vania. Ini berarti, laki-laki itu tidak akan memaksanya mengenakan jilbab kecuali atas kemauannya sendiri.

Vania menggigit ujung bibirnya pelan. Dia tampak berpikir sejenak. "Hm... tapi, aku masih butuh waktu untuk memikirkannya lagi. Apa... kamu mau nunggu?”

Anggukan pelan laki-laki itu terasa menghangatkan hatinya. Seminggu. Ya, mungkin dia butuh waktu seminggu untuk memikirkannya matang-matang.
Pernikahan itu sesuatu yang suci. Dia tidak mau memutuskannya tanpa pertimbangan yang matang. Dia berharap keputusan yang dia ambil adalah yang terbaik untuknya. Apa pun jawabannya.

***

Setelah scene ini ada scene baru lagi yang hanya ada di novelnya.

Scene apakah itu?

Jawabannya ada di novel. Kuy, kut PO! 🤭

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang